Kamis, 28 Agustus 2014

sebuah artikel lawas (2004) tetapi layak baca sebagai perkenalan diri sebagai dosen baru di prodi kehutanan, faperta, undana



Hutan NTT : Antara Piet Tallo, Soemardjo dan Narjan
(Perenungan Dalam Menerima Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan di NTT)

L. Michael Riwu Kaho[1]

Hari Rabu, tanggal 3  November 2004, di Kupang telah diluncurkan secara resmi suatu program nasional untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan di NTT.  Kita sebut saja program tersebut sebagai program GNRHL atau Gerhan. Suatu program yang secara Nasional telah dicanangkan oleh Presiden RI, ketika itu, Megawati Soekarnoputri di Gunung Kidul. Konon biaya untuk melaksanakan program Gerhan di NRR berjumlah total 47 milyar rupiah (mam bo’i ee..uang pung banya lai) yang akan dibagikan kepada seluruh Kabupaten /Kota di NTT. Dalam rencananya, progam ini akan dimulai dengan pembibitan ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan bibit anakan pohon dan kemudian disusul dengan penanaman. Beberapa waktu yang lalu melalui pemberitaan di HU Pos Kupang, antara lain edisi Senin 4 Oktober 2004,  kita di NTT diberi kejutan barang satu atau dua dikit perihal program atau proyek ini. Diberitakan tetang “silang sengketa”  beberapa pihak seputar pelaksanaan proyek rehabilitasi hutan di NTT (GNRHL) “seharga” 47 M tersebut. Ada tekanan dari oknum (kata benda yang sering diucapkan dan terdengar teramat lucu) legislatif, pemda dan pengusaha. Pimpro mau mengundurkan diri, katanya. Entah mundur betulan atau tidak betulan. Kabarpun menghilang dan keterkejutan kitapun menjadi nol dikit. Musnah. NTT alias Nyari Tak Terdengar lagi. Apapun, pogram Gerhan sudah hadir. Suka tidak suka harus mau. Mau tidak mau harus suka. 

Terbayang dalam benak saya bahwa sesudah bibit tanaman tumbuh semua dan dipindahkan ke lahan maka banyak orang akan merasa suka cita karena NTT akan penuh pohon. Hutan jadi baik lagi. Air tanah akan meningkat. Sumur-sumur akan penuh. Bulan kemarau tidak perlu lagi mete-mete jaga air. Semua leding air PAM penuh dengan air. Sehingga ketika kita membayar ke loket PAM bukan lagi membayar air campur. Air campur angin. Luar biasa. Maka NTT pun menjadi Nusa Tak kurang Tetesan air, Nusa Tenang Tenteram.  Betul begitu? Nanti dulu. Mari kita belajar dari 3 tokoh dalam judul kita di atas.
---***---

Nama pertama adalah Piet Tallo.  Bagi orang NTT, apalagi yang tinggal di Kupang, yang tidak mengenal nama yang satu ini dapat disebut sebagai beyond help alias keterlaluan. Umpama kata, Ba’i Liu sa tau naaa. Tetapi siapa di antara kita yang mengenal oknum yang bernama Soemardjo dan Narjan. Seandainya saja kita membuat quiz berhadiah tentang siapa yang mengenal mereka, hampir pasti hanya akan ada sedikit saja pesertanya.  Mereka kurang terkenal atau mungkin sama sekali tidak terkenal.  Kalau tidak terkenal maka mengapa kok berani-beraninya nama-nama tersebut digandengkan dengan nama Piet Tallo yang beken abis itu?.  Pembaca yang budiman, berikut akan di perkenalkan barang sedikit tentang 2 nama yang kurang terkenal tersebut.

