Selasa, 15 April 2014

bahan kuliah mk. sistem agroforestri (PB XI): model agro-silvo (fapet, undana)

bahan dari berbagai sumber:

I. Sistem Perladangan Berpindah yang Diperbaiki

Perladangan berpindah (shifting cultivation) merupakan satu diantara yang menerapkan teknologi konservasi dalam pertanian yang lebih berintegrasi dengan sistem alami. Menurut Lahajir (2001), bahwa dari perspektif sosial budaya, sistem perladangan berpindah secara umum dianggap sebagai satu-satunya sistem pertanian yang sesuai dengan ekosistem hutan tropis. Disamping itu, sistem perladangan dari segi ekologi, lebih berintegrasi ke dalam struktur ekosistem alami (Geertz, 1976). Sedangkan dalam hal biodeversiti di dalam sistem perladangan berpindah lebih tinggi dari sistem pertanian permanen seperti sawah. Tingginya biodeversiti/keanekaragaman hayati adalah  berasal dari pemberaan dan tanaman beraneka (mixed cropping).

Dalam perladangan berpindah, tahapan pemberaan (fallow) merupakan persentasi tertinggi dalam proses penggunaan lahan, di mana  tanah digunakan dalam waktu periode yang pendek, sehingga erosi dan sedimentasi di sungai rendah. Memang, praktek pembakaran bisa menyebabkan kehilangan nutrient, tetapi dapat meningkatkan pH yang baik untuk pertumbuhan tanaman, sedangkan kandungan bahan organik disimpan selama pemberaan. Dalam sistem dengan periode pemberaan stabil tidak menyebabkan peningkatan CO2 pada atmosfir karena penghutanan kembali. Rendahnya produktivitas dapat dipecahkan jika institusi penelitian agrikultural mengambil peranan yang lebih baik dalam mengalokasikan sumberdaya dalam peningkatan agronomik pada sistem perladangan berpindah. Oleh sebab itu, sistem perladangan berpindah dapat dijadikan alternatif sistem agrikulture yang permanen di wilayah tropis basah.

Perladangan berpindah (shifting cultivation) merupakan suatu sistem yang dibangun berdasarkan pengalaman masyarakat dalam mengolah lahan dan tanah yang dipraktekan secara turun menurun. Berbagai hasil penelitian, dengan dasar yang berbeda, akan menghasilkan suatu yang positif dan negatif. Secara negatif, perladangan berpindah dianggap menyebabkan penggundulan hutan dan erosi tanah yang sangat kritis. Tuduhan yang paling sering, saat kebakaran hutan di Kalimantan, salah satu yang dianggap menjadi sebab adalah sistem perladangan berpindah. Kemudian, dari segi produktivitas dianggap sangat rendah, apalagi bila dibandingkan dengan resiko lingkungan yang akan terjadi.
Namun demikian, sisi positifnya, bahwa sistem perladangan berpindah ini lebih akrab dengan sistem alami yang tentunya lebih adaptif, karena mempertahankan struktur alami dari pada melakukan perubahan ekosistem yang sangat baru. Pada kesempatan ini, sisi positif perlu mendapat perhatian yang lebih mendalam, terutam bila dihubungkan dengan konservasi, yaitu (i) pemberaan (fallow) dalam konservasi tanah dan (ii) sistem perladangan berpindah sebagai suatu bentuk pertanian konservasi.

Konsep Perladangan Berpindah (shifting cultivatiion)
Pada wilayah tanah hutan, ada suatu area yang dibersihkan dan ditanami setiap tahun untuk pertanian perladangan. Sistem pertanian ini dapat didefinisikan secara sangat umum  sebagai suatu sistem pertanian yang menerapkan konservasi secara langsung, sehingga dapat dikatakan sebagai sistem pertanian berkelanjutan di mana penebasan dilakukan secara tidak menetap, atau hanya sementara dan ditanami dengan tanaman untuk beberapa tahun saja, kemudian tanah hutan itu ditinggalkan untuk pemberaan lahan yang cukup lama. Namun, menurut Lahajir (2001), sistem perladangan ini masih sangat sulit ditemukan dalam penelitian dalam hal: soal-soal mengenai tipe penggunaan tanah perladangan, batas-batas kritis tanah yang luar biasa dan relasi-relasi yang bermakna di antara waktu, tempat, teknik dan ekologi lokal. Metode yang beraneka ragam dan konsekuensi-konsekuensi perladangan ini bagi manusia, tumbuhan, dan tanah tampaknya baru-baru ini mulai dipahami oleh para peneliti perladangan di dunia.


