Selasa, 23 Desember 2014

tipe hutan indonesia (Prodi Kehutanan, Faperta, Undana)

Jenis-jenis Hutan di Indonesia

I. Berdasarkan Biogeografi

Kepulauan Nusantara adalah relief alam yang terbentuk dari proses pertemuan antara tiga lempeng bumi. Hingga hari ini pun, ketiga lempeng bumi itu masih terus saling mendekat. Akibatnya, antara lain, gempa bumi sering terjadi di negeri kepulauan ini.
Sejarah pembentukan Kepulauan Nusantara di sabuk khatulistiwa itu menghasilkan tiga kawasan biogeografi utama, yaitu: Paparan Sunda, Wallacea, dan Paparan Sahul. Masing-masing kawasan biogeografi adalah cerminan dari sebaran bentuk kehidupan berdasarkan perbedaan permukaan fisik buminya.
  • Kawasan Paparan Sunda (di bagian barat)
Paparan Sunda adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Oriental (Benua Asia) dan berada di sisi barat Garis Wallace. Garis Wallace merupakan suatu garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sunda dan di bagian lebih timur Indonesia. Garis ini bergerak dari utara ke selatan, antara Kalimantan dan Sulawesi, serta antara Bali dan Lombok. Garis ini mengikuti nama biolog Alfred Russel Wallace yang, pada 1858, memperlihatkan bahwa persebaran flora fauna di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali lebih mirip dengan yang ada di daratan Benua Asia.
  • Kawasan Paparan Sahul (di bagian timur)
Paparan Sahul adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Australesia (Benua Australia) dan berada di sisi timur Garis Weber. Garis Weber adalah sebuah garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sahul dan di bagian lebih barat Indonesia. Garis ini membujur dari utara ke selatan antara Kepulauan Maluku dan Papua serta antara Nusa Tenggara Timur dan Australia. Garis ini mengikuti nama biolog Max Weber yang, sekitar 1902, memperlihatkan bahwa persebaran flora fauna di kawasan ini lebih serupa dengan yang ada di Benua Australia.
  • Kawasan Wallace / Laut Dalam (di bagian tengah)
Lempeng bumi pinggiran Asia Timur ini bergerak di sela Garis Wallace dan Garis Weber. Kawasan ini mencakup Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), dan Kepulauan Maluku. Flora fauna di kawasan ini banyak merupakan jenis-jenis endemik (hanya ditemukan di tempat bersangkutan, tidak ditemukan di bagian lain manapun di dunia). Namun, kawasan ini juga memiliki unsur-unsur baik dari Kawasan Oriental maupun dari Kawasan Australesia. Wallace berpendapat bahwa laut tertutup es pada Zaman Es sehingga tumbuhan dan satwa di Asia dan Australia dapat menyeberang dan berkumpul di Nusantara. Walaupun jenis flora fauna Asia tetap lebih banyak terdapat di bagian barat dan jenis flora fauna Australia di bagian timur, hal ini dikarenakan Kawasan Wallace dulu merupakan palung laut yang sangat dalam sehingga fauna sukar untuk melintasinya dan flora berhenti menyebar.

Bahan Kuliah Prodi Kehutanan, Faperta Undana

Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Republik Demokratik Kongo. Luas kawasan hutannya sekitar 120,4 juta ha atau sekitar 68% dari total luas wilayah daratan (Baplan 2002). Hutan Indonesia merupakan habitat bagi spesies flora dan fauna penting dunia. Tercatat  Hutan Indonesia menjadi habitat bagi 17% spesies burung, 16% reptile , 16% amphibi, 12% mamalia dan 10% tanaman di dunia. Forest Watch Indonesia mencatat laju deforestasi pada periode 2000-2009 adalah 1.515.892,66 Ha/tahun dengan luas deforestasi yang mencapai 15.158.926,59 Ha (periode 2000-2009) serta tutupan hutan (forest cover) Indonesia pada tahun 2009 yang hanya menyisakan sekitar 88.170.440,19 Ha (FWI, 2011).

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada tahun 2010 memperkirakan bahwa luas tutupan hutan Indonesia berkurang dari 118,5 juta ha pada tahun 1990 menjadi 94,4 juta ha pada tahun 2010 atau berkurang sekitar 24,1 juta hektar selama 20 tahun. Sekitar 77% dari kawasan tersebut merupakan hutan tropis primer dengan keanekaragaman hayati dan kepadatan karbon terbesar.

Sejarah
Sejarah pengelolaan hutan nasional dibagi ke dalam lima periode, yaitu:

1.      Periode Pra-Pejajahan Hingga Pejajahan Belanda
Pada  masa sebelum penjajahan Belanda, pengelolaan kehutanan diatur oleh hukum adat masing-masing komunitas adat masyarakat. Von Savigny menyatakan bahwa hukum mengikuti jiwa/semangat rakyat  (volkgeist) dari masyarakat dimana tempat hukum itu berasal. Karena volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka hukum masing-masing masyarakat juga berlainan. Hukum yang dimaksudkan dan dikenal pada masa itu adalah hukum adat.