Soemardjo dan Narjan adalah staf pegawai di kantor BP DAS (Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai) Benain Noelmina di Kupang. Kalau ada yang bingung tentang kantor ini maka dapat dijelaskan barang sedikit bahwa kantor ini merupakan salah satu institusi di bawah Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Jadi suatu instansi vertikal, yang mengurusi persoalan tentang pengelolaan daerah aliran sungai.  Kalau mau tahu letak kantornya maka kira-kira begini : di depan Toko Bandung Jeans. Lah, kalau begitu di mana letaknya Toko Bandung Jeans? Ya, di depan Kantor BP DAS.  Sudahlah, tidak perlu lagi meributkan letak Kantor ini, yang penting adalah ini : dua orang ini baru saja pada bulan September lalu diwisuda sebagai Magister Sains (M.Si) dalam bidang ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan  Program Pascasarjana Universitas Nusa Cendana (berapa ukuran populasi pohon cendana sekarang ya? Jika cendana punah, Undana rasanya perlu ganti nama) dan yang menjadi penelitian karya ilmiah mereka adalah bertalian dengan hutan. Nah, di sinilah letak kaitan antara kata hutan dan 3 buah nama dalam judul besar di atas. Lho, tapi  Piet Tallo kan bukan pegawai BP DAS?.  Dia juga bukan Sarjana Kehutanan.  Ok, sebelum saya ditanya lebih jauh lagi maka saya mau bilang begini, beliau pernah menulis sambutan tentang masalah kehutanan dalam pertemuan Forum DAS tahun 2003 di Hotel Sasando, Kupang. Isinya menarik, bahkan saking menariknya, penulis sempat mengira bahwa beliau pernah kuliah di Fakultas Kehutanan dan gelar SH yang dimilikinya adalah singkatan dari Sarjana Hutan. RRUUAARR BIIAASAAAA.

Dalam naskah sambutannya tertulis tentang gambaran umum kondisi kehutanan yang kurang menggembirakan akibat berbagai-bagai sebab. Harus diberi catatan khusus bahwa Piet Tallo paham betul sifat ekosistem NTT yang berbentuk archipelago atau kepulauan yang sangat rentan terhadap perubahan. Sebagai jalan keluar, beliau mengusulkan empat pendekatan, yaitu pendekatan ekosistem,  kemitraan lintas sektoral, perencanaan tata ruang, dan nilai ekonomi sumberdaya.   Akhirnya, sambutannya ditutup dengan kata-kata, yang menurut hemat penulis harus direnungkan secara mendalam oleh para rimbawan atau siapa saja di NTT yang perduli tentang hutan, begini : (saya mengutip langsung) : persepsi dan praktek pengelolaan hutan yang berorientasi pada produksi kayu terbukti banyak menimbulkan kerusakan hutan dan mengganggu fungsi-fungsi hutan lainnya. Padahal kayu sesungguhnya bukanlah sumberdaya terpenting dari hutan, karena masih banyak fungsi lainnya yang lebih penting seperti tata air, perlindungan iklim, penyedia oksigen di udara dan lain sebagainya. Beliau benar. Lebih dari sekedar benar karena apa yang dikatakan oleh beliau merupakan salah satu paradigma baru dalam pengembangan ilmu-ilmu kehutanan.  Setelah melewati masa-masa di mana sumberdaya hutan terkuras habis maka pemikir di bidang kehutanan mulai menyadari bahwa jika kayu yang terlalu ditonjol-tonjolkan sebagai primadona produk hutan maka laju pengurasan sumberdaya ini sulit dihentikan. Dengan demikian,  entropi lingkungan dunia akan bergerak menuju maksimum. Untuk mudahnya,  entropi lingkungan berarti kerusakan lingkungan.

