Sabtu, 10 Oktober 2009

tugas pekerjaan rumah mk. analisis statistika MPSAL semester I, KELAS B

Perhatikan gugus data berikut ini :

80 70 67 62 69 60 67 60 63 68 72 90 70 75 59 77 62 69 60 72
65 56 54 65 59 55 71 85 70 70 58 62 57 54 55 73 60 60 64 72

Kerjakan:

  1. tentukan range (R);
  2. panjang kelas (p);
  3. banyak kelas (bk);
  4. Interval kelas;
  5. Tabel distribusi frekuensi;
  6. titik tengah (midpoint);
  7. Gambarkan histogram dari Tabel distribusi frekuensi;
  8. Gambarkan grafik berdasarkan midpoint;
  9. Buatkan frekuensi kumulatif dari tabe sebaran frekuensi;
  10. Apa yang dapat anda simpulkan jika data di atas merupakan data rata-rata hasil ujian mid mk. "analisis statistika".
Kumpulkan sebelum perkulahan dimulai pada hari senin, 12-10-2009, pukul 16.00 WITA

Senin, 05 Oktober 2009

respirasi - fotorespirasi pada tumbuhan (bahan kuliah mk. ilmu tanaman makanan ternak)

Fotorespirasi

Fotorespirasi adalah sejenis respirasi pada tumbuhan yang dibangkitkan oleh penerimaan cahaya yang diterima oleh daun. Diketahui pula bahwa kebutuhan energi dan ketersediaan oksigen dalam sel juga mempengaruhi fotorespirasi. Walaupun menyerupai respirasi (pernafasan) biasa, yaitu proses oksidasi yang melibatkan oksigen, mekanisme respirasi karena rangsangan cahaya ini agak berbeda dan dianggap sebagai proses fisiologi tersendiri.

Proses

Proses yang disebut juga "asimilasi cahaya oksidatif" ini terjadi pada sel-sel mesofil daun dan diketahui merupakan gejala umum pada tumbuhan C3, seperti kedelai dan padi. Lebih jauh, proses ini hanya terjadi pada stroma dari kloroplas, dan didukung oleh peroksisom dan mitokondria.

Secara biokimia, proses fotorespirasi merupakan cabang dari jalur glikolat. Enzim utama yang terlibat adalah enzim yang sama dalam proses reaksi gelap fotosintesis, Rubisco (ribulosa-bifosfat karboksilase-oksigenase). Rubisco memiliki dua sisi aktif: sisi karboksilase yang aktif pada fotosintesis dan sisi oksigenase yang aktif pada fotorespirasi. Kedua proses yang terjadi pada stroma ini juga memerlukan substrat yang sama, ribulosa bifosfat (RuBP), dan juga dipengaruhi secara positif oleh konsentrasi ion Magnesium dan derajat keasaman (pH) sel. Dengan demikian fotorespirasi menjadi pesaing bagi fotosintesis, suatu kondisi yang tidak disukai kalangan pertanian, karena mengurangi akumulasi energi.

Jika kadar CO2 dalam sel rendah (misalnya karena meningkatnya penyinaran dan suhu sehingga laju produksi oksigen sangat tinggi dan stomata menutup), RuBP akan dipecah oleh Rubisco menjadi P-glikolat dan P-gliserat (dengan melibatkan satu molekul air menjadi glikolat dan P-OH). P-gliserat (P dibaca "fosfo") akan didefosforilasi oleh ADP sehingga membentuk ATP. P-glikolat memasuki proses agak rumit menuju peroksisoma, lalu mitokondria, lalu kembali ke peroksisoma untuk diubah menjadi serin, lalu gliserat. Gliserat masuk kembali ke kloroplas untuk diproses secara normal oleh siklus Calvin menjadi gliseraldehid-3-fosfat (G3P).

Kegunaan

Peran fotorespirasi diperdebatkan namun semua kalangan sepakat bahwa fotorespirasi merupakan penyia-nyiaan energi. Dari sisi evolusi, proses ini dianggap sebagai sisa-sisa ciri masa lampau (relik). Atmosfer pada masa lampau mengandung oksigen pada kadar yang rendah, sehingga fotorespirasi tidak terjadi seintensif seperti masa kini. Fotorespirasi dianggap bermanfaat karena menyediakan CO2 dan NH3 bebas untuk diasimilasi ulang, sehingga dianggap sebagai mekanisme daur ulang (efisiensi). Pendapat lain menyatakan bahwa fotorespirasi tidak memiliki fungsi fisiologis apa pun, baik sebagai penyedia asam amino tertentu (serin dan glisin) maupun sebagai pelindung klorofil dari perombakan karena fotooksidasi.

Karena tidak efisien, sejumlah tumbuhan mengembangkan mekanisme untuk mencegah fotorespirasi. Untuk menekan fotorespirasi, tumbuhan C4 mengembangkan strategi ruang dengan memisahkan jaringan yang melakukan reaksi terang (sel mesofil) dan reaksi gelap (sel selubung pembuluh, atau bundle sheath). Sel-sel mesofil tumbuhan C4 tidak memiliki Rubisco. Strategi yang diambil tumbuhan CAM bersifat waktu (temporal), yaitu memisahkan waktu untuk reaksi terang (pada saat penyinaran penuh) dan reaksi gelap (di malam hari).

Kamis, 01 Oktober 2009

bahan kuliah mk. PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASi (2)

  1. Pelajari bahan kuliah minggu ini, diskusikan serta bandingkan dengan jawaban anda minggu lalu;
  2. Kerjakanlah tugas berikut ini: "Konservasi dalam pengertian sekarang, sering diterjemahkan sebagai the wise use of nature resource (pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana)". Kalimat ini ada di dalam naskah bahan kuliah yang saya berikan di bawah. Coba anda jelaskan dengan menggunakan pemahakan anda sendiri, apa yang dimaksudkan dengan a) pemanfaatan SDA secara bijaksana; b) Berdasarkan nalar anda pada butir (a), jelaskan pendapat anda tentang kasus komodo yang dipindahkan ke Bali.
  3. Kumpulkan secara perorangan melalui kolom komentar di blog ini juga.

Jumat, 25 September 2009

bahan kuliah mk. PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

Peserta kuliah mk Pengelolaan Kawasan Konservasi dapat membaca bahan kuliah berikut ini yang berisikan beberapa pengertian tentang "kawasan konservasi", beberapa landasan hukumnya dan contoh beberapa buah kawasan konservasi yang berada di NTT. Pada bagian akhir diberikan juga beberapa data keadaan konservasi sumberdaya alam di Indonesia serta beberapa hal yang berkaitan dengan upaya pengelolaan kawasan konservasi.

Ikuti langkah-langkah berikut ini untuk dapat membaca bahan kuliah dimaksud.

Rabu, 26 Agustus 2009

SAP MK Teknik Penelitian Tanaman Makanan Ternak (FAPET-UNDANA)

SAP MK TEKNIK PENELITIAN TANAMAN

1. Pertumbuhan Tanaman

1.1. Defenisi, Hasil dan Proses pertumbuhan

1.2. Sistem tanaman:

1.2.1. tingkat molekuler
1.2.2. tingkat tanaman
1.2.3. model tanaman

1.3. Organisasi tubuh tanaman dan sifat-sifat tanaman

2. Keragaman dan Lingkungan Tanaman

2.1. Keragaman pertumbuhan

2.1.1. faktor genetik
2.1.2. faktor lingkungan
2.1.3. pengaruh masa lalu
2.1.4. Bahan tanaman

2.2. Tanggap tanaman

2.2.1. bentuk tanggapan
2.2.2. interaksi

2.3. Pengelolaan tanaman

2.3.1. pengaturan tanaman
2.3.2. pemeliharaan

3. Pengamatan pertumbuhan

3.1. sasaran pengamatan: ukuran sel, biomassa, daun, tinggi tanaman, akar, morfologi tanaman, fenologi tanaman;
3.2. Sampel pengamatan: ukuran sampel, waktu panen, prosedur pengamatan
3.2. pemeriksaaan data

4. Analisis tanaman

4.1. analisis individu tanaman : laju pertumbuhan, biomassa, pengukuran daun, pengukuran akar. bioenergi tanaman.
4.2. Analisis komunitas tanaman: laju pertumbuhan komunitas, indeks tanaman, ratio akar : daun, fenologi tanaman.

