Senin, 08 Desember 2008

cagar alam mutis yang terusik tambang (by Cor Sakeng - www..kabarntt.blogspot.com)

Salah satu contoh analisis permasalahan kawasan konservasi bagi kelas "pengelolaan kawasan konservasi" Program Pascasarjana - Undana, Prodi MPSAL (Silakan dijadikan contoh dan Thanx bagi pengelola www.kabarntt.blogspot.com)


Jika sekali waktu anda mengayunkan kaki ke Pulau Timor, maka singgah lah barang sehari dua malam di kaki Gunung Mutis. Jika tak sempat baca lah tulisan Cor Sakeng, aktivis LSM yang bekerja di Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Ia punya cerita sedih untuk kita. Simak liputannya.


Berkunjung ke Kawasan Wisata Cagar Alam Gunung Mutis ungguh menarik. Sejuta flora dan fauna mempesona di dalamnya. Penampilan khas orang desa pun menambah kenangan tersendiri.


Seorang rekan jurnalis sebuah majalah besar di Jakarta terkagum-kagum menyaksikan pemandangan alam yang membentang di lereng Gunung Mutis, sesaat sebelum kami memasuki Kapan, kota Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) menuju Gunung Mutis.


"Pemandangan alamnya sangat indah. Ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang berkesempatan mampir dan menikmati keindahan tanah Timor. Tapi semua ini butuh promosi dari Pemerintah Provinsi NTT dan Kabupaten TTS," kata Rahmat, rekan jurnalis, saat kami merapat di Kapan.


Barangkali banyak orang yang belum tahu letak kawasan wisata andalan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) TTS ini. Padahal, kawasan wisata ini sudah sangat dikenal di kalangan peneliti asing seperti Australia dan Belanda. Tapi dimana letak sesungguhnya Kawasan Wisata Cagar Alam Gunung Mutis?


Secara geografis, Cagar Alam Gunung Mutis terletak di wilayah Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten TTS. Kawasan yang berjarak sekitar 140 km sebelah Timur Laut Kota Kupang, kota provinsi dan Kabupaten/Kodya Kupang ini memiliki luas sekitar 12.000 hektar. Untuk mencapai Mutis perjalanan dimulai dari Kota Kupang menuju SoE, kota Kabupaten TTS dengan jarak 110 km dan waktu tempuh kurang lebih 2,5 jam.

Dari SoE, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang bus menuju Kapan sebelum ke Desa Fatumnasi. Perjalanan sejauh 15 km ke desa itu memakan waktu lima belas menit. Saat memasuki Desa Fatumnasi pengunjung akan disuguhi pemandangan nan indah dan keramahan penduduk desa asli yang kebanyakan Suku Dawan. Sebagian penduduk masih mengenakan sarung atau kain yang masih menempel di badannya. Hal ini beralasan karena cuaca di sekitar kawasan wisata ini sangat dingin. Awan putih masih bisa dilihat merayap di atas tanah dalam jarak sekitar 10-15 meter.

Yang tak kalah pentingnya adalah dahan dan ranting pohon-pohon besar di dalamnya yang menjadi salah satu penopang ekonomi masyarakat sekitar. Setiap dahan dan ranting pohon dipenuhi madu hutan yang sudah menjadi milik setiap suku yang bermukim di sekitarnya. Dari madu hutan ini, masyarakat bisa berharap banyak untuk menopang kehidupan ekonominya selain dari hasil ternak dan pertanian.

Peneliti Kawasan Wisata Cagar Alam Gunung Mutis dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Dr. Leo Banilodu, MS pun mengakui keindahan dan potensi alam Mutis. Oleh karena itu Leo mengusulkan agar status cagar alam ini ditingkatkan menjadi taman nasional.


"Sejak dulu hingga saat ini kawasan wisata ini selalu dijadikan obyek penelitian dari berbagai peneliti lokal dan asing. Sayangnya, berbagai macam jenis satwa dilindungi di kawasan wisata ini mulai terancam punah. Nah, kita harapkan agar status cagar alam ini segera ditingkatkan menjadi taman nasional," ujar Leo Banilodu di Desa Fatumnasi.