2.      Masa kolonial hingga tahun 1945-an,
Deforestasi di Indonesia mempunyai sejarah panjang, semasa penjajahan Belanda deforestasi terjadi karena kebijakan yang mengijinkan penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi, pembuatan kapal, ijin pembukaan lahan untuk kepentingan pertanian, yang memaksakan perubahan fungsi hutan menjadi kebun tebu, kopi, nila dan karet (Mursidin et al. 1997).
Setelah lebih dari 200 tahun lamanya hutan alam jati dieksploitasi secara besar-besaran oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memasok bahan baku industri-industri kapal kayu milik pengusaha Cina dan Belanda. Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan jati di Jawa mengalami degradasi yang sangat serius, sehingga mulai mengancam kelangsungan hidup perusahaan-perusahaan kapal kayu yang mengandalkan pasokan kayu jati dari kawasan hutan.
Selama masa penjajahan Jepang, tidak ada usaha rehabilitasi hutan yang dilakukan, bahkan degradasi hutan semakin meningkat dari tahun 1942 sampai 1945. Sebagian besar degradasi pada zaman Jepang disebabkan oleh penebangan hutan jati dan hutan alam sebanyak dua kali lipat jatah tebangan tahunan untuk membiayai perang, amunisi mesin perang, menanam tanaman pangan untuk mencukupi persediaan makanan bagi tentara Jepang.

3.      Tahun 1945 hingga tahun 1970-an (Masa Pemerintahan Orde Lama)
Sejak awal tahun 1950-an, pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai program rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan rehabilitasi yang pertama adalah Gerakan Karang Kitri, dimulai pada bulan Oktober 1951 yang merupakan sebuah kampanye nasional atau himbauan kepada masyarakat untuk menanam pohon di pekarangan rumahnya (Mursidin et al. 1997).

4.      tahun 1960-an hingga tahun 1998-an,
Deforestasi menjadi masalah yang serius pada awal tahun 1970-an; seiring dengan kebijakan pemerintah oder baru untuk meningkatkan ekonomi nasional dengan mengeluarkan ijin penebangan kayu untuk pengusaha di hutan Pulau Jawa.  Selama tahun 1970-an, Indonesia merupakan negara eksportir kayu tropis terbesar di dunia yang mengekspor sekitar 300 juta m3 ke pasar internasional (Barr 2001). Pemerintah telah mengalokasikan lebih dari 60 juta ha hutan kepada perusahaan HPH selama lebih dari 30 tahun (Barr 2001).
Kebijakan over eksploitasi orde baru tersebut mewariskan konflik-konflik yang berkepanjangan dan tidak berkesudahaan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan antara masyarakat local dengan pemegang HPH, masyarakat local dengan pendatang, masyarakat local dengan pemerintah. Konflik tersebut menjurus pada pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

5.      Tahun 1998 sampai sekarang
Tahun 1998 merupakan tahun penting dalam perubahan politik di Indonesia. Setelah 32 tahun berkuasa, akhirnya Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto mundur, dan berturut-turut  (1998 – 2004)   digantikan oleh Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Soesilo Bambang Yudoyono (2004 – 2009; 2009-2014). Pemerintahan baru ini dinamakan dengan Orde Reformasi. Perubahan situasi politik ini diikuti semakin gencarnya tuntutan dari masyarakat atas manfaat dari hutan, yang ditandai dengan meningkatnya kasus perambahan dalam kawasan hutan (Scotland 2000; Potter dan Lee 1998). Kasus konflik seperti tuntutan yang tumpang tindih atas sumberdaya hutan antar kelompok masyarakat dan pemerintah daerah atau perusahaan kehutanan sering terjadi hampir di setiap propinsi (Potter dan Lee, 1998).
Orde Reformasi berupaya  menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan reformasi konstutisi, legislasi, birokrasi dan demokrasi. Sebagai dampak dari reformasi legislasi, maka banyak peraturan perundang-undangan produk Orde Baru yang diganti dan disesuaikan dengan semangat reformasi. Salah satunya adalah dicabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK).  Selama awal era otonomi daerah, angka kerusakan hutan meningkat dari 1,87 juta hektar menjadi  2,83 juta hektar. Pemerintah daerah kabupaten/kota diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengelola hutan yang ada di wilayahnya, di beberapa daerah terjadi ledakan pemberian izin konsesi skala kecil yang mengakibatkan meningkatnya laju kerusakan hutan.