5. kompetisi tanaman:

5.1. pengertian kompetisi tanaman dan faktor kompetisi
5.2. analisis kompetisi: intra spesies, inter spesies

6. desain penelitian tanam

6.1. pemilihan lokasi dan heterogenitas tanah
6.2. kesalahan dalam penelitian
6.3. penarikan contoh dalam petak penelitian
6.4. pemilihan desain yang sesuai

Selasa, 11 Agustus 2009

PENGUMUMAN UNTUK MAHASISWA PERWALIAN

Kupang, 10 - 08 - 2009

Dengan ini saya mengumumkan kepada mahasiswa Fakultas Peternakan Jurusan Nutrisi dan Makan Ternak yang bernama seperti di bawah ini di bawah ini:

1. Helena Medho
2. Hendrikus Nio
3. Ferdiyup. S. Wada
4. Fransiskus Mamu Kerans
5. Friance Halena Ndun

bahwa,

  1. KHS saudara untuk semester genap sudah saya ambil dari Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak;
  2. Saudara dapat menghubungi saya di kampus atau di rumah dan sepanjang saya tidak dalam acara tertentu kita dapat melakukan evaluasi hasil studi dan konsultasi rencana studi;
Demikian untuk dimaklumi,

Hormat saya,

DR. Ir. L. Michael Riwu Kaho, M.Si

Minggu, 21 Juni 2009

mispersepsi tentang savana (bahan untuk perbaikan nilai akhir MK. Tatalakasana Padang Rumput Tropika dan Sistem Agroforestri)

Kata savanna memang eksotis tetapi sekaligus menimbulkan banyak mispersepsi. Sebagian pakar mengaggap bahwa savana adalah hutan yang rusak. Sebuah tulisan di www.kabarindonesia.com menyebuktakn begini...Pemandangan hutan savana di Mamboro, Kabupaten Sumba Barat, NTT terlihat kering dan gersang dimusim kemarau. Hujan tidak turun sejak bulan Mei 2008 sampai sekarang (September 2008), walaupun demikian banyak mata air yang terus mengalir sepanjang tahun di lembah untuk mencukupi kebutuhan air warga setempat. Sebagian menganggap bahwa savana adalah hamparan padang rumput belaka.

Coba perhatikan gambar berikut ini yang diambil dari kawasan Mamboro, Sumba Barat, NTT dan kawasan Bromo, Jawa Timur.





Mispersepsi umum seperti di atas tampak juga di dalam sebuah puisi berikut ini,

NYANYIAN PADANG SAVANA

by ponco

lembah berhias lembayung senja
dengan hamparan padang savana
kulihat anggun molek jelita
memacu kuda dengan gagahnya

disaat melintas dirona kagumku
senyuman manis merasuk dikalbu
sedang gerai rambutnya yang mewangi
tinggalkan gelora dahana asmara

aduhai rona pesona......................
siapa gerangan anggun molek jelita?
kuingin rengkuh pinggang rampingnya
kududukan kepelana kudaku si raja

dikala lamunanku telah sirna
tinggal hamparan padang savana
membuat batinku lirih berbisik
kutunggu senja dikau disini

*) dahana = api
.... lirih = pelan

Pertanyaan" di mana letak kesalahan persepsi awam tentang savana dan dapatkan anda melakukan koreksi?

Kamis, 07 Mei 2009

nutrisi ternak gembala (bahan 1)

Feeding Livestock On Pasture


Nutritional Requirements

A grazing system needs to meet the nutritional requirements of the livestock. Animals require water, energy, protein, vitamins and minerals. These nutrients are used to meet the requirements for reproduction, body growth, wool or hair growth, lactation, and general body maintenance. Environmental conditions, such as hot and cold weather, can increase maintenance requirements. An animal's priorities for nutrition are maintenance, lactation, growth (young animals) and reproduction. Consequently, reproduction is the first to go and the last to return in cases of inadequate nutrition.

Forage Quality And Intake

Forage sources vary in nutrient content and nutrient availability (digestibility). As forage plants mature, energy availability and protein content decrease. Forage intake decreases as nutrient availability or digestibility decreases. Intake of forages accounts for over 75% of the differences observed in animal performance between various forages.

Ideally, the livestock manager would like the forage plants to have a high leaf area compared to stems. Leaves are more digestible than stems. Livestock will selectively graze leaves and petioles, before grazing stems. Leaves also decline more slowly in digestibility than stems. In a rotational grazing system, regrowth will be more leafy and thus maintain higher digestibility longer.

Monitoring The Animals

Producers can monitor the effectiveness of the nutrition program in the longterm by herd performance records. In the short term, it can be monitored by keeping an eye on the "amount of milk in the bucket" and by monitoring the flesh or body condition score of the livestock.

Dairymen can quite easily assess changes in forage quality by reading the dipstick in the bulk tank. Body condition changes can be a more reliable guide than body weight for evaluating the day-to-day nutrition status of beef cows or ewes. This system also had an advantage compared to body weight in that scales or corrals are not needed for body condition evaluation. Body condition scoring tools are available at your County Extension Office.

Monitoring The Forage

Accurately measuring pasture nutritional value involves collecting samples for laboratory analysis. Sample close to where animals graze, not spots that are avoided. With rotational grazing, taking random samples in the pasture will work better than with continuous grazing system. Most feeds should be placed in a sealable container and frozen prior to mailing. County Extension offices have bags and forms for forage samples. Extension personnel can recommend the most appropriate analysis to be conducted at the laboratory.

Admittedly, the information from the laboratory may be "after the fact" since the samples are taken when or near the time the animals are actually grazing the forage. However, such information will give you a base to start evaluating forage quality. A combination of grazing management experience and laboratory analyses will allow you to make better day-today estimates of forage quality and determine if there is a need for supplementation.

perubahan iklim savana NTT akibat monsun asia-australia


Salah satu komponen segitiga kebakaran, ingat bukan segitiga api, adalah iklim. Semakin kering iklim akan memperbesar peluang terjadinya kebakaran dengan intensitas tinggi (I = HWR) Salah satu faktor penentu perubahan cuaca di NTT yang mempengaruhi jumlah intensitas kebakaran hutan dan lahan NTT adalah fenomena angin Monsun Asia - Australia. Apa dan bagaimana angin tersebut, silakan ikuti bahan di bawah ini.

Angin monsun di Asia dan Australia adalah sistem yang unik yang bergerak dari Kutub Utara sampai Kutub Selatan dalam satu musim dan kemudian membalik arah pada musim berikutnya. Sistem angin monsun tersebut tidak bersamaan dengan pola atmosfer global yang umum dan itulah sebabnya sifatnya unik. Penelitian ilmiah dewasa ini menunjukkan bahwa gelombang angin kutub yang dingin mengawali siklus angin monsun dalam dua jalur yang sudah tertentu, sebagaimana dibahas di bawah ini.

Angin monsun di bulan Juni sampai dengan bulan September. Selama periode ini, di belahan bumi selatan adalah musim dingin dan gelombang angin dingin bergerak di atas Australia dan di samudera sekitarnya. Terjadi sel tekanan tinggi di atas Australia dan angin berhembus ke arah khatulistiwa. Angin ini mengumpulkan kelembaban dan panas pada saat berhembus melewati samudera. Di Asia musimnya adalah musim panas dan kawasan (zona) antartropis bergerak ke sebelah utara India, melalui Cina Selatan, ke Filipina Utara. Kawasan panas maksimum (kira-kira 40°C) merentang dari bagian baratlaut sub-benua India ke Timur Tengah. Suatu sel tekanan rendah berkembang di sebelah utara India.

