Senin, 20 April 2009

kebakaran hutan dan lahan serta dampaknya

Kebakaran liar, atau juga kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, kebakaran rumput, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi dapat juga memusnahkan rumah-rumah atau sumber daya pertanian. Penyebab umum termasuk petir, kecerobohan mansusia, dan pembakaran.

Musim kemarau dan pencegahan kebakaran hutan kecil adalah penyebab utama kebakaran hutan besar.

Kebakaran hutan dalam bahasa Inggris berarti "api liar" yang berasal dari sebuah sinonim dari Api Yunani, sebuah bahan seperti-napalm yang digunakan di Eropa Pertengahan sebagai senjata maritim.

Jenis Kebakaran

Menurut strata kejadian kebakaran maka kebakaran hutan dan lahan dibedakan atas 3 tipe, yaitu kebakaran tajuk (crown fire) yang biasa terjadi di strata atas hutan atau komunitas vegetasi berpohon lainnya, kebakaran permukaan (surface fire), yaitu kebakaran yang bergrak cepat di atas permukaan vegetasi di strata herba dipermukaan seperti kebakaran padang rumput dan kebakaran di bawah tanah (ground fire) yang terjadi di bawah permukaan tanah sepertiyang terjadi di lahan gambut di mana titik api justru berada di kedalaman lebih dari 2 meter. Pergerakan api pada dua tipe awal relatif lebih mudah ditebak karena mengikuti arah pergerakan angin tetapi kebakaran di bawah permukaan tanah sulit ditebak karena rembetan apiakan meluas kesegala arah.

Penyebab

Penyebab kebakaran liar, antara lain:

  • Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.
  • Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok secara sembarangan dan lupa mematikan api di perkemahan.
  • Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi.
  • Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka lahan pertanian baru dan tindakan vandalisme.
  • Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.

penyebab kebakaran hutan/lahan adalah SEGITIGA API

Kebakaran terjadi karena dua hal: karena ulah manusia baik disengaja maupun tidak disengaja dan karena terbakar dengan sendirinya.

Untuk unsur kesengajaan, manusia sengaja melakukannya untuk membuka dan membersihkan lahan. Pembakaran hutan dalam waktu singkat juga diyakini dapat meningkatkan kesuburan tanah. Pada beberapa kelompok masyarakat yang masih memiliki kearifan tradisional, pembakaran hutan dilakukan sebulan sebelum musim penghujan. Hal ini diperlukan karena hutan/lahan yang terbakar dalam waktu yang lama malah justru menghilangkan kesuburan tanah.

Untuk unsur ketidak sengajaan biasanya terjadi pada musim kemarau panjang. Dalam musim kemarau, sebatang rokok yang dibuang kesemak yang kering akan mampu menimbulkan api apabila angin bertiup perlahan. Bekas api unggun yang tidak mati dengan sempurna juga mampu memicu terjadinya kebakaran hutan/lahan.

Penyebab kebakaran hutan dapat bermacam-macam baik dari alam maupun karena kegiatan manusia. Kebakaran hutan akibat perbuatan manusia merupakan penyebab terbesar dari peristiwa kebakaran hutan di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan makin meningkatnya jumlah dan mobilitas penduduk sehingga kontak antara hutan dan penduduk makin tinggi. Selain itu kebutuhan akan lahan garapan dan kesempatan kerja juga makin meningkat sehingga menjadikan aksesibilitas manusia terhadap hutan makin mudah. Para peladang berpindah sering dituduh sebagai penyebab terjadinya kebakaran di hutan alam, karena pembukaan lahannya dilakukan dengan jalan membakar areal yang akan ditanam (prescribed burning).

Angin merupakan faktor pemacu dalam tingkah laku api. Angin mempercepat pengeringan bahan bakar, memperbesar ketersedian oksigen sehingga api berkobar dan merambat dengan cepat. Disamping itu angin dapat menerbangkan bara api yang dapat menimbulkan api loncat, dan terjadinya kebakaran baru.

