Jumat, 28 Maret 2014

bahan MK: Inventarisasi SDA, IPSAL, PPS, UNDANA: inventarisasi ekosistem daratan (terestrial ecosystem): analisis vegetasi


referensi: Soerianegara, I dan Andry Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.



ANALISIS VEGETASI


Analisa vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Untuk suatu kondisi hutan yang luas, maka kegiatan analisa vegetasi erat kaitannya dengan sampling, artinya kita cukup menempatkan beberapa petak contoh untuk mewakili habitat tersebut. Dalam sampling ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu jumlah petak contoh, cara peletakan petak contoh dan teknik analisa vegetasi yang digunakan.

Prinsip penentuan ukuran petak adalah petak harus cukup besar agar individu jenis yang ada dalam contoh dapat mewakili komunitas, tetapi harus cukup kecil agar individu yang ada dapat dipisahkan, dihitung dan diukur tanpa duplikasi atau pengabaian. Karena titik berat analisa vegetasi terletak pada komposisi jenis dan jika kita tidak bisa menentukan luas petak contoh yang kita anggap dapat mewakili komunitas tersebut, maka dapat menggunakan teknik Kurva Spesies Area (KSA). Dengan menggunakan kurva ini, maka dapat ditetapkan : (1) luas minimum suatu petak yang dapat mewakili habitat yang akan diukur, (2) jumlah minimal petak ukur agar hasilnya mewakili keadaan tegakan atau panjang jalur yang mewakili jika menggunakan metode jalur.

Caranya adalah dengan mendaftarkan jenis-jenis yang terdapat pada petak kecil, kemudian petak tersebut diperbesar dua kali dan jenis-jenis yang ditemukan kembali didaftarkan. Pekerjaan berhenti sampai dimana penambahan luas petak tidak menyebabkan penambahan yang berarti pada banyaknya jenis. Luas minimun ini ditetapkan dengan dasar jika penambahan luas petak tidak menyebabkan kenaikan jumlah jenis lebih dari 5-10% (Oosting, 1958; Cain & Castro, 1959). Untuk luas petak awal tergantung surveyor, bisa menggunakan luas 1m x1m atau 2m x 2m atau 20m x 20m, karena yang penting adalah konsistensi luas petak berikutnya yang merupakan dua kali luas petak awal dan kemampuan pengerjaannya dilapangan. Untuk lebih jelas bagan pekerjaan dapat dilihat pada gambar 1.
(gambar kurva)


Sebagai contoh, hasil pengukuran KSA tumbuhan bawah dapat dilihat pada tabel 1. berikut ini :
picture11

Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa penambahan jenis pada ukuran petak 8m x 16m sudah mencapai angka dibawah 5% (sesuai syarat Oosting, 1958; Cain & Castro, 1959), maka dapat ditetapkan bahwa luas petak ukur yang dapat mewakili komunitas pada rumput tersebut adalah adalah 8m x 16m atau 0.128 ha. Luasan ini bukanlah harga mutlak bahwa luas petak ukur yang harus kita gunakan adalah 0.128 ha, tapi nilai tersebut adalah nilai minimum, artinya kita bisa menambah ukuran petak contoh atau bahkan memodifikasinya karena yang harus kita perhatikan bahwa petak contohnya tidak kurang dari hasil KSA. Contoh untuk memudahkan pekerjaan dilapangan, sebaiknya ukuran petak tersebut berbentuk persegi, sehingga petak hasil KSA tersebut dapat diubah menjadi ukuran 12m x12m.