Pada Garis Khatulistiwa, angin yang berada di bawah pengaruh Efek Koriolis, berhembus ke kanan dan tertarik ke arah sel tekanan rendah dan menjadi angin monsun barat-daya yang kuat dan yang membawa hujan deras ke selatan, ke Asia Tenggara dan Timur pada saat angin itu bergerak ke arah utara. Di dekat Jepang, angin tersebut berayun ke arah timur laut dan bergerak ke arah kawasan kutub.

Angin monsun bulan November sampai Februari. Saat itu musim dingin di Asia Utara dan kawasan yang sangat dingin sekali (di bawah -40°C) berkisar di Siberia. Massa udara kutub yang dingin dan sel tekanan tinggi merentang di atas sebagian besar Asia (sampai ke Pegunungan Himalaya dan sebagian besar Cina). Angin barat laut bertiup dalam gelombang udara dingin dari Siberia ke arah Jepang, di mana angin tersebut berputar dan menjadi angin monsun timur laut, yang berhembus ke arah khatulistiwa. Di sana, Efek Koriolis menangkis angin yang bergerak dari barat laut ke arah Australia. Angin monsun ini diterima di Asia bagian timur dan selatan serta di Australia Utara. Di Australia terjadi musim panas, yang dalam suatu kawasan panas maksimum (di atas 40°C) berkembang bersama-sama dengan sel tekanan rendah yang berkisar di Gurun Australia. Angin monsun berhembus ke arah sel tersebut dan membawa hujan, kadang-kadang termasuk angin topan tropis, ke arah Australia bagian utara.

Angin monsun yang kuat juga mempengaruhi arus samudera. Jadi, angin baratdaya menyebabkan arus yang kuat di Lautan Arab dan Teluk Benggali, yang mengakibatkan arus samudera bergerak searah jarum jam selama bulan Juni sampai dengan bulan September sedangkan angin timur laut menyebabkan gerak berlawanan dengan arah jarum jam di samudera ini selama bulan November sampai Pebruari. Arus yang mengalir antara Korea dan Jepang mengalir ke arah utara selama angin monsun panas dan berbalik arah pada musim dingin.

Senin, 20 April 2009

kebakaran hutan dan lahan serta dampaknya

Kebakaran liar, atau juga kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, kebakaran rumput, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi dapat juga memusnahkan rumah-rumah atau sumber daya pertanian. Penyebab umum termasuk petir, kecerobohan mansusia, dan pembakaran.

Musim kemarau dan pencegahan kebakaran hutan kecil adalah penyebab utama kebakaran hutan besar.

Kebakaran hutan dalam bahasa Inggris berarti "api liar" yang berasal dari sebuah sinonim dari Api Yunani, sebuah bahan seperti-napalm yang digunakan di Eropa Pertengahan sebagai senjata maritim.

Jenis Kebakaran

Menurut strata kejadian kebakaran maka kebakaran hutan dan lahan dibedakan atas 3 tipe, yaitu kebakaran tajuk (crown fire) yang biasa terjadi di strata atas hutan atau komunitas vegetasi berpohon lainnya, kebakaran permukaan (surface fire), yaitu kebakaran yang bergrak cepat di atas permukaan vegetasi di strata herba dipermukaan seperti kebakaran padang rumput dan kebakaran di bawah tanah (ground fire) yang terjadi di bawah permukaan tanah sepertiyang terjadi di lahan gambut di mana titik api justru berada di kedalaman lebih dari 2 meter. Pergerakan api pada dua tipe awal relatif lebih mudah ditebak karena mengikuti arah pergerakan angin tetapi kebakaran di bawah permukaan tanah sulit ditebak karena rembetan apiakan meluas kesegala arah.

Penyebab

Penyebab kebakaran liar, antara lain:

  • Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.
  • Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok secara sembarangan dan lupa mematikan api di perkemahan.
  • Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi.
  • Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka lahan pertanian baru dan tindakan vandalisme.
  • Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.

penyebab kebakaran hutan/lahan adalah SEGITIGA API

Kebakaran terjadi karena dua hal: karena ulah manusia baik disengaja maupun tidak disengaja dan karena terbakar dengan sendirinya.

Untuk unsur kesengajaan, manusia sengaja melakukannya untuk membuka dan membersihkan lahan. Pembakaran hutan dalam waktu singkat juga diyakini dapat meningkatkan kesuburan tanah. Pada beberapa kelompok masyarakat yang masih memiliki kearifan tradisional, pembakaran hutan dilakukan sebulan sebelum musim penghujan. Hal ini diperlukan karena hutan/lahan yang terbakar dalam waktu yang lama malah justru menghilangkan kesuburan tanah.

Untuk unsur ketidak sengajaan biasanya terjadi pada musim kemarau panjang. Dalam musim kemarau, sebatang rokok yang dibuang kesemak yang kering akan mampu menimbulkan api apabila angin bertiup perlahan. Bekas api unggun yang tidak mati dengan sempurna juga mampu memicu terjadinya kebakaran hutan/lahan.

Penyebab kebakaran hutan dapat bermacam-macam baik dari alam maupun karena kegiatan manusia. Kebakaran hutan akibat perbuatan manusia merupakan penyebab terbesar dari peristiwa kebakaran hutan di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan makin meningkatnya jumlah dan mobilitas penduduk sehingga kontak antara hutan dan penduduk makin tinggi. Selain itu kebutuhan akan lahan garapan dan kesempatan kerja juga makin meningkat sehingga menjadikan aksesibilitas manusia terhadap hutan makin mudah. Para peladang berpindah sering dituduh sebagai penyebab terjadinya kebakaran di hutan alam, karena pembukaan lahannya dilakukan dengan jalan membakar areal yang akan ditanam (prescribed burning).

Angin merupakan faktor pemacu dalam tingkah laku api. Angin mempercepat pengeringan bahan bakar, memperbesar ketersedian oksigen sehingga api berkobar dan merambat dengan cepat. Disamping itu angin dapat menerbangkan bara api yang dapat menimbulkan api loncat, dan terjadinya kebakaran baru.

Bahan Bakar (Pohon, rumput, dan semak dll) dapat terbakar bila tersedia udara dan panas yang cukup. Tiga unsur tersebut biasa disebut “segitiga api”. Bila tiga unsur segi tiga api tersebut tidak tersedia secara lengkap, api tidak dapat membakar. Harus ada panas yang cukup untuk menyulut bahan bakar misalnya: panas dari korek api, batubara, api bekas memasak, dari kendaraan,dari chainsaw, dari puntung rokok dll. Dan harus ada udara (oksigen) untuk dapat terbakar, tanpa ada udara sedikitpun api tidak akan hidup (Young and Giese,1991)

Faktor-faktor terjadinya suatu kebakaran hutan dan lahan adalah karena adanya unsur panas, bahan bakar dan udara/oksigen. Ketiga unsur ini dapat digambarkan dalam bentuk segitiga api. Pada prinsipnya, pengendalian kebakaran hutan dan lahan adalah menghilangkan salah satu atau lebih dari unsur tersebut (Suratmo,1985)

Segitiga api sangat penting karena dapat memberi tahu kita bagaimana kita dapat memadamkan api Kita dapat mengurangi atau menghilangkan salah satu dari unsur tersebut misal mengurangi bahan bakar, panas atau udara, agar kebakaran tidak membesar dan api bisa dipadamkan. Kita memotong bahan ketika api menyala dengan mermbuat sekat bakar, tempat dimana api menjalar keluar untuk membakar. Kita dapat meredam panas dengan menyemprotkan air ke atas api, kita dapat memutuskan oksigen atau udara dengan melemparkan lumpur atau tanah di atas api (Young and Giese,1991)

Kimia Kebakaran

Pembakaran adalah suatu runutan reaksi kimia antara suatu bahan bakar dan suatu oksidan, disertai dengan produksi panas yang kadang disertai cahaya dalam bentuk pendar atau api (Young and Giese,1991)

Dalam suatu reaki pembakaran lengkap, suatu senyawa bereaksi dengan zat pengoksidasi, dan produknya adalah senyawa dari tiap elemen dalam bahan bakar dengan zat pengoksidasi. Contoh:

CH_4 + 2O_2 --> CO_2 + 2H_2O + panas

CH_2S + 6F_2 --> CF_4 + 2HF + SF_6 + panas

Contoh yang lebih sederhana dapat diamati pada pembakaran hidrogen dan oksigen, yang merupakan reaksi umum yang digunakan dalam mesin roket, yang hanya menghasilkan uap air.