Bahan Bakar (Pohon, rumput, dan semak dll) dapat terbakar bila tersedia udara dan panas yang cukup. Tiga unsur tersebut biasa disebut “segitiga api”. Bila tiga unsur segi tiga api tersebut tidak tersedia secara lengkap, api tidak dapat membakar. Harus ada panas yang cukup untuk menyulut bahan bakar misalnya: panas dari korek api, batubara, api bekas memasak, dari kendaraan,dari chainsaw, dari puntung rokok dll. Dan harus ada udara (oksigen) untuk dapat terbakar, tanpa ada udara sedikitpun api tidak akan hidup (Young and Giese,1991)

Faktor-faktor terjadinya suatu kebakaran hutan dan lahan adalah karena adanya unsur panas, bahan bakar dan udara/oksigen. Ketiga unsur ini dapat digambarkan dalam bentuk segitiga api. Pada prinsipnya, pengendalian kebakaran hutan dan lahan adalah menghilangkan salah satu atau lebih dari unsur tersebut (Suratmo,1985)

Segitiga api sangat penting karena dapat memberi tahu kita bagaimana kita dapat memadamkan api Kita dapat mengurangi atau menghilangkan salah satu dari unsur tersebut misal mengurangi bahan bakar, panas atau udara, agar kebakaran tidak membesar dan api bisa dipadamkan. Kita memotong bahan ketika api menyala dengan mermbuat sekat bakar, tempat dimana api menjalar keluar untuk membakar. Kita dapat meredam panas dengan menyemprotkan air ke atas api, kita dapat memutuskan oksigen atau udara dengan melemparkan lumpur atau tanah di atas api (Young and Giese,1991)

Kimia Kebakaran

Pembakaran adalah suatu runutan reaksi kimia antara suatu bahan bakar dan suatu oksidan, disertai dengan produksi panas yang kadang disertai cahaya dalam bentuk pendar atau api (Young and Giese,1991)

Dalam suatu reaki pembakaran lengkap, suatu senyawa bereaksi dengan zat pengoksidasi, dan produknya adalah senyawa dari tiap elemen dalam bahan bakar dengan zat pengoksidasi. Contoh:

CH_4 + 2O_2 --> CO_2 + 2H_2O + panas

CH_2S + 6F_2 --> CF_4 + 2HF + SF_6 + panas

Contoh yang lebih sederhana dapat diamati pada pembakaran hidrogen dan oksigen, yang merupakan reaksi umum yang digunakan dalam mesin roket, yang hanya menghasilkan uap air.

2H_2 + O_2 --> 2H_2O + panas

Pada mayoritas penggunaan pembakaran sehari-hari, oksidan oksigen (O2) diperoleh dari udara ambien dan gas resultan (gas cerobong, flue gas) dari pembakaran akan mengandung nitrogen

CH_4 + 2O_2 + 7.52N_2 --> CO_2 + 2H_2O + 7.52 N_2 + panas

(Brown and Davis, 1973)

Cuaca Kebakaran

Penyebaran api bergantung kepada bahan bakar dan cuaca. Bahan bakar berat seperti log, tonggak dan cabang-cabang kayu dalam keadaan kering bisa terbakar, meski lambat tetapi menghasilkan panas yang tinggi. Bahan bakar ringan seperti rumput dan resam kering, daun-daun pinus dan serasah, mudah terbakar dan cepat menyebar, yang selanjutnya dapat menyebabkan kebakaran hutan/lahan yang besar (Suratmo,1985.

Unsur-unsur cuaca yang penting dalam kebakaran hutan dan lahan adalah angin, kelembaban dan suhu. Angin yang bertiup kencang meningkatkan pasokan udara sehingga mempercepat penyebaran api. Pada kasus kebakaran besar, angin bersifat simultan. Semakin besar kebakaran, tiupan angin semakin kencang akibat perpindahan massa udara padat di sekitar kebakaran ke ruang udara renggang di tempat kebakaran. Angin merupakan faktor pemacu dalam tingkah laku api. Angin mempercepat engeringan bahan bakar, memperbesar ketersedian oksigen sehingga api berkobar dan merambat dengan cepat. Disamping itu angin dapat menerbangkan bara api yang dapat menimbulkan api loncat, dan terjadinya kebakaran baru.

Angin merupakan salah satu faktor penting dari faktor-faktor cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan. Angin bisa menyebabkan kebakaran hutan melalui beberapa cara. Angin membantu pengeringan bahan bakar yaitu sebagai pembawa air yang sudah diuapkan dari bahan bakar (Chandler et. al. 1983). Angin juga mendorong dan meningkatkan pembakaran dengan mensuplay udara secara terus menerus dan peningkatan penjalaran melalui kemiringan nyala api yang terus merembet pada bagian bahan bakar yang belum terbakar.Tiupan angin, akan memperbesar kemungkinan membesarnya nyala api dari sumbernya seperti korek api, obor, kilat dan sebagainya. (Deeming ,1995)

