Selasa, 01 April 2014

bahan kuliah mk. pastura (S1, Fapet): Pokok Manajemen Padang Rumput (pengantar dan pengendalian vegetasi)



POKOK TATALAKSANA PADANG RUMPUT/PADANG PENGGEMBALAAN

by Dr. Ir. L. Michael Riwu Kaho, M.Si

Solusi Berbasis Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Produktivitas padang savana yang ada umumnya terkendala oleh rendahnya kualitas range savana seperti yang tergambar dari rendahnya  produktivitas hijauan asli yang dikuti oleh rendahnya nilai nutrisi.  Dalam keadaan demikian selalu terjadi diskontinyutas suplai hijauan yang bermutu sepanjang tahun.  Pada musim kering ternak selalu kehilangan bobot badan. Karena keadaan ini telah berjalan menahun maka dampak berikutnya adalah terjadinya penurunan kualitas produski ternak, terganggunya potensi reproduksi ternak dan sebagai muara dari persoalan ini adalah stagnan atau bahkan menurunnya populasi ternak yang di pelihara di savana.

Jelantik (2001) yang meneliti prestasi produksi sapi Bali  di savana Timor Barat guna penyusunan strategi suplementasi melaporkan bahwa tingginya kematian pedet terutama karena mereka tidak mendapat air susu yang cukup oleh induknya karena kelahirannya jatuh ditengah musim paceklik pakan. Dalam keadaan demikian sapi induk tidak cukup mendapatkan asupan protein dan nitrogen yang cukup.  Dari frase pernyataan Jelantik di atas maka ada 3 pilihan untuk pengembangan peternakan di Timor atau di NTT atau bahkan di seluruh daerah yang memiliki padang rumput savana dengan corak pastoralisme.  Pertama, perbaiki mutu ternak lewat strategi perbaikan genetik ternak.  Tentang hal ini maka Hattu (1987) melaporkan bahwa sapi hasil IB di daerah Binel setelah 2 tahun berada di lapangan akan memiliki prestasi produksi yang tidak nyata bedanya dengan sapi asli. Kedua, memperbaiki siklus birahi, masa kawin dan masa melahirkan.  Diharapkan pedet dapat lahir di tengah musim basah atau pada akhir musim hujan.  Jelantik mengisyaratkan bahwa strategi ini pun akan terkendala oleh status gizi dari pakan. Ketiga, memperbaiki ketersediaan pakan yang bermutu.  Sementara banyak pakar  bersetuju dengan strategi ketiga ini (Hattu, 1987; Rubino, 1989; Salean, 1999 dan Jelantik, 2001) pertanyaan derivasinya adalah strategi perbaikan pakan seperti apa.  Jawaban kemudian akan berpencaran dalam spektrum yang luas mulai dari startegi  pengawetan (konservasi) pakan yang berlebih pada musim hujan, suplementasi, perbaikan manajeman pemeilharaan dengan cara perkandangan, perbaikan mutu hijauan pakan dalam pola protein bank dan kebun-kebun bibit.  Pilihan terhadap pilihan tersebut sah dan rasional menurut perspektif masing.masing. 


Dewasa ini solusi masalah di dalam pembangunan pertanian yang berwawasan lingkungan terususun di dalam paradigma pembangunan berkelanjutan.  Paradigma ini bertumpu pada prinsip-prisip dasar pembangunan yang mempertimbangkan tampilan agro-ekositem  secara proporsional di antara aspek-aspek produktivitas, keberlanjutan, stabilitas dan kemerataan (Sajise, 1997). Dengan demikian maka orientasi pembangunan tidak semata kearah nilai-nilai ekonomi tetapi juga aspek ekologis.  Selanjutnya Keraf (2002) dalam uraiannya tentang etika lingkungan menyatakan bahwa pembangunan yang bertumpu kepada pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hendaknya tidak semata di arahkan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi belaka yang bersifat tangible.  Harus ada pertimbangan faktor-faktor lain yang bersifat intangible dan mungkin sulit di hitung nilai ekonomisnya.  Contoh di dalam persoalan peternakan di NTT adalah seperti yang di kemukakan oleh Salean (1999) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan penurunan populasi sapi Bali di Timor adalah terindikasinya sapi betina bunting yang ikut diantar pulaukan.  Demi pertimbangan ekonomi maka aspek biodiversity  diabaikan.  Bahkan menurut prinsip deep ecology yaitu suatu paradigma etika lingkungan yang memandang bahwa makhluk hidup di luar manusia sesungguhnya memiliki nilai yang sama dengan manusia.  Oleh karena itu ada pelanggaran etika yang luar biasa ketika hak populasi sapi untuk berkembang di hilangkan begitu saja dengan penjualan induk  betina bunting tadi.