(bangzul.com)

Kamis, 28 Agustus 2014

sebuah artikel lawas (2004) tetapi layak baca sebagai perkenalan diri sebagai dosen baru di prodi kehutanan, faperta, undana



Hutan NTT : Antara Piet Tallo, Soemardjo dan Narjan
(Perenungan Dalam Menerima Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan di NTT)

L. Michael Riwu Kaho[1]

Hari Rabu, tanggal 3  November 2004, di Kupang telah diluncurkan secara resmi suatu program nasional untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan di NTT.  Kita sebut saja program tersebut sebagai program GNRHL atau Gerhan. Suatu program yang secara Nasional telah dicanangkan oleh Presiden RI, ketika itu, Megawati Soekarnoputri di Gunung Kidul. Konon biaya untuk melaksanakan program Gerhan di NRR berjumlah total 47 milyar rupiah (mam bo’i ee..uang pung banya lai) yang akan dibagikan kepada seluruh Kabupaten /Kota di NTT. Dalam rencananya, progam ini akan dimulai dengan pembibitan ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan bibit anakan pohon dan kemudian disusul dengan penanaman. Beberapa waktu yang lalu melalui pemberitaan di HU Pos Kupang, antara lain edisi Senin 4 Oktober 2004,  kita di NTT diberi kejutan barang satu atau dua dikit perihal program atau proyek ini. Diberitakan tetang “silang sengketa”  beberapa pihak seputar pelaksanaan proyek rehabilitasi hutan di NTT (GNRHL) “seharga” 47 M tersebut. Ada tekanan dari oknum (kata benda yang sering diucapkan dan terdengar teramat lucu) legislatif, pemda dan pengusaha. Pimpro mau mengundurkan diri, katanya. Entah mundur betulan atau tidak betulan. Kabarpun menghilang dan keterkejutan kitapun menjadi nol dikit. Musnah. NTT alias Nyari Tak Terdengar lagi. Apapun, pogram Gerhan sudah hadir. Suka tidak suka harus mau. Mau tidak mau harus suka. 

Terbayang dalam benak saya bahwa sesudah bibit tanaman tumbuh semua dan dipindahkan ke lahan maka banyak orang akan merasa suka cita karena NTT akan penuh pohon. Hutan jadi baik lagi. Air tanah akan meningkat. Sumur-sumur akan penuh. Bulan kemarau tidak perlu lagi mete-mete jaga air. Semua leding air PAM penuh dengan air. Sehingga ketika kita membayar ke loket PAM bukan lagi membayar air campur. Air campur angin. Luar biasa. Maka NTT pun menjadi Nusa Tak kurang Tetesan air, Nusa Tenang Tenteram.  Betul begitu? Nanti dulu. Mari kita belajar dari 3 tokoh dalam judul kita di atas.
---***---

Nama pertama adalah Piet Tallo.  Bagi orang NTT, apalagi yang tinggal di Kupang, yang tidak mengenal nama yang satu ini dapat disebut sebagai beyond help alias keterlaluan. Umpama kata, Ba’i Liu sa tau naaa. Tetapi siapa di antara kita yang mengenal oknum yang bernama Soemardjo dan Narjan. Seandainya saja kita membuat quiz berhadiah tentang siapa yang mengenal mereka, hampir pasti hanya akan ada sedikit saja pesertanya.  Mereka kurang terkenal atau mungkin sama sekali tidak terkenal.  Kalau tidak terkenal maka mengapa kok berani-beraninya nama-nama tersebut digandengkan dengan nama Piet Tallo yang beken abis itu?.  Pembaca yang budiman, berikut akan di perkenalkan barang sedikit tentang 2 nama yang kurang terkenal tersebut.

Senin, 02 Juni 2014

invetarisasi dan monitoring pastura (bahan kuliah mk. pastura, fapet, undana, S1)