Dalam perladangan, secara teknologi dapat dilihat dari cara-cara dalam mana lingkungan secara artifisial dimodifikasi dan mencakup perawatan tanaman, tanah, hama, dan lain-lain, yang berhubungan sangat kompleks. Pembedaan  yang bersifat sementara menunjuk pada lamanya fase suksesif perladangan, seperti (1) pemilihan (selecting), (2) penebasan (cutting), (3) pembakaran (burning), (4) penanaman (cropping), dan (5) pemberaan (fallowing). Fase 1 sampai 2 merupakan pembersihan vegetasi-vegetasi tua yang tidak relevan bagi keperluan pengolahan ladang, sedangkan dua fase terakhir merupakan kontrol terhadap vegetasi-vegetasi baru (baru ditanam atau tumbuh/bertunas). Di sini, terlihat fase 4 dan 5 menujukkan bahwa keadaan lingkungan yang telah ada, lamanya yang relatif tentang periode-periode penanaman bisa berubah-ubah dari pada fase pembersihan sebelumnya (fase 1 sampai 3). Selanjutnya, periode terlama yang proporsional adalah sebagai representasi dari pemberaan.

Perladangan  berpindah ini juga merupakan sistem pertanian yang terintegrasi dan berkesinambungan dalam ruang dan waktu. Sistem perladangan ini dilakukakan secar berpindah-pindah sebagai ciri utama kearifan ekologi, dari lokasi lahan ladang yang satu ke lokasi lahan ladang berikutnya guna mengistirahatkan (fallow) hutan tanah lahan perladangan yang telah diolah beberapa kali dalam siklus tahun ladang untuk jangka waktu bera yang ideal, yaitu sekitar 10 – 15  tahun sebelum digunakan kembali pada rotasi berikutnya. Di sini jelas terlihat bahwa waktu bera sangat berpengaruh besar pada kesuburan tanah dan tingkat produksi yang dihasilkan. Lahajir (2001) mengklasifikasikan hutan sekunder berdasarkan masa bera seperti berikut ini, yakni: (1) hutan sekunder tua dengan masa bera 10 -15 tahun, (2) hutan sekunder muda dengan masa bera 10 – 5 tahun, dan (3) hutan sekunder termuda dengan masa bera kurang dari 5 tahun.

Bentuk Pertanian Konservasi

Sistem perladangan berpindah bagi sebagian ahli dianggap sebagai pemborosan dari sumberdaya alam, atau sangat primitif (FAO Staff 1957), dan dikenal secara relatif mempunyai ouput yang rendah per unit areanya. Hal ini kalau ditinjau dari segi ekonomi, tetapi mungkin karena perhatian terhadap sistem inilah yang masih sangat kurang, yang sebenarnya membutuhkan tindakan yang lebih spesifik untuk menjadi sistem yang dapat diterima, untuk menjadi alternatif sistem pertanian konservasi.

Perladangan berpindah tidak menyebabkan efek yang berbahaya terhadap lingkungan, bahkan mampu menyediakan alternatif yang aman dibandingkan dengan sistem pertanian lainnya di hutan tropis basah. Adapun kurangnya peningkatan produktivitas adalah merupakan konsekuensi dari pengabaian dari sistem ini di dalam kebanyakan penelitian pertanian. Hal ini bisa dilihat dari hasil penelitian Lahajir, yang menemukan bahwa hasil perladangan berpindah tidak sanggup lagi mencukupi kebutuhan subsisten mereka. Dalam konteks pembahasan di sini, perladangan berpindah sebagai sistem pertanian yang menggunakan pemberaan sebagai hal yang utama dalam menjaga produktivitas. Sistem perladangan dikerjakan hanya 1 – 2 tahun dalam penanaman yang kemudian dilanjutkan dengan periode bera yang panjang.
 
Erosi sudah lama disadari sebagai masalah utama dalam perladangan berpindah, tetapi sangat sedikit studi kuantitatif yang ada tentang erosi dari perladangan berpindah, sehingga masih begitu terbatas. Dari studi yang pernah dilakukan menunjukkan pembersihan lahan pada perladangan berpindah secara tradisional lebih rendah jumlah erosi dan kehilangan sedimin dari sistem dibandingkan pada beberapa bentuk pembersihan lahan (land clearing) dan sistem pengolahan tanah (tillage). Alasan  rendahnya erosi adalah sangat pendiknya periode terbukanya tanah (setelah pembakaran, sebelum tanaman mantap), tanpa atau sedikit pengolahan tanah (tillage), dan dengan membentangkan pohon-pohon yang tidak terbakar secara horisontal terhadap kemiringan (slope). Dengan sedikit sedimin yang hilang dari sistem dan pemakaian bahan kimia yang terbatas sekali, maka sumberdaya air tidak terpengaruh secara serius.