Flora dan Fauna


Data penelitian menunjukkan, Kawasan Wisata Gunung Mutis memiliki tipe vegetasi yang merupakan perwakilan hutan homogen daratan tinggi. Kawasan ini juga didominasi berbagai jenis ampupu (Eucalyptus urophylla) yang tumbuh secara alami dan jenis cendana (Santalum album). Selain itu di sini dapat ditemui berbagai jenis pohon lainnya seperti hue (Eucalyptus alba), bijaema (Elacocarpus petiolata), haubesi (Olea paniculata), kakau atau cemara gunung (Casuarina equisetifolia), manuk molo (Decaspermum fruticosum), dan oben (Eugenia littorale). Ada juga salalu (Podocarpus rumphii), natwon (Decaspermum glaucescens), natbona (Pittospermum timorensis), kunbone (Asophylla glaucescens), tune (Podocarpus imbricata), natom (Daphniphylum glauceccens), kunkaikole (Veecinium ef. Varingifolium), tastasi (Vitex negundo). Kemudian ada juga manmana (Croton caudatus), mismolo (Maesa latifolia), kismolo (Toddalia asiatica), pipsau (Harissonia perforata), matoi (Omalanthus populneu) dan aneka jenis paku-pakuan dan rumput-rumputan.


Selain kaya dengan flora, kawasan wisata Mutis juga menyimpan aneka fauna khas Timor. Di sini pengunjung bisa menyaksikan rusa timor (Cervus timorensis), kus-kus (Phalanger orientalis), babi hutan (Sus Vitatus), biawak (Varanus salvator), biawak timor (Varanus timorensis). Di sini juga ada sanca timor (Phyton timorensis), ayam hutan (Gallus gallus), punai timor (Treon psittacea), betet timor (Apromictus jonguilaceus), pergam timor (Ducula cineracea), perkici dada kuning (Trichoglosus haematodus).

Mantan Eksekutif Walhi NTT, Melkhior Koli Baran mengakui, Kawasan Wisata Gunung Mutis juga memiliki fungsi strategis sebagai daerah tangkapan air untuk bahan baku air bagi masyarakat di daratan Timor barat. Pasalnya, di kawasan Mutis terdapat beberapa hulu sungai besar yaitu Sungai Noelmina, Benanain, dan Oebesi. Nah, karena menjadi sumber persediaan air bagi sebagian besar masyarakat di daratan Timor, maka kawasan wisata ini tetap terjaga hingga saat ini. Pihak Dinas Pariwisata TTS pun menyediakan Pondok Wisata, Stasiun World Wide Fund for Nature (WWF) Program Nusa Tenggara dalam rangka penelitian keanekaragaman (biodiversity) sumber daya hayati kawasan tersebut. Tapi kini bukan hanya peneliti dan pecinta alam yang datang, Mutis pun mulai terganggu dengan aktivitas penambangan.


Tambang Datang Mengusik


Kekayaan Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur tidak terlepas dari hadirnya gunung-gunung batu yang oleh masyarakat setempat disebut Faut Kanaf dan mata air di bawah kaki Faut Kanaf yang disebut dengan nama Oe Kanaf atau air dari batu. Arit Oematan seorang pemuda dari desa Tune wilayah Cagar Alam Mutis yang ditemui di desa Bonleu belum lama ini mengatakan bahwa bukit-bukit batu yang merupakan batu marmer ini oleh masyarakat bermanfaat sebagai sumber kehidupan.

Namun para investor mulai datang mengusik kawasan Gunung Mutis. Mereka ingin mengeruk bukit-bukit batu marmer yang menjanjikan keuntungan berlipat ganda. Hadirnya sejumlah perusahaan penambangan yang mendapat ijin eksploitasi dengan mengantongi sejumlah dokumen resmi menambah deretan kecemasan masyarakat Fatumnasi dan sekitarnya. Sebut saja PT Sumber Alam Marmer (PT SAM) yang mengantongi Surat Ijin Penambangan Daerah (SIPD) No. 82/SKEP/HK/2000 Tanggal 3 April 2000 berlokasi di Bukit Naitapan, Desa Tunua, Kecamatan Mollo Utara dengan luas area eksploitasi 10,5 Ha. Menurut Kepala Bidang Operasional PT SAM Arnol T, ijin itu mempeunyai tenggang waktu eksploitasi selama 30 tahun dan bisa diperpanjang. Bahkan ijin eksploitasi marmer ini juga diperkuat dengan SK Gubernur NTT Piet Talo, SH.