Butir manajemen in penting karena semua butir manajemen range seperti yang telah dikemukakan hanya akan berhasil jika jelas batas-batas daerah yang harus dikerjakan dan dapat dipantau gerak kemajuan atau kemunduran suatu tindakan manajemen.  Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi terutama dikendalikan oleh variasi kondisi iklim dan edaphik yang selanjutnya sangat mempengaruhi dinamika pertumbuhan dan perkembangan vegetasi serta komponen biotik lainnya dalam pastura, termasuk ternak perumput.  Kombinasi di antara faktro iklim, tanah, vegetasi dan hewan perumput tadi pada akhirnya akan menentukan arah pergerakan suksesi klimaks dari pastura. Arah perubahan ini harus dicatat karena semua bentuk kebijakan dan perencanaan penggunaan pastura hanya dapat ditetapkan berdasarkan evaluasi atas hasil pemantauan tersebut. Dalam rangka ini maka  Hollechek et al. (1989) mendeskripsikan butir-butir pencatatan sebagai berikut :
1.    Pemetaan batas-batas lahan dan vegetasi guna penetapan tegakan pastura atau range yang terkena tindakan manajemen.  Hal ini juga merupakan tindakan invevtarisasi sumberdaya yang baik untuk mernacang suatu desain tindakan mamajemen.  Dalam peta harus dapat tergambar letak topografi, sumber air, distribusi vegetasi alami dan lain-lain.
2.    Penghitungan berbagai atribut vegetasi seperti :
2.1.  Biomassa atau pemanenan dan penimbangan berat kering in situ berat yang akan beguna untuk megestimasi produksi, daya tampung, laju penggembalaan dan tekanan penggembalaan.
2.2.  Tipe penutupan lahan yang terbentuk berdasarkan tipe kanopi, tipe sebaran vegetasi, penutupan basal area dan lain sebagainya.
2.3.  Kerapatan dan frekuensi vegetasi yang berguna untuk mengetahui komposisi vegetasi yang ada di dalam pastura range. Denangan demikian kebijakan tentang pengendalian vegetasi dapat lebih terarah.
3.    Pemantauan tingkat utilisasi.  Utilisasi adalah persentase dari poduksi herbage dalam satuan waktu tertentu yang dikonsumsi atau dirusakan oleh ternak perumput.  Kebijakan tentang spesies apa yang harus ditanam dan pengaturan tekanan penggembalaan akan tepat jika data utilisasi tersedia.
4.    Pemantauan kecenderungan (trend).  Kecenderungan adalah arah dari perubahan kondisi range yang dapat dilihat dari indikasi perubahan produktivitas, penutupan lahan dan status suksesi klimaks. Kecenderungan dari arah suksesi dapat dilihat dari data tentang spesies-spesies increasers, decreasers, dan invaders  serta kondisi lingkungan biotik lainnya dan edafik dari pastura. Rekomendasi hasil pemantauan biasanya  akan berupa pertimbangan untuk memperbaiki (upward), menurunkan atau menekan (downward) atau stabil.  Hasil pemantauan selanjutnya dapat dipresentasikan dalam kategori rekomendasi berdasarkan  kecenderungannya dari 100% kondisi klimaks yang seharusnya.

Kamis, 22 Mei 2014

pengertian penelitian dan langkah melakukan penelitian (bahan sistem peternakan lahan kering, fapet, S1)


A.      Metode

Metode berasal dari Bahasa Yunani “Methodos’’ yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan. Adapun pengertian dan definisi metode menurut para ahli antara lain :
1. Rothwell & Kazanas => Metode adalah cara, pendekatan, atau proses untuk menyampaikan informasi.
2. Titus => Metode adalah rangkaian cara dan langkah yang tertib dan terpola untuk menegaskan bidang keilmuan.
3. Macquarie => Metode adalah suatu cara melakukan sesuatu, terutama yang berkenaan dengan rencana tertentu.
4. Wiradi => Metode adalah seperangkat langkah (apa yang harus dikerjakan) yang tersusun secara sistematis (urutannya logis).
5. Almadk (1939) => Metode adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran.
6. Ostle (1975) =>Metode adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesuatu interelasi.
7. Drs. Agus M. Hardjana => Metode adalah cara yang sudah dipikirkan masak-masak dan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu guna mencapai tujuan yang hendak dicapai.
8. Hebert Bisno (1969) =>Metode adalah teknik-teknik yg digeneralisasikan dgn baik agar dapat diterima atau digunakan secara sama dalam satu disiplin, praktek, atau bidang disiplin dan praktek.
9. Max Siporin (1975) => Metode adalah sebuah orientasi aktifitas yg mengarah kepada persyaratan tugas-tugas dan tujuan-tujuan nyata.
10. Rosdy Ruslan (2003:24) =>Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya.
11. Nasir (1988:51) =>Metode adalah cara yang digunakan untuk memahami sebuah objek sebagai bahan ilmu yang bersangkutan.
12.  KlikSaya => Metode adalah cara kerja yang besistem  untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
13. Arti Kata => Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki (http://artikata.com/arti-340805-Metode.html).
14. Kamus Bahasa Indonesia => Metode adalah cara kerja yg bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yg ditentukan.
15. Depatemen Sosial RI =>Metode adalah cara teratur yg digunakan utk melaksanakan pekerjaan agar tercapai hasil sesuai dgn yg diharapkan.

berbagai pengertian tentang lahan kering (bahan mk. sistem peternakan lahan kering, fapet S1)


Sebenarnya defenisi tentang pertanian lahan kering masih belum disepakati benar. Kita hanya bisa mengacu kepada usulan-usulan dan kebiasaan - kebiasaan yang dianut. Perhatikan beberapa referensi berikut ini:

Dryland farming is an agricultural technique for cultivating land which receives little rainfall. Dryland farming is used in the Great Plains, the Palouse plateau of Eastern Washington regions of North America, the Middle East and in other grain growing regions such as the steppes of Eurasia and Argentina. Dryland farming was introduced to the southern Russian Empire by Russian Mennonites under the influence of Johann Cornies, making the region the breadbasket of Russia.[1] Winter wheat is the typical crop although skilled dryland farmers sometimes grow corn, beans or even watermelons. Successful dryland farming is possible with as little as 15 inches (380 mm) of precipitation a year, but much more successful with 20 inches (510 mm) or more. It is also known that Native American tribes in the arid SouthWest subsisted for hundreds of years on dryland farming in areas with less than 10 inches (250 mm) of rain. 