Selama penanam, nutrient kehilangan utamanya akibat pembakaran dan beberapa dari pencucian (leaching), tetapi hanya jumlah terbatas yang dipindahkan oleh tanaman sebagai sisa tanaman yang tertinggal di lapangan dan pertumbuhan kembali pada masa bera dapat menahan kembali nutrient. Peningkatan penyimpanan karbon dalam jangka panjang, kalau bisa sampai 20 – 50 tahun di dalam tanah, tanaman dan produksi tanaman mempunyai efek menguntungkan terhadap lingkungan dan pertanian. Lahan tanaman budidaya, padang gembalaan dan hutan dapat dikelola baik untuk aspek produksi maupun penyimpanan karbon. Kedua pendekatan pengelolaan lahan tersebut dapat dicapai dengan penerapan pengelolaan lahan yang sudah banyak dikenal seperti pengolahan tanah konservasi, pengelolaan unsur hara yang efisien, pengontrolan erosi, penggunaan tanaman penutup tanah, dan restorasi lahan-lahan terdegradasi.

Konservasi lahan melalui pemberaan (fallow) yang panjang dapat dengan cepat meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah. Peningkatan bahan organik tanah secara global dalam jangka waktu yang lama akan mampu memberikan efek yang menguntungkan terhadap penurunan rata-rata peningkatan CO2 atmosfer dan peningkatan produktivitas tanah, khususnya dalam banyak areal tanah yang telah terdegradasi. Pengolahan tanah merupakan kebudayaan yang tertua dalam pertanian dan tetap diperlukan dalam pertanian modern.  Menurut Arsjad (1989), yang mendefinisikan pengolahan tanah sebagai setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman.  Tujuan pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan tempat pesemaian, tempat bertanam, menciptakan daerah perakaran yang baik, membenamkan sisa tanaman, dan memberantas gulma.  Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi struktur tanah alami yang baik yang terbentuk karena penetrasi akar, apabila pengolahan tanah terlalu intensif maka struktur tanah akan rusak.  Kebiasaan petani yang mengolah tanah secara berlebihan dimana tanah diolah sampai bersih permukaannya merupakan salah satu contoh pengolahan yang keliru karena kondisi seperti ini mengakibatkan butir tanah terdispersi oleh butir hujan, menyumbat pori-pori tanah.   Untuk mengatasi pengaruh buruk pengolahan tanah, maka dianjurkan beberapa cara pengolahan tanah konservasi yang dapat memperkecil terjadinya erosi.  Cara perladangan berpindah dengan :
  1. Tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa-sisa tanaman sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari ancaman erosi selama masa yang sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal tanaman.  Penanaman dilakukan dengan tugal
  2. Pengolahan tanah minimal, tidak semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja yang diolah dan sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah
  3. Pengolahan tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan memotong lereng sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah atau dengan melintangkan pohon yang tidak terbakar (logs) dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng.  Pengolahan tanah menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur juga yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah.
Dari sistem perladangan berpindah, cara pengolahan tanah sudah diterapkan, sehingga dapat menggunakan sesuai dengan keperluan dan kemampuannya. Penyesuaian dengan ekologi setempat inilah yang menjadikan sistem perladangan berpindah dapat dikatakan sebagai sistem pertanian konservasi. Sistem ini memang perlu lebih ditingkatkan, atau diberikan sentuhan ilmu pengetahuan yang juga disesuaikan.