Kadar air/kelembaban bahan bakar juga penting untuk dipertimbangkan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Pada keadaan normal, api menyala perlahan pada malam hari karena kelembaban udara diserap oleh bahan bakar. Udara yang lebih kering pada siang hari dapat menyebabkan kebakaran yang cepat. Oleh sebab itu, secara teknis pada malam hari akan lebih mudah mengendalikan kebakaran hutan/lahan daripada siang hari. Namun demikian tidak lantas berarti, bahwa pengendalian kebakaran secara serius tidak dilakukan pada siang hari. Kenyataannya karena berbagai pertimbangan, kebakaran lebih banyak ditanggulangi pada siang hari. Suhu udara juga mempengaruhi para pemadam kebakaran, dalam keadaan udara yang panas, daya tahan dan kemampuan kerja pemadam kebakaran menurun (Brown and Davis, 1973)

Kondisi udara pada umumnya mengalami turbulensi karena adanya gerakan-gerakan udara (angin), namun pada saatnya terjadi pula stabilitas atmosfer. Udara dalam kondisi stabil akan mengakibatkan stagnasi dan akumulasi asap apabila terjadi kebakaran, apalagi kebakaran bahan-bahan organis yang masih agak basah seperti halnya biomassa yang berasal dari hutan, kebun, atau usaha budidaya pertanian lainnya. Massa udara yang mengandung kabut-asap akan tetap terkumpul dekat permukaan bumi dan tidak dapat bergerak lebih tinggi karena tidak terjadi gerakan udara vertikal (Suratmo,1985)

Sebaliknya, udara yang bergerak ke atas saat terjadi turbulensi dalam keadaan atmosfer tidak stabil akan dapat membawa dan menyebarkan asap ke udara bebas. Gejala ini sering ditandai dengan adanya awan kumulus. Secara vertikal, kabut dapat dibedakan dari awan, yang juga merupakan akumulasi uap air di udara, karena posisinya yang lebih dekat dengan permukaan bumi (Chandler et. al,1983).

Dampak


Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran liar antara lain:

1. Menyebarkan emisi gas karbon dioksida ke atmosfer. Kebakaran hutan pada 1997 menimbulkan emisi / penyebaran sebanyak 2,6 miliar ton karbon dioksida ke atmosfer (sumber majala Nature 2002). Sebagai perbandingan total emisi karbon dioksida di seluruh dunia pada tahun tersebut adalah 6 miliar ton.

2. Terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman baik karena kebakaran, terjebak asap atau rusaknya habitat. Kebakaran juga dapat menyebabkan banyak spesies endemik/khas di suatu daerah turut punah sebelum sempat dikenali/diteliti.

3. Menyebabkan banjir selama beberapa minggu di saat musim hujan dan kekeringan di saat musim kemarau.

4. Kekeringan yang ditimbulkan dapat menyebabkan terhambatnya jalur pengangkutan lewat sungai dan menyebabkan kelaparan di daerah-daerah terpencil.

5. Kekeringan juga akan mengurangi volume air waduk pada saat musim kemarau yang mengakibatkan terhentinya pembangkit listrik (PLTA) pada musim kemarau.

6. Musnahnya bahan baku industri perkayuan, mebel/furniture. Lebih jauh lagi hal ini dapat mengakibatkan perusahaan perkayuan terpaksa ditutup karena kurangnya bahan baku dan puluhan ribu pekerja menjadi penganggur/kehilangan pekerjaan.

7. Meningkatnya jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan kanker paru-paru. Hal ini bisa menyebabkan kematian bagi penderita berusia lanjut dan anak-anak. Polusi asap ini juga bisa menambah parah penyakit para penderita TBC/asma.

8. Asap yang ditimbulkan menyebabkan gangguan di berbagai segi kehidupan masyarakat antara lain pendidikan, agama dan ekonomi. Banyak sekolah yang terpaksa diliburkan pada saat kabut asap berada di tingkat yang berbahaya. Penduduk dihimbau tidak bepergian jika tidak ada keperluan mendesak. Hal ini mengganggu kegiatan keagamaan dan mengurangi kegiatan perdagangan/ekonomi. Gangguan asap juga terjadi pada sarana perhubungan/transportasi yaitu berkurangnya batas pandang. Banyak pelabuhan udara yang ditutup pada saat pagi hari di musim kemarau karena jarak pandang yang terbatas bisa berbahaya bagi penerbangan. Sering terjadi kecelakaan tabrakan antar perahu di sungai-sungai, karena terbatasnya jarak pandang.