2H_2 + O_2 --> 2H_2O + panas

Pada mayoritas penggunaan pembakaran sehari-hari, oksidan oksigen (O2) diperoleh dari udara ambien dan gas resultan (gas cerobong, flue gas) dari pembakaran akan mengandung nitrogen

CH_4 + 2O_2 + 7.52N_2 --> CO_2 + 2H_2O + 7.52 N_2 + panas

(Brown and Davis, 1973)

Cuaca Kebakaran

Penyebaran api bergantung kepada bahan bakar dan cuaca. Bahan bakar berat seperti log, tonggak dan cabang-cabang kayu dalam keadaan kering bisa terbakar, meski lambat tetapi menghasilkan panas yang tinggi. Bahan bakar ringan seperti rumput dan resam kering, daun-daun pinus dan serasah, mudah terbakar dan cepat menyebar, yang selanjutnya dapat menyebabkan kebakaran hutan/lahan yang besar (Suratmo,1985.

Unsur-unsur cuaca yang penting dalam kebakaran hutan dan lahan adalah angin, kelembaban dan suhu. Angin yang bertiup kencang meningkatkan pasokan udara sehingga mempercepat penyebaran api. Pada kasus kebakaran besar, angin bersifat simultan. Semakin besar kebakaran, tiupan angin semakin kencang akibat perpindahan massa udara padat di sekitar kebakaran ke ruang udara renggang di tempat kebakaran. Angin merupakan faktor pemacu dalam tingkah laku api. Angin mempercepat engeringan bahan bakar, memperbesar ketersedian oksigen sehingga api berkobar dan merambat dengan cepat. Disamping itu angin dapat menerbangkan bara api yang dapat menimbulkan api loncat, dan terjadinya kebakaran baru.

Angin merupakan salah satu faktor penting dari faktor-faktor cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan. Angin bisa menyebabkan kebakaran hutan melalui beberapa cara. Angin membantu pengeringan bahan bakar yaitu sebagai pembawa air yang sudah diuapkan dari bahan bakar (Chandler et. al. 1983). Angin juga mendorong dan meningkatkan pembakaran dengan mensuplay udara secara terus menerus dan peningkatan penjalaran melalui kemiringan nyala api yang terus merembet pada bagian bahan bakar yang belum terbakar.Tiupan angin, akan memperbesar kemungkinan membesarnya nyala api dari sumbernya seperti korek api, obor, kilat dan sebagainya. (Deeming ,1995)

Kadar air/kelembaban bahan bakar juga penting untuk dipertimbangkan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Pada keadaan normal, api menyala perlahan pada malam hari karena kelembaban udara diserap oleh bahan bakar. Udara yang lebih kering pada siang hari dapat menyebabkan kebakaran yang cepat. Oleh sebab itu, secara teknis pada malam hari akan lebih mudah mengendalikan kebakaran hutan/lahan daripada siang hari. Namun demikian tidak lantas berarti, bahwa pengendalian kebakaran secara serius tidak dilakukan pada siang hari. Kenyataannya karena berbagai pertimbangan, kebakaran lebih banyak ditanggulangi pada siang hari. Suhu udara juga mempengaruhi para pemadam kebakaran, dalam keadaan udara yang panas, daya tahan dan kemampuan kerja pemadam kebakaran menurun (Brown and Davis, 1973)

Kondisi udara pada umumnya mengalami turbulensi karena adanya gerakan-gerakan udara (angin), namun pada saatnya terjadi pula stabilitas atmosfer. Udara dalam kondisi stabil akan mengakibatkan stagnasi dan akumulasi asap apabila terjadi kebakaran, apalagi kebakaran bahan-bahan organis yang masih agak basah seperti halnya biomassa yang berasal dari hutan, kebun, atau usaha budidaya pertanian lainnya. Massa udara yang mengandung kabut-asap akan tetap terkumpul dekat permukaan bumi dan tidak dapat bergerak lebih tinggi karena tidak terjadi gerakan udara vertikal (Suratmo,1985)

Sebaliknya, udara yang bergerak ke atas saat terjadi turbulensi dalam keadaan atmosfer tidak stabil akan dapat membawa dan menyebarkan asap ke udara bebas. Gejala ini sering ditandai dengan adanya awan kumulus. Secara vertikal, kabut dapat dibedakan dari awan, yang juga merupakan akumulasi uap air di udara, karena posisinya yang lebih dekat dengan permukaan bumi (Chandler et. al,1983).

Dampak


Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran liar antara lain:

1. Menyebarkan emisi gas karbon dioksida ke atmosfer. Kebakaran hutan pada 1997 menimbulkan emisi / penyebaran sebanyak 2,6 miliar ton karbon dioksida ke atmosfer (sumber majala Nature 2002). Sebagai perbandingan total emisi karbon dioksida di seluruh dunia pada tahun tersebut adalah 6 miliar ton.

2. Terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman baik karena kebakaran, terjebak asap atau rusaknya habitat. Kebakaran juga dapat menyebabkan banyak spesies endemik/khas di suatu daerah turut punah sebelum sempat dikenali/diteliti.

3. Menyebabkan banjir selama beberapa minggu di saat musim hujan dan kekeringan di saat musim kemarau.

4. Kekeringan yang ditimbulkan dapat menyebabkan terhambatnya jalur pengangkutan lewat sungai dan menyebabkan kelaparan di daerah-daerah terpencil.

5. Kekeringan juga akan mengurangi volume air waduk pada saat musim kemarau yang mengakibatkan terhentinya pembangkit listrik (PLTA) pada musim kemarau.

6. Musnahnya bahan baku industri perkayuan, mebel/furniture. Lebih jauh lagi hal ini dapat mengakibatkan perusahaan perkayuan terpaksa ditutup karena kurangnya bahan baku dan puluhan ribu pekerja menjadi penganggur/kehilangan pekerjaan.

7. Meningkatnya jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan kanker paru-paru. Hal ini bisa menyebabkan kematian bagi penderita berusia lanjut dan anak-anak. Polusi asap ini juga bisa menambah parah penyakit para penderita TBC/asma.

8. Asap yang ditimbulkan menyebabkan gangguan di berbagai segi kehidupan masyarakat antara lain pendidikan, agama dan ekonomi. Banyak sekolah yang terpaksa diliburkan pada saat kabut asap berada di tingkat yang berbahaya. Penduduk dihimbau tidak bepergian jika tidak ada keperluan mendesak. Hal ini mengganggu kegiatan keagamaan dan mengurangi kegiatan perdagangan/ekonomi. Gangguan asap juga terjadi pada sarana perhubungan/transportasi yaitu berkurangnya batas pandang. Banyak pelabuhan udara yang ditutup pada saat pagi hari di musim kemarau karena jarak pandang yang terbatas bisa berbahaya bagi penerbangan. Sering terjadi kecelakaan tabrakan antar perahu di sungai-sungai, karena terbatasnya jarak pandang.

9. Musnahnya bangunan, mobil, sarana umum dan harta benda lainnya.


Minggu, 05 April 2009

contoh sistem agroforestri tradisional di indonesia (http://www.kabarindonesia.com/)

MEMBANGUN KEMBALI KEARIFAN MASYARAKAT DALAM MENGELOLA SISTEM AGROFORESTRY TRADISIONAL ‘TALUN ‘ DI JAWA BARAT DALAM UPAYA MEMBANTU PELESARIAN HUTAN
Oleh : Johan Iskandar

08-Okt-2008, 08:40:25 WIB - [www.kabarindonesia.com]

Di beberapa daerah di Indonesia, dikenal memiliki berbagai macam sistem agroforestry tradisional (lihat de Forestra dkk 2000, Iskandar 2001). Pada umumnya, berbagai sistem agroforestry tradisional itu mempunyai peranan penting dalam memelihara lingkungan dan sekaligus memberi berbagai keuntungan bagi sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Sehingga, berbagai sistem agroforestry tradisional tersebut dapat dikembangkan dengan dimodifikasi dan disesuaikan dengan berbagai perkembangan zaman, untuk lebih mensejahteraan masyarakat lokal dan dapat mencegah atau pun mengurangi gangguan penduduk terhadap hutan di Indonesia.