Jika sudah dapat ditentukan luas petak minimum, maka juga harus dapat ditentukan jumlah petak contoh keseluruhan. Hitungann sederhananya, tergantung kita menginginkan berapa luas total sampling yang kita inginkan. Sebagai contoh luas kawasan yang akan kita eksplorasi adalah 10 ha, ukuran petak contoh yang ditentukan 12m x 12m dan kita menginginkan intensitas sampling (IS) 5% (artinya, kita hanya akan mengukur 1% dari luas total 10 ha). Maka jumlah petak contoh yang harus kita gunakan adalah :
Dik : N = 10 ha
IS = 5% = 5% x 10ha = 0.5 ha
LPC = 12m x12m = 0.0144 ha
Ditanya : Jumlah petak contoh (n) ?
Jawab :
n = 0.5 ha / 0.0144 ha
n = 34.72
n = 35 petak

Hitungan diatas adalah perhitungan sederhana tanpa mempertimbangkan tingkat ketelitian dan tingkat eror pada pengambilan sampling.
picture2
Gbr 1. Bentuk Pertambahan Petak Kurva Spesies Area

Cara peletakan petak contoh ada dua, yaitu cara acak (random sampling) dan cara sistematik (systematic sampling), random samping hanya mungkin digunakan jika vegetasi homogen, misalnya hutan tanaman atau padang rumput (artinya, kita bebas menempatkan petak contoh dimana saja, karena peluang menemukan jenis bebeda tiap petak contoh relatif kecil). Sedangkan untuk penelitian dianjurkan untuk menggunakan sistematik sampling, karena lebih mudah dalam pelaksanaannya dan data yang dihasilkan dapat bersifat representative. Bahkan dalam keadaan tertentu, dapat digunakan purposive sampling.

Jika berbicara mengenai vegetasi, kita tidak bisa terlepas dari komponen penyusun vegetasi itu sendiri dan komponen tersebutlah yang menjadi fokus dalam pengukuran vegetasi. Komponen tumbuh-tumbuhan penyusun suatu vegetasi umumnya terdiri dari :
1. Belukar (Shrub) : Tumbuhan yang memiliki kayu yang cukup besar, dan memiliki tangkai yang terbagi menjadi banyak subtangkai.
2. Epifit (Epiphyte) : Tumbuhan yang hidup dipermukaan tumbuhan lain (biasanya pohon dan palma). Epifit mungkin hidup sebagai parasit atau hemi-parasit.
3. Paku-pakuan (Fern) : Tumbuhan tanpa bunga atau tangkai, biasanya memiliki rhizoma seperti akar dan berkayu, dimana pada rhizoma tersebut keluar tangkai daun.
4. Palma (Palm) : Tumbuhan yang tangkainya menyerupai kayu, lurus dan biasanya tinggi; tidak bercabang sampai daun pertama. Daun lebih panjang dari 1 meter dan biasanya terbagi dalam banyak anak daun.
5. Pemanjat (Climber) : Tumbuhan seperti kayu atau berumput yang tidak berdiri sendiri namun merambat atau memanjat untuk penyokongnya seperti kayu atau belukar.
6. Terna (Herb) : Tumbuhan yang merambat ditanah, namun tidak menyerupai rumput. Daunnya tidak panjang dan lurus, biasanya memiliki bunga yang menyolok, tingginya tidak lebih dari 2 meter dan memiliki tangkai lembut yang kadang-kadang keras.
7. Pohon (Tree) : Tumbuhan yang memiliki kayu besar, tinggi dan memiliki satu batang atau tangkai utama dengan ukuran diameter lebih dari 20 cm.
Untuk tingkat pohon dapat dibagi lagi menurut tingkat permudaannya, yaitu :
a. Semai (Seedling) : Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan kurang dari 1.5 m.
b. Pancang (Sapling) : Permudaan dengan tinggi 1.5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm.
c. Tiang (Poles) : Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm.

Adapun parameter vegetasi yang diukur dilapangan secara langsung adalah :
1. 1. Nama jenis (lokal atau botanis)
2. 2. Jumlah individu setiap jenis untuk menghitung kerapatan
3. 3. Penutupan tajuk untuk mengetahui persentase penutupan vegetasi terhadap lahan
4. 4. Diameter batang untuk mengetahui luas bidang dasar dan berguna untuk menghitung volume pohon.
5. 5. Tinggi pohon, baik tinggi total (TT) maupun tinggi bebas cabang (TBC), penting untuk mengetahui stratifikasi dan bersama diameter batang dapat diketahui ditaksir ukuran volume pohon.