9. Musnahnya bangunan, mobil, sarana umum dan harta benda lainnya.


Minggu, 05 April 2009

contoh sistem agroforestri tradisional di indonesia (http://www.kabarindonesia.com/)

MEMBANGUN KEMBALI KEARIFAN MASYARAKAT DALAM MENGELOLA SISTEM AGROFORESTRY TRADISIONAL ‘TALUN ‘ DI JAWA BARAT DALAM UPAYA MEMBANTU PELESARIAN HUTAN
Oleh : Johan Iskandar

08-Okt-2008, 08:40:25 WIB - [www.kabarindonesia.com]

Di beberapa daerah di Indonesia, dikenal memiliki berbagai macam sistem agroforestry tradisional (lihat de Forestra dkk 2000, Iskandar 2001). Pada umumnya, berbagai sistem agroforestry tradisional itu mempunyai peranan penting dalam memelihara lingkungan dan sekaligus memberi berbagai keuntungan bagi sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Sehingga, berbagai sistem agroforestry tradisional tersebut dapat dikembangkan dengan dimodifikasi dan disesuaikan dengan berbagai perkembangan zaman, untuk lebih mensejahteraan masyarakat lokal dan dapat mencegah atau pun mengurangi gangguan penduduk terhadap hutan di Indonesia.

Tulisan ini, mendeksripsikan tentang sistem agroforestry tradisional sistem talun di Jawa Barat, yaitu mencakup sejarah pembentukan, pengelolaan dan fungsi talun, serta perubahan dan upaya untuk pengembangan talun di masa datang. Hal itu dimaksudkan untuk menggali kembali kearifan masyarakat lokal di Jawa Barat, di dalam mengelola sistem agroforestry tradisional talun dalam upaya pemberian sumbangsih konsep untuk mengembangkan kesejahterakan masyarakat perdesaan dan sekaligus juga untuk pengembangan berbagai program memperbaiki dan penyelamatan hutan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat.


Sistem Agroforestry Talun

Di masa lalu, dikenal banyak ungkapan Orang Sunda yang mencerminkan upaya penduduk di Tatar Sunda dalam mengkonservasi alam. Misalnya, Mipit Kudu Amit (memetik harus ijin), Ngala kudu menta (memanen harus memohon), Gunung teu meunang dilebur (gunung tidak boleh dihancurkan), Lebak teu meunang di rusak (lembah tidak boleh dirusak), Daratan imahan (di lahan datar dibangun rumah), Legok balongan (daerah cekungan dijadikan kolam), Basisir jagaeun (kawasan pesisir lautan dijaga), Walungan rawateun (sungai dipelihara), Gunung kaian (gunung tumbuhi pepohonan kayu), Gawir awian (tebing tanami bambu) dan Pasir talunan (bukit tanami tanaman campuran tanaman keras) (bandingkan Supriadi 2008: 36). Dari beberapa ungkapan tersebut tersirat bahwa tradisi Orang Sunda di masa silam, pantangan untuk melebur gunung atau merusak lembah. Bahkan, gunung-gunung tersebut harus ditumbuhi pepohonan kayu (dikaian), tebing ditanami bambu (diawian) dan bukit ditanami tanaman keras, dijadikan talun atau ditalunan.


Apa itu talun?. Menurut kamus Sunda-Indonesia yang disusun oleh Satjadibrata (1950), yang dinamakan talun adalah kebun buah-buahan yang pohonnya hidup lama. Sementara itu, menurut Terra (1958) talun dapat diartikan sebagai tataguna lahan darat yang ditanami jenis-jenis tanaman keras yang lokasinya biasanya di sekitar kampung. Sistem talun dapat dikategorikan sebagai agroforestry asli di Tatar Sunda. Agroforestry adalah istilah baru yang diperkenalkan oleh kalangan ahli kehutanan dari Barat pada tahun 1970-an (von Modell 1985). Tetapi, sesungguhnya konsep agroforestry tersebut telah dipraktekan secara turun temurun ribuan tahun lalu di Indonesia, termasuk di Tatar Sunda. Secara umum agroforestry dapat diartikan sebagai suatu sistem tataguna lahan yang ditumbuhi oleh dominan campuran jenis tumbuhan tahunan/keras (perenial crops) dan terdapat pula campuran tanaman semusim (annual crops), sehingga memiliki struktur vegetasi rimbun menyerupai hutan alami. Karena itu, sistem agroforestry memiliki fungsi ekologi seperti fungsi hutan alami, tetapi juga memiliki fungsi sosial ekonomi budaya bagi penduduk.

Pada dasarnya, sistem talun merupakan analogi dengan sistem dukuh lembur di daerah Baduy, Banten Selatan; kaliwo atau kalego di Sumba Barat; repong damar di Krui, Lampung; kaleka di Bangka dan Belitung, Sumatera; pelak di Kerinci Jambi, Sumatera; parak di Maninjau, Sumatera Barat; lembo atau simpukng atau lepu atau pun pulung bue di Kalimantan Timur, dan tembawang di Kalimantan Barat (lihat Iskandar 1998; 2001; 2002; de Forestra dkk 2000; Puri 2005; Sulaiman dan Sancin 2007).