Tulisan ini, mendeksripsikan tentang sistem agroforestry tradisional sistem talun di Jawa Barat, yaitu mencakup sejarah pembentukan, pengelolaan dan fungsi talun, serta perubahan dan upaya untuk pengembangan talun di masa datang. Hal itu dimaksudkan untuk menggali kembali kearifan masyarakat lokal di Jawa Barat, di dalam mengelola sistem agroforestry tradisional talun dalam upaya pemberian sumbangsih konsep untuk mengembangkan kesejahterakan masyarakat perdesaan dan sekaligus juga untuk pengembangan berbagai program memperbaiki dan penyelamatan hutan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat.


Sistem Agroforestry Talun

Di masa lalu, dikenal banyak ungkapan Orang Sunda yang mencerminkan upaya penduduk di Tatar Sunda dalam mengkonservasi alam. Misalnya, Mipit Kudu Amit (memetik harus ijin), Ngala kudu menta (memanen harus memohon), Gunung teu meunang dilebur (gunung tidak boleh dihancurkan), Lebak teu meunang di rusak (lembah tidak boleh dirusak), Daratan imahan (di lahan datar dibangun rumah), Legok balongan (daerah cekungan dijadikan kolam), Basisir jagaeun (kawasan pesisir lautan dijaga), Walungan rawateun (sungai dipelihara), Gunung kaian (gunung tumbuhi pepohonan kayu), Gawir awian (tebing tanami bambu) dan Pasir talunan (bukit tanami tanaman campuran tanaman keras) (bandingkan Supriadi 2008: 36). Dari beberapa ungkapan tersebut tersirat bahwa tradisi Orang Sunda di masa silam, pantangan untuk melebur gunung atau merusak lembah. Bahkan, gunung-gunung tersebut harus ditumbuhi pepohonan kayu (dikaian), tebing ditanami bambu (diawian) dan bukit ditanami tanaman keras, dijadikan talun atau ditalunan.


Apa itu talun?. Menurut kamus Sunda-Indonesia yang disusun oleh Satjadibrata (1950), yang dinamakan talun adalah kebun buah-buahan yang pohonnya hidup lama. Sementara itu, menurut Terra (1958) talun dapat diartikan sebagai tataguna lahan darat yang ditanami jenis-jenis tanaman keras yang lokasinya biasanya di sekitar kampung. Sistem talun dapat dikategorikan sebagai agroforestry asli di Tatar Sunda. Agroforestry adalah istilah baru yang diperkenalkan oleh kalangan ahli kehutanan dari Barat pada tahun 1970-an (von Modell 1985). Tetapi, sesungguhnya konsep agroforestry tersebut telah dipraktekan secara turun temurun ribuan tahun lalu di Indonesia, termasuk di Tatar Sunda. Secara umum agroforestry dapat diartikan sebagai suatu sistem tataguna lahan yang ditumbuhi oleh dominan campuran jenis tumbuhan tahunan/keras (perenial crops) dan terdapat pula campuran tanaman semusim (annual crops), sehingga memiliki struktur vegetasi rimbun menyerupai hutan alami. Karena itu, sistem agroforestry memiliki fungsi ekologi seperti fungsi hutan alami, tetapi juga memiliki fungsi sosial ekonomi budaya bagi penduduk.

Pada dasarnya, sistem talun merupakan analogi dengan sistem dukuh lembur di daerah Baduy, Banten Selatan; kaliwo atau kalego di Sumba Barat; repong damar di Krui, Lampung; kaleka di Bangka dan Belitung, Sumatera; pelak di Kerinci Jambi, Sumatera; parak di Maninjau, Sumatera Barat; lembo atau simpukng atau lepu atau pun pulung bue di Kalimantan Timur, dan tembawang di Kalimantan Barat (lihat Iskandar 1998; 2001; 2002; de Forestra dkk 2000; Puri 2005; Sulaiman dan Sancin 2007).

Tatapi, dalam perkembangannya istilah talun tempo dulu di Tatar Sunda, kini kurang dikenal lagi oleh generasi muda di Jawa Barat. Dewasa ini, pada umumnya sistem talun lebih dikenal oleh generasi muda di Tatar Sunda sebagai kebon (kebun) campuran, kebon awi (kebun bambu), kebon tatangkalan (kebun pepohonan) atau pun dudukuhan.

Tulisan ini mendeskripsikan tentang sejarah pembentukan sistem agroforestry talun, pengelolaan dan fungsi talun, serta perubahan dan pengembangan talun di masa datang, demi membantu peningkatan kesehateraan masyarakat perdesaan dan mengurangi gangguan pada hutan.


Pembentukan dan Pengelolaan Talun

Berdasarkan sejarah, sistem talun berkembang dari sistem ladang berpindah atau ladang berotasi (huma) atau swidden cultivation di Tatar Sunda yang dominan dipraktekan penduduk pegunungan Priangan dan Banten hingga akhir abad ke 19. Tetapi, dalam perkembangannya, akibat penduduk kian padat, ekonomi pasar berkembang pesat, kawasan hutan kian sempit, serta pengaruh kuat dari kebijakan pemerintah, maka kini sistem huma hanya ditemukan tinggal sisa-sisanya di P. Jawa, dengan masih dipraktekan dengan adat kuat oleh Masyarakat Kasepuhan, di kawasan G. Halimun, Sukabumi Selatan dan Masyarakat Baduy di kawasan G. Kendeng, Banten Selatan (Iskandar 1998).

Sistem huma biasanya dibentuk dari hasil membuka lahan hutan (leuweung). Caranya, pepohonan leuweung ditebang pilih dan semak-semak belukarnya ditebang habis. Sisa-sisa tebangan itu dikeringkan dan dikumpulkan menjadi beberapa onggokan. Lantas, onggokan-onggokan kering tersebut dibakar habis dan menjadi abu, sebagai sumber pupuk organik jenis-jenis tanaman yang ditanam di huma. Pada saat menjelang musim hujan, lahan bekas tebangan tersebut ditugal ditanami aneka ragam varietas padi huma dan jenis-jenis tanaman semusim lainnya, berupa kacang-kacangan, ubi, singkong dan lain-lain. Maka, kini lahan leuweung itu diubah menjadi lahan huma. Usai panen padi dan tanaman semusim lainnya, lahan huma digarap ulang untuk tahun berikutnya atau diistirahatkan (diberakan) cukup lama, karena kesuburan tanahnya telah berkurang. Kemudian, lahan bekas huma yang diberakan tersebut mengalami suksesi vegetasi membentuk lahan hutan sekunder muda (reuma ngora) dan seterusnya berkembang menjadi hutan sekunder tua (reuma kolot). Lahan reuma kolot dapat dibuka kembali menjadi huma, setelah lahan tersebut diberakan lebih dari 3 tahun dan kesuburan tanahnya telah pulih kembali. Kesuburan tanah dapat pulih kembali karena adanya seresah berupa daun-daun dan ranting kering yang jatuh dan membusuk jadi kompos dan sumber unsur hara di permukaan tanah. Sementara itu, sebelum lahan reuma ngora siap digarap ulang, para peladang biasanya pindah menggarap di lahan-lahan reuma kolot di lokasi lainnya yang sudah siap digarap ulang. Maka, terjadilah suatu sistem rotasi penggarapan leuweung dijadikan huma, yaitu reuma kolot-huma-reuma ngora-reuma kolot-huma secara berkelanjutan (Iskandar 1998).