In marginal regions, a farmer should be financially able to survive occasional crop failures, perhaps of several years running. A soil which absorbs and holds moisture is helpful as is the practice of leaving stubble standing in the field to catch blowing snow.

There are many techniques to dry farm. Some common techniques are to pull weeds that suck moisture, plant seeds deep in the ground to get maximum moisture and fallowing the land. Another technique is to plant crops in every other row. This way the odd rows' moisture will be built up for 2 years. This technique uses a lot of space since the farmer is only using half the land for profit.

Berdasarkan uraian di atas, pengertian pertanian lahan kering tampaknya dibangun berdasarkan sejarah atau kebiasaan, yaitu sistem pertanian yang ada di daerah dengan curah hujan tahunan berkisar antara 250 mm (di USA) sampai 510 mm di Russia.

Akan tetapi coba perhatikan defensi berikut ini:
Lahan kering umumnya terdapat didataran tinggi (daerah pegunungan) yang ditandai dengan topografinya yang bergelombang dan merupakan daerah penerima dan peresap air hujan yang kemudian dialirkan kedataran rendah, baik melalui permukaan tanah (sungai) maupun melalui jaringan bumi air tanah. Jadi lahan kering didefinisikan sebagai dataran tinggi yang lahan pertaniannya lebih banyak menggantungkan diri pada curah hujan. Lahan kering diterjemahkan dari kata “upland” yang menunjukkan kepada gambaran “daerah atas” (Hasnudi dan Saleh, 2006)

Perhatikan pula usulan berikut ini:
Hingga saat ini takrif pengertian lahan kering di Indonesia belum disepakati benar. Di dalam bahasa Inggris banyak istilah-istilah yng dipadankan dengan lahan kering seperti upland, dryland dan unirrigated land, yang menyiratkan penggunan pertanian tadah hujan. Istilah upland farming, dryland farming dan rainfed farming dua istilah terakhir yang digunakan untuk pertanian di daerah bercurah hujan terbatas. Penertian upland mengandung arti lahan atasan yang merupakan lawan kata bawahan (lowland) yang terkait dengan kondisi drainase (Tejoyuwono, 1989) dalam Suwardji (2003). Sedangkan istilah unirrigated land biasanya digunakan untuk teknik pertanian yang tidak memiliki fasilitas irigasi. Namun pengertian lahan tidak beririgasi tidak memisahkan pengusahaan lahan dengan system sawah tadah hujan.
Untuk menghilangkan kerancuan pengertian lahan kering dengan istilah pertanian lahan kering Tejoyuwono (1989) dalam Suwardji (2003) menyarankan beberapa pengertian sebagai berikut:
  • untuk kawasan atau daerah yang memiliki jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curah hujan actual atau daerah yang jumlah curah hujannya tidak mencukupi untuk usaha pertanian tanpa irigasi disebut dengan “Daerah Kering”.
  • untuk lahan dengan draenase alamiah lancar dan bukan merupakan daerah dataran banjir, rawa, lahan dengan air tanah dangkal, atau lahan basah alamiah lain istilahnya lahan atasan atau Upland.
  • untuk lahan pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan, istilahnya lahan kering.

Kesepakatan pengertian lahan kering dalam seminar nasional pengembangan wilayah lahan kering ke 3 di Lampung : (upland dan rainfed) adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi (Suwardji, 2003)). Definisi yang diberikan oleh soil Survey Staffs (1998) dalam Haryati (2002), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Dari pengertian diatas, maka jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: lahan tadah hujan, tegalan, lading, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang.

Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan luas yang mencapai 52,5 juta ha (Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka pengembangan sangat perlu dilakukan. Menurut Simposium Nasional tentang Lahan Kering di Malang (1991) penggunaan lahan untuk lahan kering berturut adalah sebagai berikut: hutan rakyat, perkebunan, tegalan, tanah yang sedang tidak diusahakan, ladang dan padang rumput.

TUGAS: DISKUSIKAN DAN SETIAP ORANG MEMBUAT ESSAI TERSENDIRI TENTANG DEFENISI PERTANIAN LAHAN KERING. KUMPULKAN MINGGU DEPAN

Selasa, 15 April 2014

bahan kuliah mk. sistem agroforestri (PB XI): model agro-silvo (fapet, undana)

bahan dari berbagai sumber:

I. Sistem Perladangan Berpindah yang Diperbaiki

Perladangan berpindah (shifting cultivation) merupakan satu diantara yang menerapkan teknologi konservasi dalam pertanian yang lebih berintegrasi dengan sistem alami. Menurut Lahajir (2001), bahwa dari perspektif sosial budaya, sistem perladangan berpindah secara umum dianggap sebagai satu-satunya sistem pertanian yang sesuai dengan ekosistem hutan tropis. Disamping itu, sistem perladangan dari segi ekologi, lebih berintegrasi ke dalam struktur ekosistem alami (Geertz, 1976). Sedangkan dalam hal biodeversiti di dalam sistem perladangan berpindah lebih tinggi dari sistem pertanian permanen seperti sawah. Tingginya biodeversiti/keanekaragaman hayati adalah  berasal dari pemberaan dan tanaman beraneka (mixed cropping).

