Kamis, 28 Agustus 2014

sebuah artikel lawas (2004) tetapi layak baca sebagai perkenalan diri sebagai dosen baru di prodi kehutanan, faperta, undana



Hutan NTT : Antara Piet Tallo, Soemardjo dan Narjan
(Perenungan Dalam Menerima Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan di NTT)

L. Michael Riwu Kaho[1]

Hari Rabu, tanggal 3  November 2004, di Kupang telah diluncurkan secara resmi suatu program nasional untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan di NTT.  Kita sebut saja program tersebut sebagai program GNRHL atau Gerhan. Suatu program yang secara Nasional telah dicanangkan oleh Presiden RI, ketika itu, Megawati Soekarnoputri di Gunung Kidul. Konon biaya untuk melaksanakan program Gerhan di NRR berjumlah total 47 milyar rupiah (mam bo’i ee..uang pung banya lai) yang akan dibagikan kepada seluruh Kabupaten /Kota di NTT. Dalam rencananya, progam ini akan dimulai dengan pembibitan ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan bibit anakan pohon dan kemudian disusul dengan penanaman. Beberapa waktu yang lalu melalui pemberitaan di HU Pos Kupang, antara lain edisi Senin 4 Oktober 2004,  kita di NTT diberi kejutan barang satu atau dua dikit perihal program atau proyek ini. Diberitakan tetang “silang sengketa”  beberapa pihak seputar pelaksanaan proyek rehabilitasi hutan di NTT (GNRHL) “seharga” 47 M tersebut. Ada tekanan dari oknum (kata benda yang sering diucapkan dan terdengar teramat lucu) legislatif, pemda dan pengusaha. Pimpro mau mengundurkan diri, katanya. Entah mundur betulan atau tidak betulan. Kabarpun menghilang dan keterkejutan kitapun menjadi nol dikit. Musnah. NTT alias Nyari Tak Terdengar lagi. Apapun, pogram Gerhan sudah hadir. Suka tidak suka harus mau. Mau tidak mau harus suka. 

Terbayang dalam benak saya bahwa sesudah bibit tanaman tumbuh semua dan dipindahkan ke lahan maka banyak orang akan merasa suka cita karena NTT akan penuh pohon. Hutan jadi baik lagi. Air tanah akan meningkat. Sumur-sumur akan penuh. Bulan kemarau tidak perlu lagi mete-mete jaga air. Semua leding air PAM penuh dengan air. Sehingga ketika kita membayar ke loket PAM bukan lagi membayar air campur. Air campur angin. Luar biasa. Maka NTT pun menjadi Nusa Tak kurang Tetesan air, Nusa Tenang Tenteram.  Betul begitu? Nanti dulu. Mari kita belajar dari 3 tokoh dalam judul kita di atas.
---***---

Nama pertama adalah Piet Tallo.  Bagi orang NTT, apalagi yang tinggal di Kupang, yang tidak mengenal nama yang satu ini dapat disebut sebagai beyond help alias keterlaluan. Umpama kata, Ba’i Liu sa tau naaa. Tetapi siapa di antara kita yang mengenal oknum yang bernama Soemardjo dan Narjan. Seandainya saja kita membuat quiz berhadiah tentang siapa yang mengenal mereka, hampir pasti hanya akan ada sedikit saja pesertanya.  Mereka kurang terkenal atau mungkin sama sekali tidak terkenal.  Kalau tidak terkenal maka mengapa kok berani-beraninya nama-nama tersebut digandengkan dengan nama Piet Tallo yang beken abis itu?.  Pembaca yang budiman, berikut akan di perkenalkan barang sedikit tentang 2 nama yang kurang terkenal tersebut.

bahan kuliah 2, MK Pengendalian Kebakaran dan Penggembalaan Liar, Prodihut, S1

Fakta Empirik Kebakaran dan Penggembalaan Liar di Indonesia  Musim kemarau panjang di Indonesia identik dengan masalah akut seputar...