Berdasarkan penggunaan teknik tradisional, perladangan berpindah sangat sesuai dengan lingkungan dan dapat lebih berkelanjutan dari sistem pertanian permanen dalam kondisi tropis basah. Kebanyakan studi tentang perladangan berpindah telah memfokuskan pada efek terhadap praktek manajemen dan sangat sedikit penelitian yang telah dilakukan untuk peningkatan  secara agronomi terhadap produksi tanaman di dalam sistem, karena sistem tersebut sudah melekat sebagai primitif dan anti pembangunan. Masalah lainnya, adalah bahwa perladangan berpindah lebih sering dibandingkan dengan kegiatan kehutanan (seperti agroforentry yang hampir sama dengan shifting cultivation) atau bahkan sumberdaya hutan daripada dengan sistem pertanian lainnya. Hal ini sangat tidak realistis  untuk mengharapkan perladangan berpindah menjadi sama tidak berbahaya seperti hutan alami. Ini adalah sistem pertanian, yang dibuat dengan menggunakan hutan dan harus disadari seperti itu.

II. Sistem Pertanaman Lorong (Alley Cropping)

Sistem pertanaman lorong (alley croping) adalah suatu sistem di mana tanaman pangan ditanam pada lorong (alley) di antara barisan tanaman pagar (Sariyata, Ketut., 2007). Sistem tersebut biasanya diterapkan pada lahan yang tergolong kering, penanaman tanaman tahunan seperti lamtoro, sengon, mahoni, dan lain sebagainya sebagai pagar, tanaman pagar biasanya dimanfaatkan sebagai kayu untuk kebutuhan furniture, perlengkapan rumah, mupun dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar. 

Tanaman pagar secara ekologis difungsikan untuk menampung air, menyuburkan tanah, meminimalisir potensi erosi dan longsor dan memicu peningkatan aktivitas mikroorganisme sehingga cocok untuk ditanami tanaman semusim yang toleran. Tanaman semusim yang toleran terhadap kekeringan misalnya jagung, kedelai, sorgum, singkong dan lain sebagainya untuk ditanam diantara tanaman pagar. Tujuannya adalah untuk menunggu masa panen tanaman pagar sehingga dari kegiatan tersebut tetap ada pemasukan.

Konservasi lahan kering penting untuk dilakukan karena tanah tersebut cukup luas dan belum dapat dimanfaatkan secara optimal guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mendapatkan hasil yang optimal perlu dilakukan kombinasi teknik lain, terutama untuk menampung air guna memenuhi kebutuhan air tanaman semusim saat terjadi musim kekeringan yang parah seperti membuat embung, dan rorak. 

Kebutuhan air kedelai, jagung, dan sorgum memang reltif sedikit namun jika kekeringan berlangsung lama maka pertumbuhannya kurang optimal. Air hasil penampungan pada musim hujan tersebut dapat digunakan untuk menyiram tanaman diatas jika diperlukan. Alley cropping merupakan kombinasi antara tanaman tahunan (pagar) dan tanaman semusim yang dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga dapat menguntungkan secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Keuntungan sistem pertanaman lorong:

a.Ekologi
Dapat menyumbangkan bahan organik dan hara terutama nitrogen untuk tanaman lorong. Mengurangi laju aliran permukaan dan erosi apabila tanaman pagar ditanam secara rapat menurut garis kontur. Terpaan angin dapat diminimalisir sehingga tanaman musiman tetap dalam kondisi yang baik. Meningkatkan keanegaragaman hayati dan keseimbangan agroekosistem.

b.Ekonomi
Menghemat biaya pengolahan lahan karena tidak perlu dilakukan pembajakan untuk menggemburkan tanah. Mengurangi biaya pemupukan dengan memanfaatkan daun tanaman pagar untuk dijadikan kompos atau mulsa. Ranting pohon tahunan dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar.

c.Sosial
Dapat meningkatkan ketahanan pangan dan ekonomi serta penggangguran dapat dikurangi.

Sedangkan kelemahan penanaman lorong atau alley cropping diantaranya adalah :
1.Tanaman pagar mengambil sekitar 5 - 15% areal yang biasanya digunakan untuk tanaman pangan /tanaman utama. Untuk itu, perlu diusahakan agar tanaman pagar dapat memberikan hasil langsung. Hal ini dapat ditempuh misalnya dengan menggunakan gliricidia sebagai tanaman pagar dan sekaligus sebagai tongkat panjatan bagi vanili atau lada. Cara lain misalnya dengan menanam kacang gude sebagai tanaman pagar.
2.Sering terjadi persaingan antara tanaman pagar dengan tanaman utama untuk mendapatkan hara, air, dan cahaya. Cara mengatasinya adalah dengan memangkas tanaman pagar secara teratur supaya pertumbuhan akarnya juga terbatas.
3.Tenaga kerja yang diperlukan untuk penanaman dan pemeliharaan tanaman pagar cukup tinggi (Haryati, Umi., 2010).