Tatapi, dalam perkembangannya istilah talun tempo dulu di Tatar Sunda, kini kurang dikenal lagi oleh generasi muda di Jawa Barat. Dewasa ini, pada umumnya sistem talun lebih dikenal oleh generasi muda di Tatar Sunda sebagai kebon (kebun) campuran, kebon awi (kebun bambu), kebon tatangkalan (kebun pepohonan) atau pun dudukuhan.

Tulisan ini mendeskripsikan tentang sejarah pembentukan sistem agroforestry talun, pengelolaan dan fungsi talun, serta perubahan dan pengembangan talun di masa datang, demi membantu peningkatan kesehateraan masyarakat perdesaan dan mengurangi gangguan pada hutan.


Pembentukan dan Pengelolaan Talun

Berdasarkan sejarah, sistem talun berkembang dari sistem ladang berpindah atau ladang berotasi (huma) atau swidden cultivation di Tatar Sunda yang dominan dipraktekan penduduk pegunungan Priangan dan Banten hingga akhir abad ke 19. Tetapi, dalam perkembangannya, akibat penduduk kian padat, ekonomi pasar berkembang pesat, kawasan hutan kian sempit, serta pengaruh kuat dari kebijakan pemerintah, maka kini sistem huma hanya ditemukan tinggal sisa-sisanya di P. Jawa, dengan masih dipraktekan dengan adat kuat oleh Masyarakat Kasepuhan, di kawasan G. Halimun, Sukabumi Selatan dan Masyarakat Baduy di kawasan G. Kendeng, Banten Selatan (Iskandar 1998).

Sistem huma biasanya dibentuk dari hasil membuka lahan hutan (leuweung). Caranya, pepohonan leuweung ditebang pilih dan semak-semak belukarnya ditebang habis. Sisa-sisa tebangan itu dikeringkan dan dikumpulkan menjadi beberapa onggokan. Lantas, onggokan-onggokan kering tersebut dibakar habis dan menjadi abu, sebagai sumber pupuk organik jenis-jenis tanaman yang ditanam di huma. Pada saat menjelang musim hujan, lahan bekas tebangan tersebut ditugal ditanami aneka ragam varietas padi huma dan jenis-jenis tanaman semusim lainnya, berupa kacang-kacangan, ubi, singkong dan lain-lain. Maka, kini lahan leuweung itu diubah menjadi lahan huma. Usai panen padi dan tanaman semusim lainnya, lahan huma digarap ulang untuk tahun berikutnya atau diistirahatkan (diberakan) cukup lama, karena kesuburan tanahnya telah berkurang. Kemudian, lahan bekas huma yang diberakan tersebut mengalami suksesi vegetasi membentuk lahan hutan sekunder muda (reuma ngora) dan seterusnya berkembang menjadi hutan sekunder tua (reuma kolot). Lahan reuma kolot dapat dibuka kembali menjadi huma, setelah lahan tersebut diberakan lebih dari 3 tahun dan kesuburan tanahnya telah pulih kembali. Kesuburan tanah dapat pulih kembali karena adanya seresah berupa daun-daun dan ranting kering yang jatuh dan membusuk jadi kompos dan sumber unsur hara di permukaan tanah. Sementara itu, sebelum lahan reuma ngora siap digarap ulang, para peladang biasanya pindah menggarap di lahan-lahan reuma kolot di lokasi lainnya yang sudah siap digarap ulang. Maka, terjadilah suatu sistem rotasi penggarapan leuweung dijadikan huma, yaitu reuma kolot-huma-reuma ngora-reuma kolot-huma secara berkelanjutan (Iskandar 1998).

Lantas, di dalam perkembangannya, rotasi sistem huma itu dapat berubah menjadi sistem talun. Terutama apabila lahan bekas huma ditanami oleh jenis-jenis tanaman keras buah-buahan dan tanaman kayu lainnya, serta didirikan suatu kampung baru (babakan) dan berkembang menjadi kampung besar (lembur). Sehingga, sistem rotasi huma tersebut terhenti, sejalan dengan bertambahnya penduduk dan berkurangnya lahan hutan. Tetapi, sistem talun yang struktur vegetasinya rimbun menyerupai hutan alami masih tetap bertahan di berbagai daerah pedesaan Tatar Sunda dengan diadaptasikan secara dinamik dengan berbagai perubahan lingkungan baru.