Selanjutnya adalah Soemardjo. Sahabat yang berasal dari Yogyakarta ini dalam penelitiannya di desa Hueknutu mengamati kontribusi salah satu bentuk sistem agroforestry, yang disebut sebagai sistem taungnya, terhadap tingkat keanekaragaman hayati vegetasi. Untuk memudahkan sidang pembaca memahami makna keanekaragaman maka penulis ingin memberikan ilustrasi seperti ini : suatu tim sepakbola yang baik harus terdiri  atas 11 orang dengan fungsi masing-masing. Ada 1 penjaga gawang, serta beberapa pemain lainnya yang berfungsi sebagai pemain bertahan, pemain tengah dan penyerang. Tim seperti ini disebut tim dengan keaanekaragaman yang tinggi. Jika 11 orang tersebut adalah penjaga gawang semua atau penyerang semua maka  walaupun jumlah tim ini lengkap tetapi tim ini disebut berkeanekaragaman yang rendah dan sulit untuk menang karena hanya satu fungsi saja yang berjalan.  Lebih celaka lagi jika tim sepak bola tersebut terkena kartu merah dan 6 orang pemainnya harus ta’ongki keluar lapangan.  Tinggal 5 orang di lapangan.  Maka sudah pasti yang terjadi adalah jumlah pemain berkurang, posisi pemain juga berkurang.  Tim ini dapat dikatakan memiliki keanekaragaman yang rendah dan mungkin jelek. Tim ini sangat mudah untuk dikalahkan. Entah kalau mereka pake nitu

Kembali ke Soemardjo dan penelitiannya. Sistem hutan taungnya yang diteliti  (sistem ini aslinya dikembangkan di Thailand) dibangun secara sengaja oleh BP DAS Benain-Noelmina beberapa tahun yang lalu, yang melibatkan petani lokal, dengan menanam beberapa jenis pohon yang bersifat exotic atau didatangkan dari luar kawasan hutan lokal. Selama dua tahun  sebelum semaian pohon cukup kuat maka petani diperbolehkan menanam beberapa jenis tanaman palawija seperti jagung, kacang-kacangan dan labu. Setelah itu, semua jenis palawija tersebut harus angkat kaki. Peneliti tampaknya berangkat dari teori dan hipotesis bahwa hutan, seperti laiknya hutan alami, akan mengakibatkan naiknya tingkat keanekaragaman. Untuk menguji kebenaran hipotesisnya, Soemardjo membandingkan keanekaragaman hutan taungnya tadi dengan hutan asli Eucalyptus alba alam (digunakan istilah hutan campuran) yang secara alami  banyak dijumpai di Hueknutu dan sekitarnya seperti di Ekateta – Nunsaen, Fatule’u. Juga ikut dibandingkan adalah savana belukar.  Savana belukar diberi batasan sebagai lahan yang didominasi oleh belukar yang bercampur dengan rumput-rumputan. Menurut hemat penulis, berdasarkan teori klimaks vegetasi hutan dan pengalaman meneliti tentang api lahan di Ekateta dan Hueknutu sejak tahun 2000 – 2004, hutan dan belukar, dan bahkan padang rumput yang ada cukup disebut sebagai savana saja.  Apapun, Soemardjo membandingkan antara hutan buatan dan hutan alami. Hasil pengamatan Soemardjo memperlihatkan bahwa adalah indeks tingkat keanekaragaman vegetasi pada hutan taungnya  tercatat sebesar 1.82. Nilai ini ternyata kalah tinggi dibandingkan dengan nilai keanekaragaman pada hutan kayu putih asli sebesar 1.99.  Akan tetapi kedua-duanya kalah dibadingkan dengan nilai dari savana belukar sebesar 2.48.  Perlu dijelaskan bahwa pernyataan tentang lebih besar dan lebih kecil tersebut bukan sekedar perbandingan biasa tetapi sudah dihitung berdasarkan teknik statistika yang disebut metode sidik ragam. Apa itu sidik ragam? Wah, repot untuk menjelaskannya.  Supaya ringkas dan tidak berkesan tulisan ini sebagai bahan kuliah ilmu Statistika maka sidik ragam adalah salah satu cara supaya setiap angka-angka hasil perhitungan Statistika dapat dipercaya. Dengan demikian hasil penelitian Soemardjo tadi memberikan bukti yang dapat dipercaya bahwa komunitas asli di NTT, yang sering dituding sebagai lahan kritis dan marjinal, ternyata jauh lebih kuat dibandingkan dengan hutan buatan yang merupakan model yang didatangkan dari luar NTT. Untuk memudahkan pemahaman tentang makna bahwa hutan asli lebih kuat dibandingkan dengan hutan eksport dilihat dari tingkat keanekaragaman vegetasinya maka lihatlah kembali perumpamaan  tentang kesebelasan sepak bola seperti yang diuraikan di atas.  Untuk temuannya ini penulis ingin mengucapkan selamat dan terima kasih untuk Ir. Soemardjo, M.Si.  Anda telah membukakan  pikiran penulis sebagai anak NTT bahwa barang  asli milik kami tidak selalu harus lebih jelek dari apa yang didatangkan dari luar.