Dalam perladangan berpindah, tahapan pemberaan (fallow) merupakan persentasi tertinggi dalam proses penggunaan lahan, di mana  tanah digunakan dalam waktu periode yang pendek, sehingga erosi dan sedimentasi di sungai rendah. Memang, praktek pembakaran bisa menyebabkan kehilangan nutrient, tetapi dapat meningkatkan pH yang baik untuk pertumbuhan tanaman, sedangkan kandungan bahan organik disimpan selama pemberaan. Dalam sistem dengan periode pemberaan stabil tidak menyebabkan peningkatan CO2 pada atmosfir karena penghutanan kembali. Rendahnya produktivitas dapat dipecahkan jika institusi penelitian agrikultural mengambil peranan yang lebih baik dalam mengalokasikan sumberdaya dalam peningkatan agronomik pada sistem perladangan berpindah. Oleh sebab itu, sistem perladangan berpindah dapat dijadikan alternatif sistem agrikulture yang permanen di wilayah tropis basah.

Perladangan berpindah (shifting cultivation) merupakan suatu sistem yang dibangun berdasarkan pengalaman masyarakat dalam mengolah lahan dan tanah yang dipraktekan secara turun menurun. Berbagai hasil penelitian, dengan dasar yang berbeda, akan menghasilkan suatu yang positif dan negatif. Secara negatif, perladangan berpindah dianggap menyebabkan penggundulan hutan dan erosi tanah yang sangat kritis. Tuduhan yang paling sering, saat kebakaran hutan di Kalimantan, salah satu yang dianggap menjadi sebab adalah sistem perladangan berpindah. Kemudian, dari segi produktivitas dianggap sangat rendah, apalagi bila dibandingkan dengan resiko lingkungan yang akan terjadi.
Namun demikian, sisi positifnya, bahwa sistem perladangan berpindah ini lebih akrab dengan sistem alami yang tentunya lebih adaptif, karena mempertahankan struktur alami dari pada melakukan perubahan ekosistem yang sangat baru. Pada kesempatan ini, sisi positif perlu mendapat perhatian yang lebih mendalam, terutam bila dihubungkan dengan konservasi, yaitu (i) pemberaan (fallow) dalam konservasi tanah dan (ii) sistem perladangan berpindah sebagai suatu bentuk pertanian konservasi.

Konsep Perladangan Berpindah (shifting cultivatiion)
Pada wilayah tanah hutan, ada suatu area yang dibersihkan dan ditanami setiap tahun untuk pertanian perladangan. Sistem pertanian ini dapat didefinisikan secara sangat umum  sebagai suatu sistem pertanian yang menerapkan konservasi secara langsung, sehingga dapat dikatakan sebagai sistem pertanian berkelanjutan di mana penebasan dilakukan secara tidak menetap, atau hanya sementara dan ditanami dengan tanaman untuk beberapa tahun saja, kemudian tanah hutan itu ditinggalkan untuk pemberaan lahan yang cukup lama. Namun, menurut Lahajir (2001), sistem perladangan ini masih sangat sulit ditemukan dalam penelitian dalam hal: soal-soal mengenai tipe penggunaan tanah perladangan, batas-batas kritis tanah yang luar biasa dan relasi-relasi yang bermakna di antara waktu, tempat, teknik dan ekologi lokal. Metode yang beraneka ragam dan konsekuensi-konsekuensi perladangan ini bagi manusia, tumbuhan, dan tanah tampaknya baru-baru ini mulai dipahami oleh para peneliti perladangan di dunia.

Selasa, 08 April 2014

take home exam (mid test) untuk mk. Tatalaksana Pastura (Fapet, S1)

  1. Sebutkan dan jelaskan filosofi mendasar dilakukannya upaya pengendalian vegetasi di pastura
  2. Sebutkan dan jelaskan langkah-langkah untuk mengetahui susunan vegetasi di suatu komunitas pastura
  3. Berikan satu contoh menghitung INP pada pastura dengan kebutuhan jumlah maksimum plot (1 x 1 m2) sebanyak 16 x dengan kerapatan dan frekuensi vegetasi tertentu sesuai hasil observasi anda di lapangan UNDANA
  4. Apakah perlu ada pengendalian vegetasi di pastura observasi anda.
  5. Terkait no. 5, jika perlu pengendalian maka:
  • jenis pengendalian apa yang disarankan
  • jenis rumput, legum dan MPTS apa yang disarankan jika anda ingin mengitrodusir jenis HMT ke dalam pastura observasi and. Berikan penjelasannya
  • Berapa besar presentasi gulma dan bagaimana saran untuk mengedalikannya
Kerjakan secara perorangan, mintakan kertas UAS di bagian akademik dan dikumpulkan paling lambat hari selasa pagi 22 april 2014 di ruang kerja saya di lembaga penelitian UNDANA.