Aksi tolak tambang


Kehadiran PT SAM ini menuai aksi penolakan warga. Warga sekitar lokasi tambang mewujudkannya dengan menduduki lokasi tambang. Bahkan aksi pendudukan yang sama juga dilakukan masyarakat di kantor Daerah Kabupaten TTS sebagai pusat pengambil kebijakan.

Ibu Aleta Baun, seorang tokoh perempuan dari masyarakat adat Mollo- Fatumnasi mengaku kecewa dengan pemerintah yang memberikan ijin penambangan kepada PT SAM tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat. Mata air yang berada tepat di bawah kaki bukit marmer Naitapan sudah keruh dan tak dapat dikonsumsi oleh masyarakat Desa Tunua. Bahkan beberapa kuburan milik masyarakat di lokasi tambang tak digubris managemen PT SAM. Belum lagi pembuangan limbah yang tidak beraturan. Belum habis perjuangan masyarakat dalam aksi protesnya, datang lagi PT Teja Setia Kawan yang mendapat ijin eksploitasi tambang marmer di lokasi Fatlik desa Kuanoel Kecamatan Fatumnasi. Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatamnas) di Jakarta merespons aksi protes masyarakat adat Mollo Fatumnasi dengan melaporkan perusahaan itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta.


Karena itu, Komnas HAM meminta Bupati TTS Daniel Banunaek untuk memberikan penjelasan secara rinci tentang kasus penambangan marmer di kawasan pegunungan Mollo di Kecamatan Mollo Utara dan Kecamatan Fatumnasi. Sementara anggota DPRD TTS Sefrits Nau menilai, langkah pemerintah menjual batu marmer dengan memotong bukit dengan maksud mendapat pemasukan bagi PAD adalah tindakan yang sangat keliru. "Secara pribadi, saya mau katakan bahwa bukit batu itu adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Jika dipotong lalu diambil, maka habis sudah. Sumber air dan hutan di bukit itu akan habis dan tempat adat seperti batu pemali (fatukanaf) dan air pemali (oekanaf) dicemari oleh aktivitas tambang. Ini yang sangat disesali," ujar Nau seperti dikutip sebuah harian di NTT. Dia menyarankan agar kawasan itu dijadikan pariwisata dengan pemandangan di Fatumnasi yang sangat indah dan udaranya yang sejuk. Masyarakat juga akan mendapatkan manfaat luar biasa dari situ.


Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Universitas Nusa Candana Kupang yang melakukan Studi Aspek Lingkungan Perubahan Fungsi Cagar Alam Gunung Mutis Menjadi Kawasan Taman Nasional dalam laporan akhirnya kepada pemerintah Kabupaten TTS juga menyatakan, penambangan marmer yang sedang dan akan datang dapat menimbulkan kerusakan habitat, menurunkan produktivitas lahan dan mengancam tata air yang dapat mengakibatkan penurunan produksi tani seperti perladangan, tegalan dan sawah. Hal itu juga akan menimbulkan kecemburuan sosial dan keresahan di kalangan masyarakat. Selain itu penambangan juga dapat menimbulkan kerusakan prasarana transportasi.


Bersandar Pada Faut Kanaf


Masyarakat Mollo - TTS pada khususnya atau Timor (Barat) pada umumnya pasti mengenal karakteristik Gunung Mutis. Demikian juga apa pandangan masyarakat Mollo terhadap Gunung Batu yang berkandungan Marmer itu? Secara turun temurun yang dituturkan dari generasi ke generasi, masyarakat yang mendiami wilayah mutis dan sekitarnya sangat mengagungkan batu-batu yang menjulang tinggi ibarat pohon itu dikenal dengan nama Faut Kanaf/Batu Nama. Di bawah Faut Kanaf keluarlah mata air yang disebut Oe Kanaf/Air Batu Nama. Faut Kanaf yang diyakini masyarakat yang mendiami kawasan Mutis telah membentuk mata air-mata air yang mengalir dan menyatuh dalam kebersamaan membentuk DAS Benain dan DAS Noelmina. Kedua DAS yang bersumber dari Faut Kanaf ini telah memberikan kehidupan bagi masyarakat Timor Barat pada khususnya.