Akhirnya adalah Narjan. Lengkapnya Narjan, SE, M.Si.  Nama kawan saya yang satu ini memang singkat saja seperti itu.  Entah kalau yang bersangkutan punya nama lain yang lebih panjang. Peneliti ini mengamati juga di Hueknutu, tetapi tidak dari aspek biofisik hutan Taungnya yang dibangun. Narjan mengamati keuntungan ekonomi dari usaha hutan Taungnya tersebut. Hipotesis yang dibangun adalah, jika taungnya diusahakan dan petani juga diberi kesempatan untuk mengakses kawasan (x1) hutan, selama 2 tahun guna menanam palawija, dan secara simultan, meningkatkan kesempatan kerja (x2), kesempatan berusaha (x3) dan peningkatan motivasi petani (x4) maka pendapatan petani akan meningkat.   Hasil penelitiannya secara ringkas dapat dilihat pada persamaan garis regresi berganda yang disusun sebagai berikut : y = - 902822,7 + 528007,76 X1 + 330852,80 X2 + 767142,71 X3 + 134543,45 X4.  Supaya pembaca tidak berkerenyit dahi, saya ingin mengatakan bahwa dengan hasil perhitungannya tersebut Narjan telah membuktikan bahwa jika tanpa akses kawasan, dan simultan dengan itu adalah kesempatan berkerja, kesempatan berusaha dan motivasi petani maka petani akan mengalami kerugian. Sampai di sini, hasil penelitian dari Narjan baik-baik saja.  Memang dapat dipersoalkan juga dari penelitian Narjan ini, yaitu apakah jika proyek taungnya tidak ada maka pendapataan petani akan negatif?.  Ketika penulis membaca data mentah yang dimiliki Narjan maka kali ini dahi penulis yang berkerenyit.  Dalam perhitungan pendapatan petani (y), Narjan memasukkan variabel insentif yang diterima petani dari pengelola proyek sebagai komponen peubah bebas (x6) selain variabel pendapatan dari padi (x1), jagung (x2), kacang tanah (x3), benih (x4) dan pupuk X5). Dalam hal ini Narjan memperhitungkan insentif sebagai bagian dari pendapatan. Tidak soal dengan hal itu.  Tetapi bagi penulis persoalan timbul ketika data mentah ini diolah lebih lanjut.