Kini, berdasarkan pengelolaannya, sistem talun dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu ‘talun permanen’ dan ‘talun non-permanen’. Talun permanen adalah talun yang tidak mengalami rotasi secara periodik tiap tahun. Sementara itu, talun non-permanen adalah talun yang biasa mengalami rotasi tiap tahun, seperti talun bambu. Talun bambu biasanya dibuka dijadikan kebon secara berotasi tiap tahun. Caranya, jenis-jenis tanaman bambu (Gigantochloa apus, Gigantochloa verticillata, Gigantochloa ater, Bambusa vulgaris) ditebang habis dan jenis-jenis pohon lainnya, seperti albasiah (Paraserianthes falcataria), tisuk (Hibiscus macrophyllus), aren (Arenga pinnata) biasanya ditebang pilih atau hanya dipangkas ranting-rantingnya. Sisa-sisa tebangan dibakar dan usai dibakar lahan tersebut ditanami aneka ragam tanam semusim yang dianggap menguntungkan secara ekonomi bagi penduduk. Misalnya, tembakau (Nicotiana tabacum) dan bawang merah (Allium cepa) di daerah Majalaya dan roay (Dolichos lablab) di Soreang dan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Di samping itu, lahan tersebut ditanami pula dengan campuran jenis-jenis tanaman semusim lainnya, seperti leunca (Solanum nigrum), bonteng (Cucumis sativus), surawung (Ocimum basilicum), paria (Momordica charantia), cengek (Capsicum frutescens), jagung (Zea mays), singkong (Manihot esculenta), tomat (Lycopersicon lycopersicum) dan lain-lain. Fase lahan talun yang sedang ditanami jenis-jenis tanaman semusim tersebut biasanya disebut kebon (kebun). Usai pemanenan jenis-jenis tanaman roay dan tanaman semusim lainnya, lahan kebon biasanya ditanami singkong selama 1 tahun atau langsung diberakan. Pada saat lahan diberakan, tunas-tunas bambu, albasiah dan lainnya bekas tebangan mulai tumbuh lagi dari pangkal-pangkal batangnya. Sehingga, lahan tersebut berkembang menjadi fase talun (bambu) muda dan akan bekembang menjadi fase talun (bambu) tua. Selanjutnya, lahan talun (bambu) tua tersebut dapat dijadikan kebon (kebun) lagi, apabila talun (bambu) tersebut telah diberakan lebih dari 3 tahun. Pada saat membuka talun (bambu) tua itu, biasanya para petani dapat memanen pohon-pohon bambu untuk bahan tiang-tiang bambu guna merambat tanaman roay (tuturus roay), bahan pagar kebun, dan sisa batang-batang bambu tersebut juga dijual ke pasar atau para pengrajin bilik bambu di desanya. Sementara itu, usai panen roay, semua bekas tuturus roay dan pagar bambu rusak dijadikan bahan kayu bakar. Sehingga, batang-batang bambu kering tersebut tidak terbuang percuma, namun dapat dimanfaatkan kembali sebagai kayu bakar untuk memasak di dapur. Maka, dalam sistem talun non-permanen, pada umumnya terjadi rotasi: talun-kebun-talun-kebun secara berkelanjutan. Karena itu, sistem talun biasa pula dinamakan sistem talun-kebun. Pada prinsipnya, sistem talun-kebun adalah analogi dengan sistem huma di Jawa Barat. Pada fase talun yaitu analogi dengan fase reuma kolot dan fase kebon analogi dengan huma. Sistem talun-kebun adalah sistem huma yang telah didaptasikan dan dimodifikasikan penduduk desa terhadap lingkungan baru, seperti penduduk yang kian padat dan kondisi ekonomi pasar yang sangat pesat. Misalnya, terjadi proses introduksi dan seleksi jenis-jenis tanaman yang kian ketat dan adanya asupan baru, berupa pupuk kandang dan tambahan pupuk kimia sintesis pada sistem talun yang sedang digarap dalam fase kebun.