Hasil pengukuran lapangan dilakukan dianalisis data untuk mengetahui kondisi kawasan yang diukur secara kuantitatif. Dibawah ini adalah beberapa rumus yang penting diperhatikan dalam menghitung hasil analisa vegetasi, yaitu :

a. Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks Nilai Penting dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR), (Mueller-Dombois dan ellenberg, 1974; Soerianegara dan Indrawan, 2005).
picture9

b. Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan suatu komunitas. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener :
picture3
dimana : H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
ni = Jumlah individu jenis ke-n
N = Total jumlah individu

1. Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef (R1)
picture4
dimana :
R1 = Indeks kekayaan Margallef
S = Jumlah jenis
N = Total jumlah individu

2. Indeks Kemerataan Jenis
picture5
Dimana :
E = Indeks kemerataan jenis
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
S = Jumlah jenis

Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1 < 3.5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah, R1 = 3.5 – 5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R1 tergolong tinggi jika > 5.0. Besaran H’ < 1.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong rendah, H’ = 1.5 – 3.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong sedang dan H’ > 3.5 menunjukkan keanekaragaman tergolong tinggi. Besaran E’ < 0.3 menunjukkan kemerataan jenis tergolong rendah, E’ = 0.3 – 0.6 kemerataan jenis tergolong sedang dan E’ > 0.6 maka kemerataaan jenis tergolong tinggi.

2.1. Koefisien Kesamaan Komunitas

Untuk mengetahui kesamaan relatif dari komposisi jenis dan struktur antara dua tegakan yang dibandingkan dapat menggunakan rumus sebagai berikut (Bray dan Curtis, 1957 dalam Soerianegara dan Indrawan, 2005) :
picture6
dimana :
IS = Koefisien masyarakat atau koefisien kesamaan komunitas
W = Jumlah nilai yang sama dan nilai terendah ( < ) dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan
a, b = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan pertama dan kedua

Nilai koefisien kesamaan komunitas berkisar antara 0-100 %. Semakin mendekati nilai 100%, keadaan tegakan yang dibandingkan mempunyai kesamaan yang tinggi. Dari nilai kesamaan komunitas (IS) dapat ditentukan koefisien ketidaksamaan komunitas (ID) yang besarnya 100 – IS. Untuk menghitung IS, dapat digunakan nilai kerapatan, biomassa, penutupan tajuk atau INP.

Sebagai contoh, kita membandingkan tingkat permudaan semai hutan primer dengan hutan setelah ditebang dan dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini :

Tabel 2. Nilai Kesamaan Kerapatan antara Hutan Primer dengan Hutan setelah ditebang pada tingkat Semai
picture7

Maka nilai kesamaan komunitas (IS) = ((2 x 55) / (224 + 84)) x 100%
= 35.71%

Nilai diatas menunjukkan bahwa antara kondisi primer dan setelah ditebang dari segi jumlah individu (kerapatan) hanya mempunyai tingkat kesamaan sekitar 35.71% artinya setelah dilakukan penebangan terjadi kehilangan jumlah individu sekitar 64.29%.

f. Indeks Dominasi
Indeks dominasi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis-jenis dominan. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada satu jenis, nilai indeks dominasi akan meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama maka nilai indeks dominasi akan rendah. Untuk menentukan nilai indeks dominasi digunakan rumus Simpson (1949) dalam Misra (1973) sebagai berikut :
picture8
Dimana :
C : Indeks dominasi
ni : Nilai penting masing-masing jenis ke-n
N : Total nilai penting dari seluruh jenis

2 komentar:

Anonim mengatakan...

untuk materi IPSAL, saya coba klik picturenya tapi tidak bisa dibuka pak,

Anonim mengatakan...

bagaiman caranya untuk melihat rumus pada blog.? karena yang ada hanya keterangan rumus,..

bahan kuliah 2, MK Pengendalian Kebakaran dan Penggembalaan Liar, Prodihut, S1

Fakta Empirik Kebakaran dan Penggembalaan Liar di Indonesia  Musim kemarau panjang di Indonesia identik dengan masalah akut seputar...