Sesuai dengan fungsi statistika, maka saya mencoba meramalkan dengan melakukan improvisasi perhitungan sebagai berikut.  Jika dengan insentif, maka persamaan garis regresi berganda yang terbentuk adalah y =  5170.59 + 0.92 x1 + 1.01 x2 + 1.22 x3  - 0.99 x4 – 1.09 x5 +0.89 x6.  Jelas bahwa pendapatan petani positif dengan adanya proyek taungnya.  Akan tetapi ketika variabel insentif dihilangkan maka persamaannya menjadi y =  -65971 + 0.89 x1 + 0.99 x2 + 1.20 x3  - 1.01 x4 – 1.23 x5. Apa artinya ini? Tanpa insentif maka proyek taungnya adalah kerugian? Bisa jadi begitu tetapi bisa juga ditafsir lain oleh peneliti lain. Peneliti satu dengan yang lainnya bisa berbeda pendapat tetapi menurut hemat penulis semua peneliti akan sepakat bahwa perhitungan di atas menunjukkan besarnya pengaruh insentif dalam proyek taungnya tersebut. Apakah hal itu sutau persoalan besar? Persoalan terbesar bukan terletak pada angka-angka ini tetapi pada implikasi etisnya.  Hasil perhitungan di atas telah menjadi semacam jawaban terhadap apa yang sudah lama kita khawatirkan bahwa aneka proyek yang disodorkan ke tangan petani dapat menyebabkan petani menjadi bermental proyek. Ada proyek, dan itu berarti ada uang alias wang alias doi, apa-apa saja jalan. Tanpa doi, no way man!  Saya ingin menyampaikan tahniah (ucapan selamat) kepada Narjan bahwa, data mentahnya telah membukakan sedikit mata hati kami di NTT. Hati-hatilah dengan mental proyek.  Ketika uang mulai menjadi panglima maka sekali manusia tergoda menjadi jongos uang, seterusnya manusia akan tetap menjadi jongos uang. 

---***---

Jadi, dari tiga nama yang saya sebutkan dalam judul besar tulisan ini klasifikasi pengaruhnya terhadap penulis pribadi adalah sebagai berikut : sambutan Piet Tallo membuat saya kagum atas kemauan untuk memahami persoalan kehutanan di NTT, walaupun beliau bukan sarjana kehutanan. Penelitian Soemardjo telah membuka pikiran pikiran penulis, dan  Narjan telah memaksa penulis untuk membuka mata hati. Bagaimana ketiga hal tadi dapat kita jadikan bahan permenungan bersama, terutama bagi semua pihak yang akan terlibat atau melibatkan diri dalam urusan program GNRHL NTT di Kupang yang berbiaya sekitar 47 M itu.
 Inilah pokok-pokok renungan yang ingin saya ajukan terhadap pelaksanaan proyek GNRHL di NTT.