Lantas, di dalam perkembangannya, rotasi sistem huma itu dapat berubah menjadi sistem talun. Terutama apabila lahan bekas huma ditanami oleh jenis-jenis tanaman keras buah-buahan dan tanaman kayu lainnya, serta didirikan suatu kampung baru (babakan) dan berkembang menjadi kampung besar (lembur). Sehingga, sistem rotasi huma tersebut terhenti, sejalan dengan bertambahnya penduduk dan berkurangnya lahan hutan. Tetapi, sistem talun yang struktur vegetasinya rimbun menyerupai hutan alami masih tetap bertahan di berbagai daerah pedesaan Tatar Sunda dengan diadaptasikan secara dinamik dengan berbagai perubahan lingkungan baru.


Kini, berdasarkan pengelolaannya, sistem talun dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu ‘talun permanen’ dan ‘talun non-permanen’. Talun permanen adalah talun yang tidak mengalami rotasi secara periodik tiap tahun. Sementara itu, talun non-permanen adalah talun yang biasa mengalami rotasi tiap tahun, seperti talun bambu. Talun bambu biasanya dibuka dijadikan kebon secara berotasi tiap tahun. Caranya, jenis-jenis tanaman bambu (Gigantochloa apus, Gigantochloa verticillata, Gigantochloa ater, Bambusa vulgaris) ditebang habis dan jenis-jenis pohon lainnya, seperti albasiah (Paraserianthes falcataria), tisuk (Hibiscus macrophyllus), aren (Arenga pinnata) biasanya ditebang pilih atau hanya dipangkas ranting-rantingnya. Sisa-sisa tebangan dibakar dan usai dibakar lahan tersebut ditanami aneka ragam tanam semusim yang dianggap menguntungkan secara ekonomi bagi penduduk. Misalnya, tembakau (Nicotiana tabacum) dan bawang merah (Allium cepa) di daerah Majalaya dan roay (Dolichos lablab) di Soreang dan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Di samping itu, lahan tersebut ditanami pula dengan campuran jenis-jenis tanaman semusim lainnya, seperti leunca (Solanum nigrum), bonteng (Cucumis sativus), surawung (Ocimum basilicum), paria (Momordica charantia), cengek (Capsicum frutescens), jagung (Zea mays), singkong (Manihot esculenta), tomat (Lycopersicon lycopersicum) dan lain-lain. Fase lahan talun yang sedang ditanami jenis-jenis tanaman semusim tersebut biasanya disebut kebon (kebun). Usai pemanenan jenis-jenis tanaman roay dan tanaman semusim lainnya, lahan kebon biasanya ditanami singkong selama 1 tahun atau langsung diberakan. Pada saat lahan diberakan, tunas-tunas bambu, albasiah dan lainnya bekas tebangan mulai tumbuh lagi dari pangkal-pangkal batangnya. Sehingga, lahan tersebut berkembang menjadi fase talun (bambu) muda dan akan bekembang menjadi fase talun (bambu) tua. Selanjutnya, lahan talun (bambu) tua tersebut dapat dijadikan kebon (kebun) lagi, apabila talun (bambu) tersebut telah diberakan lebih dari 3 tahun. Pada saat membuka talun (bambu) tua itu, biasanya para petani dapat memanen pohon-pohon bambu untuk bahan tiang-tiang bambu guna merambat tanaman roay (tuturus roay), bahan pagar kebun, dan sisa batang-batang bambu tersebut juga dijual ke pasar atau para pengrajin bilik bambu di desanya. Sementara itu, usai panen roay, semua bekas tuturus roay dan pagar bambu rusak dijadikan bahan kayu bakar. Sehingga, batang-batang bambu kering tersebut tidak terbuang percuma, namun dapat dimanfaatkan kembali sebagai kayu bakar untuk memasak di dapur. Maka, dalam sistem talun non-permanen, pada umumnya terjadi rotasi: talun-kebun-talun-kebun secara berkelanjutan. Karena itu, sistem talun biasa pula dinamakan sistem talun-kebun. Pada prinsipnya, sistem talun-kebun adalah analogi dengan sistem huma di Jawa Barat. Pada fase talun yaitu analogi dengan fase reuma kolot dan fase kebon analogi dengan huma. Sistem talun-kebun adalah sistem huma yang telah didaptasikan dan dimodifikasikan penduduk desa terhadap lingkungan baru, seperti penduduk yang kian padat dan kondisi ekonomi pasar yang sangat pesat. Misalnya, terjadi proses introduksi dan seleksi jenis-jenis tanaman yang kian ketat dan adanya asupan baru, berupa pupuk kandang dan tambahan pupuk kimia sintesis pada sistem talun yang sedang digarap dalam fase kebun.


Ketahanan Pangan dan Fungsi Ekologi

Pada umumnya sistem talun atau sistem talun-kebun ditanami oleh campuran aneka ragam jenis tanaman. Karena itu, sistem agroforestry asli Urang Sunda tersebut memiliki aneka ragam fungsi sosial ekonomi dan budaya, serta fungsi ekologi serupa dengan fungsi ekologi hutan alami. Fungsi sosial ekonomi talun/talun-kebun, antara lain menghasilkan aneka ragam produksi bahan pangan karbohidrat, buah-buahan, sayuran, bumbu masak, bahan industri, bahan kerajinan tangan, bahan bangunan, dan bahan kayu bakar. Berbagai produksi tanaman tersebut dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (kebutuhan subsisten) penduduk desa dan hasil surplusnya dapat dijual ke para bandar desa atau pasar, untuk menghasilkan uang tunai (kepentingan komersil). Sementara itu, fungsi sosial budaya talun antara lain, beberapa hasil ikutan dari talun, seperti ranting-ranting kayu mati, dapat diambil oleh keluarga lain, tanpa harus memohon izin pada pemiliknya. Sedangkan, fungsi ekologi sistem talun antara lain, berperan penting untuk konservasi keanekaan hayati, penghasil oksigen (O2), menyerap gas pencemar karbon dioksida (CO2), memelihara kesejukan dan keteduhan (iklim mikro), memelihara kesuburan tanah, perlindungan tata-air (hidrologi) suatu DAS, mencegah erosi tanah, longsor tanah, dan sebagai habitat satwa liar, seperti jenis-jenis burung.


Jadi, secara umum talun/talun-kebun berperan penting sebagai sumber aneka ragam tambahan bahan pangan dan penangkal rawan pangan ketika terjadi bencana kekeringan, serta kegunaan ekonomi lainnya bagi masyarakat pedesaan. Di samping itu, juga sekaligus dapat melindungi lingkungan, seperti fungsi-fungsi ekologis yang lazim diberikan oleh hutan. Dengan kata lain, bahwa keberadaan sistem talun di pedesaan Tatar Sunda sangat penting dalam upaya membantu perlindungan lingkungan secara lestari dan dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat desa.