Ketahanan Pangan dan Fungsi Ekologi

Pada umumnya sistem talun atau sistem talun-kebun ditanami oleh campuran aneka ragam jenis tanaman. Karena itu, sistem agroforestry asli Urang Sunda tersebut memiliki aneka ragam fungsi sosial ekonomi dan budaya, serta fungsi ekologi serupa dengan fungsi ekologi hutan alami. Fungsi sosial ekonomi talun/talun-kebun, antara lain menghasilkan aneka ragam produksi bahan pangan karbohidrat, buah-buahan, sayuran, bumbu masak, bahan industri, bahan kerajinan tangan, bahan bangunan, dan bahan kayu bakar. Berbagai produksi tanaman tersebut dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (kebutuhan subsisten) penduduk desa dan hasil surplusnya dapat dijual ke para bandar desa atau pasar, untuk menghasilkan uang tunai (kepentingan komersil). Sementara itu, fungsi sosial budaya talun antara lain, beberapa hasil ikutan dari talun, seperti ranting-ranting kayu mati, dapat diambil oleh keluarga lain, tanpa harus memohon izin pada pemiliknya. Sedangkan, fungsi ekologi sistem talun antara lain, berperan penting untuk konservasi keanekaan hayati, penghasil oksigen (O2), menyerap gas pencemar karbon dioksida (CO2), memelihara kesejukan dan keteduhan (iklim mikro), memelihara kesuburan tanah, perlindungan tata-air (hidrologi) suatu DAS, mencegah erosi tanah, longsor tanah, dan sebagai habitat satwa liar, seperti jenis-jenis burung.


Jadi, secara umum talun/talun-kebun berperan penting sebagai sumber aneka ragam tambahan bahan pangan dan penangkal rawan pangan ketika terjadi bencana kekeringan, serta kegunaan ekonomi lainnya bagi masyarakat pedesaan. Di samping itu, juga sekaligus dapat melindungi lingkungan, seperti fungsi-fungsi ekologis yang lazim diberikan oleh hutan. Dengan kata lain, bahwa keberadaan sistem talun di pedesaan Tatar Sunda sangat penting dalam upaya membantu perlindungan lingkungan secara lestari dan dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat desa.


Komersialisasi dan Perubahan Fungsi
Namun, sangat disayangkan bahwa sistem talun di Tatar Sunda kini cenderung kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak terkait. Akibatnya, banyak sistem talun di Tatar Sunda, seperti kasus yang terjadi di beberapa tempat di DAS Citarum Hulu, dialih fungsikan oleh pemilinya jadi kebun sayur komersil. Akibatnya, talun yang rimbun oleh vegetasi bambu dan tanaman keras lainnya, diubah total menjadi kebun sayur terbuka. Kebun sayur tersebut biasanya ditanami oleh jenis-jenis tanaman sayur komersil, seperti bawang daun (Allium fistulosum), wortel (Daucus carota), sawi (Brasicca chinensis), dan lobak (Rhapanus sativus). Konsekuensinya, sistem talun yang biasanya memaksimalkan berbagai sumber asupan dari dalam, berubah harus mendapat berbagai asupan dari luar, seperti benih sayur, pupuk kimia sintesis dan pestisida yang harus dibeli dari pasar. Sementara itu, sebagian besar hasil produksi sayur tersebut juga diperuntukan untuk dijual ke bandar desa atau pun ke pasar. Dampak negatifnya, penduduk desa kini perlu modal besar untuk usaha kebun sayur dan mereka pun kian tergantung pada mekanisme pasar yang tidak ramah. Misalnya, ketika pupuk kimia sintesis dan pestisida langka atau harganya naik, maka sistem produksi sayur petani sangat terganggu. Sementara itu, ketika harga jual sayur merosot di pasar, para petani sayur mengalami kerugian sangat besar. Selain itu, sistem kebun sayur tersebut juga lebih rentan oleh serangan hama dan penyakit. Padahal pada sistem talun, jarang terjadi adanya ledakn hama dan penyakit tanaman.
Pengaruh negatif lainnya, hilangnya berbagai fungsi ekologis talun yang menguntungkan secara ekologis bagi lingkungan. Misalnya, karena meningkatnya penggunaan pupuk kimia sintesis dan pestisida, maka telah menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan pada badan air di bagian hilir DAS. Selain itu, akibat berubahnya struktur vegetasi yang rimbun menjadi terbuka, maka ketika turun hujan sangat rawan terhadap bahaya longsor dan erosi tanah. Akibatnya, timbul banjir di bagian hilir DAS dan terjadi sedimentasi pada badan air, seperti sungai dan waduk. Sementara itu, pada musim kemarau terjadi kekeringan berat, karena kurangnya air tanah. Di samping itu, berubahnya struktur vegetasi talun tersebut juga dapat menyebabkan hilangnya habitat aneka ragam satwa liar, hilangnya aneka ragam tanaman lokal, hilangnya keteduhan dan kesejukan, pengurangan produksi oksigen dan penyerap berbagai gas pencemar, serta hilangnya aneka ragam bahan pangan, bahan bumbu masak, bahan kerajinan, bahan obat-obatan tradisional, bahan upacara adat dan bahan lainnya bagi kebutuhan penduduk lokal.