1.        Sampai di mana para pelaksana program GNRHL memahami betul tentang permasalahan kehutanan di NTT.  Sampai sekarang hal yang paling sering kita dengar adalah hutan NTT sudah rusak, lahan sudah rusak dan kritis, lahan sudah terdegradasi, lahan di NTT terancam menjadi gurun.  Benarkah? Berapa sih luas hutan asli di NTT. Apakah benar lahan daratan di NTT dahulunya didominasi oleh hutan dan jika sekarang ini terbentuk savana maka savana yang ada merupakan savana derivatif sebagai akibat penebangan, api dan sapi (man made savana). Ada baiknya kita renungkan kembali makna dari cara pengklasifikasian iklim, antara lain metode Schmidt-Fergusson yang merupakan salah satu pelajaran penting dalam iklim hutan di Indonesia. Apa artinya tipe iklim D dan E yang formasi vegetasi aslinya adalah savana?. Renungkan kembali teori tentang klimaks dan proses suksesi vegetasi.
         Ketika meneliti untuk mendapat gelar S1 sebagai sarjana peternakan pada tahun 1985, kemudian ketika meneliti untuk mendapatkan gelar S2 bidang agronomi pada tahun 1992 dan akhirnya meneliti untuk mendapatlan gelar S3 dalam bidang kehutanan, penulis  menemukan data bahwa pada tempat yang sama hampir semua variabel kondisi kimiawi tanah relatif tetap. Tidak berbeda secara nyata antar waktu pengamatan. Bahan organik tanah dan Nitrogen total  di savana Oinlasi TTS, Binel TTS dan Ekateta, Kupang relatif rendah dari dahulu. Tidak lebih tinggi dan tidak pula lebih rendah. Sebaliknya, dari dahulu nilai tukar kation tanah (KTK) tinggi dan pH cenderung netral – agak alkalis. Tidak naik dan juga tidak turun.  Lantas apanya yang terdegradasi? Lantas, apanya yang mau direhabilitasi. Apa makna sesungguhnya kata kritis dan marjinal dalam lingkungan lahan di NTT. Pahamkah kita tentang sifat-sifat tanah yang teroksidasi karena cekaman lingkungan tropika kering yang sudah merupakan kondisi alami di NTT.
Mungkin soal air tanah. NTT daerah kering. Maka hutan harus diperlebat supaya perakaran pohon menahan air. Lantas rumpang pohon akan menciptakan iklim mikro yang baik sehingga penguapan dapat direduksi. Adalagi pikiran begini, kalau pohon banyak maka penguapan akan tinggi. Jika sudah begitu maka akan mudah membentuk awan dan kemudian turun sebagai hujan. Betul begitu? Apakah kehilangan air dari tanah hanya disebabkan oleh evaporasi dan tidak juga oleh transpirasi. Apakah besarnya curah hujan selamanya linier dengan besarnya penguapan? Renungkan kembali teori tentang hidrologi hutan dan DAS.  Otto Soemarwoto, begawan ilmu Lingkungan di Indonesia, pernah menulis buku dan memperingatkan bahwa penghutanan atau reboisasi (atau apapun istilah dan batasan operasional di bidang kehutanan)  pada daerah semi arid (beliau menggunakan istilah semi ringkai) seperti di NTT harus memperhatikan betul-betul sifat-sifat genetik iklim yang ada.
Terbetik berita bahwa dalam program GNRHL di NTT ada tersedia dana sebesar 47 M. Tetapi mengapa yang diberitakan di koran adalah soal rekanan yang memperebutkan dana untuk pengadaan bibit. Bagaimana soal asal usul benih tersebut. Bagaimana mutu genetiknya. Apakah bibit tersebut ketika menjadi anakan dapat melakukan taktik avoidance, ameliorasi dan adaptasi ketika menghadapi cekaman aridity iklim di NTT sehingga banyak pohon tidak harus berarti banyak penguapan yang dapat menyebabkan air tanah yang sudah kurang akan semakin berkurang. Berapa banyak benih yang dapat menjadi semai, sapling dan akhirnya pohon dewasa. Jika banyak yang mati maka proyeknya dapat dikatakan gagal tetapi jika ratusan ribu atau mungkin jutaaan pohon yang ditanam hidup semua maka apakah pohon-pohon tersebut akan meningkatkan air tanah atau malah sebaliknya menguras air tanah.
Akhirnya, apakah dengan program pohonisasi maka sistem lingkungan NTT akan lebih stabil? Jenis pohon yang akan ditanam antara lain jenis gamelina, sengon laut, mahoni dan jambu mente. Pohon-pohon tersebut adalah adalah tergolong jenis yang memiliki habitat agroekologi agak basah sehingga kebutuhan airnya tinggi. Apalagi jenis jambu mente adalah jenis yang memiliki sifat alelofatik yang dapat membunuh tanaman lain yang tumbuh di dekatnya. Maka pertanyannya adalah apakah jenis-jenis ini cocok dengan lingkungan klimatik di NTT?. Apakah jenis-jenis tersebut mampu membentuk lingkungan yang berkeanekaragaman tinggi. Renungkanlah hasil penelitian Soemardjo. Renungkan kembali kata-kata Piet Tallo bahwa sifat ekosistem NTT adalah ekosistem kepulauan.  Lebih celaka lagi ukuran pulau-pulau yang ada relatif tidak berukuran benua. Maka ekosistem yang ada akan tunduk kepada hukum teori pulau biogeografi, yaitu berkeanekaragaman rendah dengan sifat endemisme  yang tinggi.  Apa arti sifat ekologis seperti ini? Artinya adalah lingkungan di NTT cenderung kurang stabil dan oleh karena itu mudah mengalami kepunahan ketika mengalami gangguan.  Apakah menaman jenis pohon yang dapat bersifat monokultur, menguapkan banyak air, dan bersifat alelofatik tergolong gangguan atau bukan?
---***---
2.        Apakah program-program yang akan disusun dalam pelaksanaan proyek GNRHL akan mampu memanusiakan manusia petani di NTT. Hasil penelitian Narjan memberikan indikasi bahwa mental proyek dari petani bisa timbul pascaproyek dan akibatnya perilaku petani lebih dituntun oleh naluri ekonomi. Apakah lewat proyek GNRHL sekarang ini mental tersebta dapat ditipskan atau sebaliknya bertumbuh makin subur. Jika direnungan secara mendalam maka apakah mental proyek semacam itu semata hanya dimiliki oleh petani responden dalam penelitian Narjan atau juga sebenarnya diam-diam diidap juga oleh pelaku proyek lainnya. Berapa % dari dana 47 M yang betul-betul sampai ke “tangan petani”.  Berapa % yang akan nyangkut alias  taga’e di tangan pengusaha benih, konsultan teknis dan pelaksana proyek. Saya masih percaya bahwa semua pihak sesungguhnya memiliki niat yang sungguh-sungguh baik untuk memajukan petani, hutan dan lahan  di NTT. Tetapi apakah sistem pelaksanaan proyek cukup kuat untuk  “mengawal” niat baik yang ada tersebut.  Barang siapa yang menyangkal bahwa dia imun dari godaan maka hampir pasti dia sama hebatnya dengan orang seperti Yesus ketika Dia dicobai oleh iblis di padang gurun. Adakah kita semua setangguh Yesus? Jujur saja, saya pribadi adalah manusia lemah. Anda, entahlah!