Komersialisasi dan Perubahan Fungsi
Namun, sangat disayangkan bahwa sistem talun di Tatar Sunda kini cenderung kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak terkait. Akibatnya, banyak sistem talun di Tatar Sunda, seperti kasus yang terjadi di beberapa tempat di DAS Citarum Hulu, dialih fungsikan oleh pemilinya jadi kebun sayur komersil. Akibatnya, talun yang rimbun oleh vegetasi bambu dan tanaman keras lainnya, diubah total menjadi kebun sayur terbuka. Kebun sayur tersebut biasanya ditanami oleh jenis-jenis tanaman sayur komersil, seperti bawang daun (Allium fistulosum), wortel (Daucus carota), sawi (Brasicca chinensis), dan lobak (Rhapanus sativus). Konsekuensinya, sistem talun yang biasanya memaksimalkan berbagai sumber asupan dari dalam, berubah harus mendapat berbagai asupan dari luar, seperti benih sayur, pupuk kimia sintesis dan pestisida yang harus dibeli dari pasar. Sementara itu, sebagian besar hasil produksi sayur tersebut juga diperuntukan untuk dijual ke bandar desa atau pun ke pasar. Dampak negatifnya, penduduk desa kini perlu modal besar untuk usaha kebun sayur dan mereka pun kian tergantung pada mekanisme pasar yang tidak ramah. Misalnya, ketika pupuk kimia sintesis dan pestisida langka atau harganya naik, maka sistem produksi sayur petani sangat terganggu. Sementara itu, ketika harga jual sayur merosot di pasar, para petani sayur mengalami kerugian sangat besar. Selain itu, sistem kebun sayur tersebut juga lebih rentan oleh serangan hama dan penyakit. Padahal pada sistem talun, jarang terjadi adanya ledakn hama dan penyakit tanaman.
Pengaruh negatif lainnya, hilangnya berbagai fungsi ekologis talun yang menguntungkan secara ekologis bagi lingkungan. Misalnya, karena meningkatnya penggunaan pupuk kimia sintesis dan pestisida, maka telah menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan pada badan air di bagian hilir DAS. Selain itu, akibat berubahnya struktur vegetasi yang rimbun menjadi terbuka, maka ketika turun hujan sangat rawan terhadap bahaya longsor dan erosi tanah. Akibatnya, timbul banjir di bagian hilir DAS dan terjadi sedimentasi pada badan air, seperti sungai dan waduk. Sementara itu, pada musim kemarau terjadi kekeringan berat, karena kurangnya air tanah. Di samping itu, berubahnya struktur vegetasi talun tersebut juga dapat menyebabkan hilangnya habitat aneka ragam satwa liar, hilangnya aneka ragam tanaman lokal, hilangnya keteduhan dan kesejukan, pengurangan produksi oksigen dan penyerap berbagai gas pencemar, serta hilangnya aneka ragam bahan pangan, bahan bumbu masak, bahan kerajinan, bahan obat-obatan tradisional, bahan upacara adat dan bahan lainnya bagi kebutuhan penduduk lokal.

Oleh karena itu, untuk mempertahankan sistem agroforestry talun, maka berbagai upaya perlu dilakukan pemerintah. Misalnya, diberikan disinsentif dan insentif pada sistem agroforestry talun. Pemberian disinsentif antara lain penduduk desa yang mengubah sistem talun menjadi sistem sayur monokutur yang tidak ramah lingkungan. Contohnya, mereka dibebani pajak tanah lebih mahal. Akibatnya, diharapkan penduduk pedesaan tidak berminat untuk mengubah talunnya menjadi sistem pertanian lain yang tidak ramah lingkungan. Sementara itu, bagi penduduk yang tetap mengelola sistem talun diberi berbagai insentif (keuntungan). Contohnya, pemberian keringanan dalam pembayaran pajak tanah. Sehingga, penduduk desa yang mengelola talun diharapkan merasa diuntungkan dan tidak berminat untuk mengalih fungsikan talun menjadi sistem pertanian lain, yang tidak ramah lingkungan. Selain itu, pemberian modal usaha dan pengembangan berbagai industri pedesaan sekala kecil yang memanfaatkan bahan dasar dari produksi talun seyogianya digalakan pemerintah. Contohnya, dikembangkan dan dipromosikannya industri kerajinan tangan dan agroindustri dengan bahan dasar produksi talun, seperti bambu, buah-buahan, dan lain-lain. Upaya pengelolaan talun seyogianya juga dapat diintegrasikan dengan pemeliharaan ternak. Sehingga, dari sistem talun dapat menghasilkan hijauan pakan ternak. Sementara itu, kotoran ternaknya dapat dibuat kompos dan pupuk tanaman di sistem talun, serta sumber energi biogas rumah tangga. Sedangkan, hasil ternaknya dapat dijual untuk menghasilkan uang tunai bagi penduduk desa. Contoh kasus pengelolaan talun di Tatar Sunda tersebut kiranya dapat juga diterapkan secara luas di Indonesia. Namun, tetap harus memperhatikan kesesuaian ekologis lokal dan sosial ekonomi dan budaya setempat, serta partisipasi aktif masyarakat lokal. Sehingga, diharapkan dengan pengelolaan sistem agroforestry talun atau pun sistem agroforestry tradisional asli lainnya di Indonesia, yang menguntungkan secara ekologis dan sosial ekonomi budaya masyarakat, diharapkan dapat mengurangi tekanan penduduk desa terhadap lahan hutan dan kelestarian hutan di Indonesia pun dapat dijaga. Semoga!!!!.


Referensi

de Forestra,H., A.Kusworo, G.Michon dan W.A. Djatmiko, 2000. Ketika Kebun Berupa
Hutan: Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan Masyarakat. Bogor:
International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF).

Iskandar, J. 1998. Swidden Cultivation as a form of cultural identity: the Baduy case.
PhD. Dissertation, University of Kent at Canterbury (tidak dipublikasikan).

Iskandar, J. 2001. Manusia Budaya dan Lingkungan: Kajian Ekologi Manusia. Bandung:
Humaniora Utama Press.

Iskandar, J.2002. Orang Dayak dan Pengelolaan Lembo di Kutai Barat, Kalimantan
Timur. Bandung: Habitat (2): 10.

Puri, R.K. 2005. Deadly Dances in the Bornean Rainforest: Hunting Knowledge of the
Penan Benalui. Leiden: KITLV Press.

Satjadibrata, R.1950. Kamoes Soenda-Indonesia. Djakarta: Balai Poestaka.

Sulaiman.S dan I. Sancin, 2007. Mengulas Tanah Adat Bangka Belitung Masyarakat
Yang Tak Beradat. Pangkal Pinang: Bangka Pos, 16/9/2007.

Supriadi, D. 2008. Menuju Pembangunan Kawasan Lindung 45 %. Bandung: Suara
Berita Liputan Rimbawan Jawa Barat Surili, vol 44 (1): 36-42.

Terra, 1958. Farm Systems in South-East Asia. The Netherlands Journal of Agricultural
Science (6) 3:1157-182.

Von Modell, H.J. 1985. The Contribution of Agroforestry to Ward Agroforestry
Development. Agroforestry Systems 3 (2): 83-90.

Senin, 23 Maret 2009

penelitian tentang optimum stocing rate (by bob d. patton - http://www.npal.ndsu.nodak.edu/)

Determining an optimum stocking rate for the Missouri Coteau of North Dakota

from the North Dakota Agricultural Experiment Station 2002 Unified Beef Cattle and Range Research Report
(for complete report go to http://www.ext.nodak.edu/extpubs/ansci/beef/2002/beef01.htm)

Bob D. Patton

NDSU Central Grasslands Research Extension Center

The objective of this study is to determine the stocking rate that would result in the greatest long-term economic return to the livestock producer. In the past 12 years of this study the stocking rate that would have resulted in the greatest return was 1.76 AUM/acre. However for a number of reasons we feel this stocking rate may be too heavy to recommend.

This study compares the effects of five different grazing intensities on the plant community, livestock performance and economic returns. The stocking rate which provides the maximum pounds of beef/acre is generally higher than the stocking rate which produces the maximum economic return. The stocking rate with the highest return is higher than the one which produces the maximum pounds of forage per acre. Also, there is still some question regarding the sustainability of livestock performance under the heavy stocking rates.

Introduction

A grazing intensity research project was initiated at the Central Grasslands Research Extension Center (CGREC) in 1989. The objectives are to determine the effect of grazing intensity on livestock performance and profitability and its effect on the sustainability of forage production. Only the effect on livestock performance is discussed in detail in this paper.

Procedure

Five treatments are included: no grazing, light, moderate, heavy and extreme grazing. Each treatment is replicated three times in pastures of about 30 acres each except that the no grazing treatment consists of six 0.3-acre enclosures placed on both overflow and silty range sites. Livestock are not rotated between pastures and each pasture receives the same treatment each year. We try to stock the pastures each year so that when the cattle are removed in the fall, 65%, 50%, 35% and 20% of the forage produced in an average year is remaining on the light, moderate, heavy and extreme treatments, respectively. For these pastures that means 2,063 lbs/acre, 1,623 lbs/acre, 942 lbs/acre, and 484 lbs/acre, of forage remains on the light, moderate, heavy and extreme pastures, respectively. Open heifers have been used to stock the study since 1994; prior to that bred heifers or steers had been used. Adjustments in stocking pressure are made each year based on information from previous years to better match our desired grazing intensities. The cattle are weighed before they go on pasture and when they are removed. A dollar value is assigned to each animal based on its weight and the regression relationship which was developed using weight and sale prices from local livestock auctions during the week the animals went on or were removed from the pasture. When comparing estimated economic returns from selected stocking rates, costs for land, labor and management are not included because they vary greatly from one operation to another. Regression relationships were determined each year between stocking rate and average daily gain, gain per acre and economic return per acre.