Oleh karena itu, untuk mempertahankan sistem agroforestry talun, maka berbagai upaya perlu dilakukan pemerintah. Misalnya, diberikan disinsentif dan insentif pada sistem agroforestry talun. Pemberian disinsentif antara lain penduduk desa yang mengubah sistem talun menjadi sistem sayur monokutur yang tidak ramah lingkungan. Contohnya, mereka dibebani pajak tanah lebih mahal. Akibatnya, diharapkan penduduk pedesaan tidak berminat untuk mengubah talunnya menjadi sistem pertanian lain yang tidak ramah lingkungan. Sementara itu, bagi penduduk yang tetap mengelola sistem talun diberi berbagai insentif (keuntungan). Contohnya, pemberian keringanan dalam pembayaran pajak tanah. Sehingga, penduduk desa yang mengelola talun diharapkan merasa diuntungkan dan tidak berminat untuk mengalih fungsikan talun menjadi sistem pertanian lain, yang tidak ramah lingkungan. Selain itu, pemberian modal usaha dan pengembangan berbagai industri pedesaan sekala kecil yang memanfaatkan bahan dasar dari produksi talun seyogianya digalakan pemerintah. Contohnya, dikembangkan dan dipromosikannya industri kerajinan tangan dan agroindustri dengan bahan dasar produksi talun, seperti bambu, buah-buahan, dan lain-lain. Upaya pengelolaan talun seyogianya juga dapat diintegrasikan dengan pemeliharaan ternak. Sehingga, dari sistem talun dapat menghasilkan hijauan pakan ternak. Sementara itu, kotoran ternaknya dapat dibuat kompos dan pupuk tanaman di sistem talun, serta sumber energi biogas rumah tangga. Sedangkan, hasil ternaknya dapat dijual untuk menghasilkan uang tunai bagi penduduk desa. Contoh kasus pengelolaan talun di Tatar Sunda tersebut kiranya dapat juga diterapkan secara luas di Indonesia. Namun, tetap harus memperhatikan kesesuaian ekologis lokal dan sosial ekonomi dan budaya setempat, serta partisipasi aktif masyarakat lokal. Sehingga, diharapkan dengan pengelolaan sistem agroforestry talun atau pun sistem agroforestry tradisional asli lainnya di Indonesia, yang menguntungkan secara ekologis dan sosial ekonomi budaya masyarakat, diharapkan dapat mengurangi tekanan penduduk desa terhadap lahan hutan dan kelestarian hutan di Indonesia pun dapat dijaga. Semoga!!!!.


Referensi

de Forestra,H., A.Kusworo, G.Michon dan W.A. Djatmiko, 2000. Ketika Kebun Berupa
Hutan: Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan Masyarakat. Bogor:
International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF).

Iskandar, J. 1998. Swidden Cultivation as a form of cultural identity: the Baduy case.
PhD. Dissertation, University of Kent at Canterbury (tidak dipublikasikan).

Iskandar, J. 2001. Manusia Budaya dan Lingkungan: Kajian Ekologi Manusia. Bandung:
Humaniora Utama Press.

Iskandar, J.2002. Orang Dayak dan Pengelolaan Lembo di Kutai Barat, Kalimantan
Timur. Bandung: Habitat (2): 10.

Puri, R.K. 2005. Deadly Dances in the Bornean Rainforest: Hunting Knowledge of the
Penan Benalui. Leiden: KITLV Press.

Satjadibrata, R.1950. Kamoes Soenda-Indonesia. Djakarta: Balai Poestaka.

Sulaiman.S dan I. Sancin, 2007. Mengulas Tanah Adat Bangka Belitung Masyarakat
Yang Tak Beradat. Pangkal Pinang: Bangka Pos, 16/9/2007.

Supriadi, D. 2008. Menuju Pembangunan Kawasan Lindung 45 %. Bandung: Suara
Berita Liputan Rimbawan Jawa Barat Surili, vol 44 (1): 36-42.

Terra, 1958. Farm Systems in South-East Asia. The Netherlands Journal of Agricultural
Science (6) 3:1157-182.

Von Modell, H.J. 1985. The Contribution of Agroforestry to Ward Agroforestry
Development. Agroforestry Systems 3 (2): 83-90.

bahan kuliah 2, MK Pengendalian Kebakaran dan Penggembalaan Liar, Prodihut, S1

Fakta Empirik Kebakaran dan Penggembalaan Liar di Indonesia  Musim kemarau panjang di Indonesia identik dengan masalah akut seputar...