---***---

3.        Pengguna lahan untuk tujuan pertanian di NTT bisa siapa saja. Peternakan, pertanian dan perkebunan. Akan tetapi hanya sektor kehutanan yang memiliki hak legal formal untuk berfungsi sebagai pemangku wilayah.  Di tangan para rimbawan sesuatu wilayah dapat ditetapkan sebagai wilayah hutan. Ada aanekdot bahwa, tanah kosong yang di dalamnya tumbuh 5 batang pohon saja bisa diklaim sebagai kawasan hutan. Di dalam Alkitab ada tertulis perumpamaan tentang talenta. Maka, kepada mereka yang diberi kewenangan besar, kepada mereka pula diberi tanggung jawab yang besar. Kehutanan harus mampu memainkan peranan sebagai pengayom bagi sub-sektor pertanian lainnya. Salah besar kalau para rimbawan hanya sibuk berpikir tentang dirinya sendiri.  Hanya ribut soal berapa banyak pohon yang ditanam sambil lupa untuk ikut membina kebutuhan petani akan palawija, ternak dan pendidikan. Padahal, kerap kali kesulitan-kesulitan petani di sektor pertanian tanaman pangan dan peternakan sering mendatangkan permasalahan bagi hutan. Jangan menunggu kawan-kawan dari sub-sektor lainnya berteriak-teriak.  Ambilah prakarsa untuk menyapa mereka. Adakah dan berapa besar porsi pendanaan dalam proyek GNRHL yang dialokasikan untuk ikut membina sub-sektor lain di luar pohon. Sering dalam gurauan saya katakan bahwa Hutan yang mengayomi semua dan memajukan semua sering berfungsi sebagai alat Tuhan.  Akan tetapi jika hanya sibuk dengan dirinya sendiri maka dapat saja dilihat sub-sektor lain sebagai hantu. Dalam pemahaman perlindungan hutan (bidang ilmu yang saya tekuni sekarang), ternak disebut sebagai enemy musuh). Penggunaan lahan oleh petani untuk berladang disebut sebagai perambah hutan walaupun mungkin pohon yang tumbuh per hektar hanya 20 pohon/ha.  Apakah dengan melibatkan satuan-satuan kerja seperti dinas, LSM, perguruan tinggi, TNI dan Polri dalam pelaksanaan proyek GNRHL sudah setali tiga uang dengan pemahaman berpikir untuk semua?