selasa, 8 april 2014
Dosen MK
ttd

L. Michael Riwu Kaho

Selasa, 01 April 2014

bahan kuliah mk. pastura (S1, Fapet): Pokok Manajemen Padang Rumput (pengantar dan pengendalian vegetasi)



POKOK TATALAKSANA PADANG RUMPUT/PADANG PENGGEMBALAAN

by Dr. Ir. L. Michael Riwu Kaho, M.Si

Solusi Berbasis Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Produktivitas padang savana yang ada umumnya terkendala oleh rendahnya kualitas range savana seperti yang tergambar dari rendahnya  produktivitas hijauan asli yang dikuti oleh rendahnya nilai nutrisi.  Dalam keadaan demikian selalu terjadi diskontinyutas suplai hijauan yang bermutu sepanjang tahun.  Pada musim kering ternak selalu kehilangan bobot badan. Karena keadaan ini telah berjalan menahun maka dampak berikutnya adalah terjadinya penurunan kualitas produski ternak, terganggunya potensi reproduksi ternak dan sebagai muara dari persoalan ini adalah stagnan atau bahkan menurunnya populasi ternak yang di pelihara di savana.

Jelantik (2001) yang meneliti prestasi produksi sapi Bali  di savana Timor Barat guna penyusunan strategi suplementasi melaporkan bahwa tingginya kematian pedet terutama karena mereka tidak mendapat air susu yang cukup oleh induknya karena kelahirannya jatuh ditengah musim paceklik pakan. Dalam keadaan demikian sapi induk tidak cukup mendapatkan asupan protein dan nitrogen yang cukup.  Dari frase pernyataan Jelantik di atas maka ada 3 pilihan untuk pengembangan peternakan di Timor atau di NTT atau bahkan di seluruh daerah yang memiliki padang rumput savana dengan corak pastoralisme.  Pertama, perbaiki mutu ternak lewat strategi perbaikan genetik ternak.  Tentang hal ini maka Hattu (1987) melaporkan bahwa sapi hasil IB di daerah Binel setelah 2 tahun berada di lapangan akan memiliki prestasi produksi yang tidak nyata bedanya dengan sapi asli. Kedua, memperbaiki siklus birahi, masa kawin dan masa melahirkan.  Diharapkan pedet dapat lahir di tengah musim basah atau pada akhir musim hujan.  Jelantik mengisyaratkan bahwa strategi ini pun akan terkendala oleh status gizi dari pakan. Ketiga, memperbaiki ketersediaan pakan yang bermutu.  Sementara banyak pakar  bersetuju dengan strategi ketiga ini (Hattu, 1987; Rubino, 1989; Salean, 1999 dan Jelantik, 2001) pertanyaan derivasinya adalah strategi perbaikan pakan seperti apa.  Jawaban kemudian akan berpencaran dalam spektrum yang luas mulai dari startegi  pengawetan (konservasi) pakan yang berlebih pada musim hujan, suplementasi, perbaikan manajeman pemeilharaan dengan cara perkandangan, perbaikan mutu hijauan pakan dalam pola protein bank dan kebun-kebun bibit.  Pilihan terhadap pilihan tersebut sah dan rasional menurut perspektif masing.masing. 

Jumat, 28 Maret 2014

bahan MK: Inventarisasi SDA, IPSAL, PPS, UNDANA: inventarisasi ekosistem daratan (terestrial ecosystem): analisis vegetasi


referensi: Soerianegara, I dan Andry Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.



ANALISIS VEGETASI


Analisa vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Untuk suatu kondisi hutan yang luas, maka kegiatan analisa vegetasi erat kaitannya dengan sampling, artinya kita cukup menempatkan beberapa petak contoh untuk mewakili habitat tersebut. Dalam sampling ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu jumlah petak contoh, cara peletakan petak contoh dan teknik analisa vegetasi yang digunakan.

Prinsip penentuan ukuran petak adalah petak harus cukup besar agar individu jenis yang ada dalam contoh dapat mewakili komunitas, tetapi harus cukup kecil agar individu yang ada dapat dipisahkan, dihitung dan diukur tanpa duplikasi atau pengabaian. Karena titik berat analisa vegetasi terletak pada komposisi jenis dan jika kita tidak bisa menentukan luas petak contoh yang kita anggap dapat mewakili komunitas tersebut, maka dapat menggunakan teknik Kurva Spesies Area (KSA). Dengan menggunakan kurva ini, maka dapat ditetapkan : (1) luas minimum suatu petak yang dapat mewakili habitat yang akan diukur, (2) jumlah minimal petak ukur agar hasilnya mewakili keadaan tegakan atau panjang jalur yang mewakili jika menggunakan metode jalur.