Results and Discussion

Table 1 shows the average daily gain, gain per acre and body condition scores from the different grazing intensities for the last five years, average gains by treatment from 1991 to 2002 and average body condition from 1994 to 2002. Grazing pressure was too light on the heavy and extreme treatments in the first two years of the study so there are no significant differences in average daily gains in 1989 and 1990. Following that year, average daily gain and animal body condition scores decrease with increasing grazing intensity. The rate at which average daily gain decreases with an increase in stocking rate varies greatly from year to year. The differences between years may be due to variation in forage quality or quantity, the effect of weather on the animals, their initial weight or their potential to gain. In years when the grazing season ends early, as in 2000 to 2002, there is less chance for the differences in rate of gain between the light and extreme treatments to become significant.

Table 1. Average daily gains, gains per acre, and condition scores
from different stocking intensities.

------------------------------------------------------------------
Average Daily Gains (lbs/head/day)
Desired ----------------------------------------------------
Grazing Average
Intensity 1998 1999 2000 2001 2002 1991-2002
------------------------------------------------------------------
Light 1.53a1 1.40a 1.12 1.44 1.34 1.39a
Moderate 1.31ab 1.30a 1.07 1.29 1.47 1.27a
Heavy 1.03b 1.19ab 0.97 1.23 1.00 1.11b
Extreme 0.60c 0.96ab 0.82 1.14 0.78 0.77c
LSD2 (0.05) 0.38 0.25 NS3 NS NS 0.16
------------------------------------------------------------------
Average Gain (lbs/acre)
----------------------------------------------------
Average
1998 1999 2000 2001 2002 1991-2002
------------------------------------------------------------------
Light 28.29c 36.50b 33.03c 43.18c 20.06 24.39c
Moderate 62.25b 59.73b 42.39bc 59.88bc 37.90 48.51b
Heavy 97.86a 93.93a 58.24ab 67.15b 33.57 77.13a
Extreme 67.98b 108.49a 74.44a 108.27a 38.96 81.35a
LSD (0.05) 29.59 24.31 17.52 23.74 NS 12.73
------------------------------------------------------------------
Condition Score
----------------------------------------------------
Average
1998 1999 2000 2001 2002 1994-2002
------------------------------------------------------------------
Light 5.81a 5.72a 5.18a 5.78 5.22 5.39a
Moderate 5.71ab 5.65ab 5.20a 5.52 5.18 5.29ab
Heavy 5.21b 5.54bc 5.01a 5.43 5.18 5.13b
Extreme 4.65c 5.41c 4.61b 5.24 5.05 4.78c
LSD (0.05) 0.53 0.18 0.31 NS NS 0.21
------------------------------------------------------------------
1Means in the same column followed by the same letter are not
significantly different at p=0.05.
2LSD=least significant difference.
3Means not significantly different.

Initially, gain/acre increases as the stocking rate increases but there comes a point when further increases in stocking rates result in reduced gain/acre. All years except 2001 had at least one observation of a stocking rate higher than the rate projected to give the maximum gain/per acre for the year. Since we can't predict ahead of time what stocking rate would give the maximum gain/acre in a particular year, it would be impossible to stock each year for maximum gain/acre. In retrospect, if we were to pick one stocking rate that would have resulted in the maximum gain/acre over this 12-year period it would have been 2.14 AUM/acre. We predict that if we had stocked at this level each year, gain per acre would have ranged from a loss of 44.6 lbs/acre in 2002 to a gain of 148.9 lbs/acre in 1993 with an average of 78.3 lbs/acre. Because so little forage was produced in 2002, the grazing season was cut short and none of the pastures were actually stocked that heavily.

If cattle prices were constant, then return/acre would peak at a stocking rate somewhere below maximum gain/acre with the exact point depending on carrying costs (interest, death loss, salt and mineral, vet cost, transportation, labor and land). However, when cattle are worth more per hundredweight in the spring than they are in the fall it causes the point of maximum return/acre to occur at a lower stocking rate. When they are worth more in the fall, it causes the maximum return to occur at a higher stocking rate. Obviously we can't know ahead of time what the optimum stocking rate for a particular year is going to be. If we were to pick one constant stocking rate that would have provided the maximum return/acre over this last 12-year period it would have been 1.76 AUM/acre. Although the average return per acre is higher under the optimum rate there were four years with negative returns while only one year had a negative return under the moderate stocking rate. (Costs for land, labor and management have not been subtracted). In all but three years (1992, 1996 and 1999), the stocking rate with the greatest economic return was less than the rate with the greatest gain per acre.

Recommendations

Results of the past 12 years indicate that the stocking rate that would have provided the greatest return was 1.76 AUM/acre. However, for a number of reasons we feel this stocking rate may be too heavy to recommend. First, the extreme and heavy grazed pastures have been deteriorating in condition through the course of the study and may not be able to support the rates of gain we have seen in the past. Also, we have had higher-than-average precipitation through much of this period. The average annual precipitation for the first 13 years of this study was 19.06 inches compared to the 51-year average of 17.99 inches. As we move into a period of drier weather, forage production and annual gains are reduced. Both profits and losses are higher at higher stocking rates depending on the difference between spring and fall livestock prices. The producer would experience more years with negative returns at the higher stocking rates.

It appears that the moderate stocking rate may be too conservative if maximizing profit is the objective. In only three out of 12 years, returns would have been higher with a stocking rate less than the moderate rate of 0.96 AUM/acre. In all other years, a higher stocking rate would have resulted in higher returns. For a stocker operation in this area, the optimum stocking rate would fall in the range of 0.96 to 1.76 AUM/acre. In lower rainfall areas farther west in the state, these values would be reduced.

These stocking recommendations cannot be applied to a cow-calf operation because calf gains are largely dependent on the cows' milk production. Higher stocking rates could reduce the cows' condition and conception rates and result in higher overwintering costs to bring the cows back to condition to calve in the spring.

More information on this and other research conducted at the Central Grassland Research Center is available at: http://www.ag.ndsu.nodak.edu/streeter/

Rabu, 18 Maret 2009

pokok bahasan MK "sistem agroforestri"

POKOK BAHASAN MATA KULIAH

SISTEM AGROFORESTRI


1. Konsep sistem agroforesri

1.1 defenisi

1.2 atribut

1.3 premis-premis

1.4 kriteria sistem AF yang baik


2. Peranan sistem agroforestri

2.1. Peranan ekologi (protektif dan ameliorasi)

    • minimize erosi dan surface run-off
    • minimize kehilangan hara
    • minimize longsor
    • minimize pest and desease
    • ameliorasi kesuburan tanah
    • ameliorasi iklim mikro

2.2. Peranan sosioekosistem (produktif)


3. Praktek sistem agroforestri

3.1. Sistem tradisional

· ladang berpindah

· hutan savanna dan penggembalaan lepas

· hutan lontar

· mamar

3.2. Sistem moderen

· agro-silvi

· agro-pastoral

· agro-silvo-pastoral

· api-kultur

· seri-kultur (mangrove)


4. Manajemen sistem Agroforestri

4.1. manajemen biofisik

4.2. manajemen sosio-ekonomis: pendampingan, budgeting, recording, pemasaran


5. Manajemen ternak dalam sistem agroforestri

5.1. formulasi pakan

5.2. produksi ternak kecil

5.3. produksi ternak besar

5.4. produksi unggas

bahan kuliah 2, MK Pengendalian Kebakaran dan Penggembalaan Liar, Prodihut, S1

Fakta Empirik Kebakaran dan Penggembalaan Liar di Indonesia  Musim kemarau panjang di Indonesia identik dengan masalah akut seputar...