Keuntungan yang maksimal akan dapat diperoleh jika pemilihan komoditas yang akan ditanam sedang diminati konsumen, selain itu komoditas harus berkualitas baik, dan untuk meningkatkan nilai ekonominya bisa dilakukan teknik pasca panen yang memadai. Contoh penanganan paca panen yang baik misalnya jagung dipasarkan dalam bentuk tepung maizena dan dikemas dengan kemasan yang baik.
Persyaratan tanaman pagar:
1. Tahan pemangkasan dan dapat bertunas kembali secara cepat sesudah pemangkasan, dan
menghasilkan banyak hijauan
2. Tingkat persaingannya dengan tanaman lorong tidak begitu tinggi.
3. Sebaiknya mempunyai manfaat ganda seperti untuk pakan ternak, kayu bakar dan penghasil buah
supaya mudah diadobsi petani

Berikut ilustrasi penerapan allley croping pada lahan kering :
Tanaman pagar dapat dipilih misalnya sengon dan mahoni, pertimbangannya tanaman ini bernilai cukup tinggi (kayu) dengan masa panen 5 – 6 tahun, ranting dan batang dapat dimanfaatkan untuk kayu bakar, daunnya dapat dimanfaatkan sebagai mulsa ataupun kompos serta tanaman ini relatif tahan dalam kondisi kering. Jarak tanam sengon dan mahoni, yakni (2 x 10) m untuk bagian lebar pagar ditanami tanaman musiman ditanami jagung dengan jarak tanam (25 x 75) cm, kedelai (20 x 20) cm. Berikut analisis ekonomi sederhananya dalam lahan seluas 1 hektar :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJAw9bXBbn3cx2_cJ3kLVBD5zAloJnDgZSTvb0Md3hHn9RfrojFZDoqy-KZs9Zg1M0VKkyBKgUK4QCeFNHuZTkNhU1KRgc5V5V3nkE8qEyWYcfI-5ml6PGii8JnvU1taXfSJD2jaB70AMx/s320/h.jpg


Keterangan :
A : Tanaman Pagar (sengon dan mahoni)
B : Tanaman Kedelai
C : Tanaman jagung

III. Multi-Storey continuous cropping systems

Most of the success stories associated with the introduction of high-yielding cereal varieties in the tropics have occurred in areas with more or less inherently productive soils and where irrigation was available or water was subject to control. In most areas of the humid tropics, however, the replacement of shifting cultivation by permanent or semi-permanent agriculture is limited by one or a combination of the following physical factors:
a.       frequent periods of moisture stress because of the poor water retention capacity of the soils;
b.      high soil temperatures;
c.       high rainfall intensities, leading to leaching and erosion;
d.      high night temperatures reducing net photosynthesis; and
e.       low or uneconomic response to fertilizers.
Under these conditions few viable alternatives to bush fallow have yet been evolved. Studies, at the International Institute of Tropical Agriculture (IITA), of farmers attempting to cope with the diminishing productivity of land and labour indicate the components which may be necessary in a continuous cropping system:
a.       concentration of production on smaller areas to which are applied organic materials to improve the soil fertility;
b.      minimum tillage, combined with mulching to control weeds and improve soil fertility;
c.       intercropping to provide continuous plant cover; and
d.      multi-storey cropping (including tree and bush crops).
Agroforestry systems may be designed to improve these production strategies.
A multiple cropping system in which trees are a component is both perennial and multi-storey. Coconut palm (in India), rubber (in Indonesia) and oil palm (in West Africa) have, in certain circumstances, become the perennial component of viable continuous cropping systems.
In many areas, especially in places with high population densities, it is unrealistic to expect farmers to take land out of production for the establishment of even short-term fallows. Research is, therefore, urgently required to test mixtures of tree and crop species that might form profitable continuous cropping systems to increase the level of sustained productivity on land which has already passed out of the shifting cultivation phase.
Such farming systems would require that the agronomic packages being developed by agricultural research institutions, such as The International Centre of Tropical Agriculture (CIAT), and the International Institute of Tropical Agriculture (IITA) be designed with agroforestry in mind. The systems may also be fairly location specific with limited transferability of specific components.

bahan kuliah 2, MK Pengendalian Kebakaran dan Penggembalaan Liar, Prodihut, S1

Fakta Empirik Kebakaran dan Penggembalaan Liar di Indonesia  Musim kemarau panjang di Indonesia identik dengan masalah akut seputar...