Dengan demikian Faut Kanaf atau Batu Nama bukanlah sembarangan Batu tetapi batu yang memiliki makna lebih dalam kaitan dengan pembentukkan hidrology. Karena itu, Faut Kanaf dan Oe Kanaf, oleh masyarakat Mollo dinilai sebagai sumber kehidupan. Maka batu yang menjulang tinggi ibarat pohon itu tetap dipelihara masyarakat sebagai sumber kehidupan. Dari berbagai penelitian yang akhirnya diketahui bahwa Faut Kanaf ternyata memiliki nilai milyaran bahkan triliunan jika dieksploitasi. Pada gilirannya Faut Kanaf menjadi kejaran para investor untuk meraup keuntungan.


Bagi masyarakat di wilayah Mollo, gunung batu (marmer) memiliki nilai yang sangat tinggi untuk menjamin kelangsungan hidup, seperti ketersediaan air. Tidakn saja bagi masyarakat di wilayah itu namun juga untuk masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) secara keseluruhan. Secara ekologis, posisi atau letak batu yang berada di puncak gunung merupakan salah satu wilayah tangkapan dan tendon air yang baik disamping hutan. Sebagai wilayah tangkapan air, batu di wilayah Mollo merupakan sumber air (hulu) bagi sungai besar di Provinsi NTT yaitu Benenain dan Noelmina yang menjadi sumber air utama bagi masyarakat. Jika batu ini ditambang atau dirusak, maka keseimbangan ekologis, khususnya dalam ketersediaan air bagi masyarakat akan sangat terganggu, apalagi wilayah NTT merupakan salah satu daerah yang selalu mengalami kekeringan setiap tahunnya. Disamping itu, daerah di sekitar lokasi pertambangan merupakan satu wilayah produktif yang telah menghidupi masyarakat secara turun temurun. Masyarakat memanfaatkannya sebagai lahan pertanian.


Ibu Aleta Baun soerang pejuang perempuan masyarakat adat Mollo menyatakan kekesalan atas prilaku eksploitatif investor yang bekerjasama dengan pemerintah untuk menambang marmer dar Faut Kanaf adalah suatu tindakan yang sangat tidak berpihak pada kearifan masyarakat dan keberlangsungan tata-hidrology demi keberlangsungan hidup masyarakat. Disamping alasan yang bersifat ekologis, ada pula alasan yang didasarkan pada kultur atau kebudayaan masyarakat setempat. Batu yang sering mereka sebut Faot Kanaf memiliki hubungan langsung dengan sejarah enam belas marga masyarakat Mollo yang tersebar di daratan pulau Timor. Hal inilah yang menentukan identitas masyarakat Mollo, sehingga masyarakat tidak pernah mengenal istilah marmer untuk ditambang. Masyarakat hanya mengenal batu yang telah menghidupi masyarakat selama ini.


Dengarkan suara masyarakat


Berdasarkan kondisi tersebut maka cara penyelesaian kasus ini secara adil adalah mendengarkan secara langsung suara masyarakat. Selama ini proses penyerahan tanah hanya dilakukan secara sepihak, yaitu antara perusahaan atau Pemerintah Daerah dengan para tokoh adat (Amaf). Pemerintah juga telah memanipulasi masyarakat dengan
menggunakan struktur adat yang notabene masih ada masalah dengan masyarakat. Inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu utama dalam konflik ini. Jika demikian, Aleta Baun mempertanyakan dimanakah hati nurani pemerintah? Faut Kanaf dan Oe Kanaf adalah sandaran hidup masyarakat.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Setelah liat blog ini saya jadi ragu mengenai Islam!

Klik link --> Wanita dimata Muhammad..Atau klik --> BLOG MANTAN MUSLIM INDONESIA

bahan kuliah 2, MK Pengendalian Kebakaran dan Penggembalaan Liar, Prodihut, S1

Fakta Empirik Kebakaran dan Penggembalaan Liar di Indonesia  Musim kemarau panjang di Indonesia identik dengan masalah akut seputar...