Caranya adalah dengan mendaftarkan jenis-jenis yang terdapat pada petak kecil, kemudian petak tersebut diperbesar dua kali dan jenis-jenis yang ditemukan kembali didaftarkan. Pekerjaan berhenti sampai dimana penambahan luas petak tidak menyebabkan penambahan yang berarti pada banyaknya jenis. Luas minimun ini ditetapkan dengan dasar jika penambahan luas petak tidak menyebabkan kenaikan jumlah jenis lebih dari 5-10% (Oosting, 1958; Cain & Castro, 1959). Untuk luas petak awal tergantung surveyor, bisa menggunakan luas 1m x1m atau 2m x 2m atau 20m x 20m, karena yang penting adalah konsistensi luas petak berikutnya yang merupakan dua kali luas petak awal dan kemampuan pengerjaannya dilapangan. Untuk lebih jelas bagan pekerjaan dapat dilihat pada gambar 1.
(gambar kurva)

Kamis, 20 Maret 2014

tipe ekosistem darat (terestrial) dan ekosistem perairan (aquatis), bahan MK "Inventarisasi SDA", IPSAL, PPS Undana


bahan dikutip dari http://surachman-manan.blogspot.com/2010

A.  Ekosistem darat
Ekosistem darat ialah ekosistem yang lingkungan fisiknya berupa daratan. Berdasarkan letak geografisnya (garis lintangnya), ekosistem darat dibedakan menjadi beberapa bioma, yaitu sebagai berikut.
1.    Bioma Gurun
Beberapa Bioma gurun terdapat di daerah tropika (sepanjang garis balik) yang berbatasan dengan padang rumput. Ciri-ciri bioma gurun adalah gersang dan curah hujan rendah (25 cm/tahun). Suhu slang hari tinggi (bisa mendapai 45°C) sehingga penguapan juga tinggi, sedangkan malam hari suhu sangat rendah (bisa mencapai 0°C). Perbedaan suhu antara siang dan malam sangat besar. Tumbuhan semusim yang terdapat di gurun berukuran kecil. Selain itu, di gurun dijumpai pula tumbuhan menahun berdaun seperti duri contohnya kaktus, atau tak berdaun dan memiliki akar panjang serta mempunyai jaringan untuk menyimpan air. Hewan yang hidup di gurun antara lain rodentia, ular, kadal, katak, dan kalajengking.
2.    Bioma padang rumput
Bioma ini terdapat di daerah yang terbentang dari daerah tropik ke subtropik. Ciri-cirinya adalah curah hujan kurang lebih 25-30 cm per tahun dan hujan turun tidak teratur. Porositas (peresapan air) tinggi dan drainase (aliran air) cepat. Tumbuhan yang ada terdiri atas tumbuhan terna (herbs) dan rumput yang keduanya tergantung pada kelembapan. Hewannya antara lain: bison, zebra, singa, anjing liar, serigala, gajah, jerapah, kangguru, serangga, tikus dan ular.

Jumat, 07 Maret 2014

bahan mk "inventarisasi sumberdaya alam" : pilar-pilar manajemen sumberdaya alam (pokok bahasan IV, IPSAL, PPS UNDANA)



Fungsi-Fungsi Manajemen (POAC)


POAC

POAC Sebagai Proses Manajemen

POAC merupakan sebuah proses. Karena POAC sebuah proses, maka di dalam organisasi keberadaan POAC akan selalu berputar dan tidak akan pernah berhenti.

Pendekatan membantu untuk memahami apa yang manajer lakukan, yaitu menganggap pekerjaan mereka sebagai suatu proses. Proses adalah serangkaian tindakan untuk mencapai sesuatu. Misalnya, membuat keuntungan atau menyediakan layanan.  Untuk mencapai tujuan, manajer menggunakan sumber daya dan melaksanakan empat fungsi manajerial utama, yaitu POAC (Planning, Organizing, Actuating, Controlling).

POAC diterapkan dalam setiap organisasi di seluruh dunia guna mempertahankan kelanjutan organisasi. POAC adalah dasar manajemen untuk organisasi manajerial. Terdapat beberapa konsep proses manajemen, misalnya saja PDCE (Plan, Do, Check, Evaluate), dan PDCA (Plan, Do, Check, Action). Namun, konsep POAC lebih banyak digunakan dan diterapkan karena lebih sesuai untuk setiap tingkat manajemen.

bahan kuliah 2, MK Pengendalian Kebakaran dan Penggembalaan Liar, Prodihut, S1

Fakta Empirik Kebakaran dan Penggembalaan Liar di Indonesia  Musim kemarau panjang di Indonesia identik dengan masalah akut seputar...