---***---

4.        Masyarakat petani tradisional sesungguhnya memiliki kearifan-kearifan yang kadang mencengangkan para akademisi.  Betapa saya dibuat tercengang ketika petani di Ekateta dapat menerangkan bahwa  dalam konsep tradisional mereka ada dikenal sistem pengaturan ruang hidup. Ada daerah terlarang yang tidak boleh ditebangi dan dijadikan daerah perladangan dan penggembalaan ternak. Hutan bermata air tergolong daerah seperti itu. Ada daerah tempat tinggal. Adapula daerah kultivasi. Di daerah kultivasi mereka tidak kuatir sama sekali untuk melakukan pembakaran pada waktu yang tepat.  Hasil penelitian saya kemudian membuat saya tercekat sendiri bahwa ternyata api malah bermanfaat bagi perkembangan populasi pohon.  Jadi, saya ingin mengatakan bahwa jangan cepat mengangkat jari telunjuk kita ke arah petani yang tampak tidak intelektual itu untuk setiap kejadian kerusakan atau bencana.  Karena kadang kali mereka jauh lebih cerdik dari kita.  Suatu kemampuan yang di dapat karena mereka hidup dan mati di daerah itu. Pengalaman mereka panjang di sana.  Mana ada orang yang sengaja mau membunuh diri mereka sendiri dengan jalan merusak lingkungan mereka?. Bukankah Sigmund Freud, biang pshycoanalisis, mengatakan bahwa salah satu naluri dasar manusia (basic instinc) adalah naluri untuk bertahan hidup? Mungkin kita sendiri yang kurang memahani mereka dan kemudian mengukur mereka dengan ukuran-ukuran kita sendiri.  Kata sebuah kitab tua :  jangan mengukur orang lain dengan ukuran-ukuran yang kamu buat sendiri karena ketika ukuran-ukuran itu dikenakan kepadamu maka kamu akan terkejut sendiri.
5.        Apakah saya tidak setuju adanya proyek GNRHL? Tidak begitu.  Saya setuju 1000% tetapi hendaknya proyek yang berharga ini , amat mahal bahkan, disesuaikan dengan semua kondisi obyektif yang ada.  Kondisi yang saya maksud adalah kondisi klimatik, edafik, dan biotik, termasuk manusia di dalamnya. Berkehutanan tidak identik dengan menghasilkan kayu.

---***---
Akhirnya, saya ingin mengucapkan selamat menjalankan proyek GNRHL bagi kawan-kawan di Dinas-Dinas kehutanan (propinsi dan kabupaten), BP DAS Benain Noelmina, lembaga penilai bibit, pengusaha dan semua pihak yang telibat dalam pelaksanaan proyek ini.  Banyak harapan yang diletakkan di pundak anda, wahai para rimbawan, terutama harapan dari para petani di pedesaan yang sudah terlalu lama hidup dalam tingkat hidup yang jauh di bawah  anda semua. Memang mereka mempunyai ukuran-ukuran sendiri tentang pemahaman tentang tingkat kesejahteraan tetapi apakah mereka tidak berhak atas penghidupan lain selain pohon? Pastikan bahwa kepentingan petani, kepentingan lingkungan dan semua kepentingan holistik lainnya tidak diabaikan dalam pelaksanaan proyek GNRHL. Jangan alpakan petimbangan-pertimbangan petani, serta lingkungan biofisik dan sosial sebab jika mereka menangis maka air mata mereka ditanggung anda sekalian.  Jika begitu maka tunggulah giliranmu untuk menangis. SALAM RIMBAWAN.


[1] Anggota Forum DAS NTT dan Kandidat Doktor Bidang Ilmu Kehutanan PPS UGM, Yogyakarta

1 komentar:

Fashion Pria mengatakan...

thx atas infonya :)

bahan kuliah 2, MK Pengendalian Kebakaran dan Penggembalaan Liar, Prodihut, S1

Fakta Empirik Kebakaran dan Penggembalaan Liar di Indonesia  Musim kemarau panjang di Indonesia identik dengan masalah akut seputar...