Perihal paradigma deep ecology seperti yang dikemukakan tadi mungkin akan memancing perdebatan yang sangat panjang.  Akan tetapi ketika solusi bagi masalah pengembangan peternakan di Timor Barat ingin di temukan dan diaplikasikan maka  variabel peternak tradisional perlu di pertumbangkan sangat.  Beberapa kondisi obyektif masyarakat berikut ini perlku di pertimbangakan :
1.      Masyarakat Timor Barat memandang kepemilikan ternak bukan semata nilai ekonominya.  Ada persoalan status sosial dan budaya yang melekat dalam kepemilikan dimaksud.  Melepas ternak di padang bukan semata untuk mendapat uang tetapi ada kebutuhan untuk mengekspresikan kebangaan sosial (exhibitionism).
2.      Sektor ternak bukan merupakan usaha utama walaupun bukan pula yang tidak penting.  Sektor peternakan hanya salah satu di antara 3 hal yang setara yaitu tanaman pangan, ternak dan hutan. Kesadaran ekologis petani savana di Timor Barat membuat segala tindakan mereka di dalam mengeksploitasi savana harus dilihat secara holistik. Tidak partikular, sektoral atau parsial. Melepas ternak untuk merumput tidak semata untuk mendapat hasil daging tetapi juga untuk memberi pupuk bagi tanah atau guna mengurangi bahan bakar sehingga jika terjadi kebakaran tidak terlau dahsyat.  Kasus lain adalah gagalnya masyarakat mengaplikasi model konservasi hijauan seperti hay, silase atau amoniasi di Timor padahal telah di suluhkan selama bertahun-tahun.  Penyebabnya sepele, yaitu masyarakat enggan membuat hay atau silase karena saat pembuatan konservasi pakan  (disaat musim hujan)  bersamaan dengan saat petani berkebun (Riwu Kaho, 2000).   Mereka lebih memprioritaskan pengejaan ladang dan kebun mereka karena sapi dianggap dapat mencari sendiri pakannya.  Terlebih pada saat musim basah.  Hijauan berlimpah.
3.      Data Bamualim dkk. (1994) tentang 4 pola umum pemeliharaan ternak baik yang bersifat semi-intensif maupun ekstensif.  Semuanya melibatkan padang rumput.  Padahal daerah survay adalah daerah yang terkena proyek peningkatan produksi dan kesehatan ternak dengan syarat ternak harus dikandangkan.  Naluri pastoralisme tetap saja kuat dan mengemuka.

Memperhatikan kondisi obyektif di atas maka pilihan untuk mengembangkan savana sebagai bagian utama dari strategi perbaikan pakan menjadi paling rasional.  Pendekatan ini sudah barang tentu jika  dilihat dari kepentingan peternakan harus merupakan pilihan untuk menjamin suplai hijauan yang kontinyu baik kualitas maupun kuantitas sepanjang tahun sekaligus memperbaiki daya dukung padang penggembalaan yang ada.  Upaya yang berbasis savana ini juga harus di dalam kerangka paradigma pembangunan pertaniuan berkelanjutan yang dikemukakan oleh Sajise (1997) berikut ini : ramah lingkungan, produktif, ekonomis, dapat diteima secara budaya, berorientasi biodiversitas, memenuhi kebutuhan masyarakat dengan jalan menjamin kemerataan, berprinsip ketahanan dan menekan resiko, membangkitkan semangat partisipasi masyarakat dan didasarkan atas rekomendasi ilmu pengetahuan.  Dalam kerangka pikir seperti ini maka pilihan untuk mengembangkan peternakan terutama ternak sapi di Timor Barat harus berbasis savana sebagai rangeland yang bukan saja akan menghasilkan produk ternak tetapi juga selaras dengan kebutuhan lain dari petani savana di Timor secara holistik. 

Pasture Improvemet Dengan Pendekatan Rangeland Management

Savana, misalnya di Timor Barat, dapat di pandang sebagai rangeland.  Pengandaian ini sangat penting karena walaupun yang ingin di kembangkan adalah savana secara keseluruhan akan tetapi ternak akan menjadi fokus perhatian utamanya.  Hollecheck et al. (1989) meyatakan bahwa pada hakekatnya pemeliharaan ternak di atas rangeland merupakan usaha untuk mengubah energi dan nutrisi dari bentuk yang tidak dapat dikonsumsi manusia  dan tidak dapat dapat dicerna menjadi bahan makanan yang dapat dikonsumsi oleh manusia baik untuk tujuan subsistensi maupun tujuan ekonomi lainnya.   Proses konversi ini pertama-tama dilakukan oleh komponen autotrof dalam ekosistem yang kemudian komponen produsen ini akan berfungsi sebagai sumber pakan (Source) bagi komponen konsumen (sink). Proses pengubahan dimaksud berjalan melalui tingkat trofik  rumput (produsen)-------> Herbivora  (konsumen I) --------> Konsumen II (manusia).  Selanjutnya penyusunan formulasi dari prinsip ini adalah Produktivitas = Fotosintesis – Kerja – Limbah.  
Jika komponen foto sintesis ingin ditingkatkan maka perbaikan terhadap produktivitas komponen hijauan padang savana menjadi urgen. Dalam kerangka pendekatan holistik lintas sektoral maka guna meningkatkan hasil dan efisiensi fotosintesis (produksi primer bersih), yang bermakna bahwa produktivitas komponen hijauan ditingkatkan,  dapat dilakukan dalam pola-pola terpadu dengan sub-sektor pertanian dan kehutanan. Model seperti sistem agroforestri dapat dipertimbangkan.  Sementara itu mengurangi kerja dapat dilakukan melaui pengaturan sistim penggembalaan yang dengan demikan dapat membatasi areal jelajah ternak.  Sementara itu strategi untuk mengurangi limbah dapat dikerjakan lewat upaya menaikkan tingkat kecernaan. 

Memberi input pakan yang bermutu dan strategi suplementasi merupakan cara ke arah itu. Nullik dan Bamualim (1998, mengutip Minson, 1980) megetengahkan formulasi sebagai berikut : NE = I x D x E, dimana NE adalah energi bersih untuk pertumbuhan ternak yang ditentukan oleh I (intake) apa yang dimakan ternak, D (digestibility) yaitu apa yang dapat dicerna oleh ternak dan E yaitu efisiensi pakan.  Dalam pengertian praktisnya adalah apa yang dimakan tergantung kepada struktur hijauan, umur tanaman, jenis tanaman, rasio daun batang serta kandungan makro dan mikro pakan.   Selanjutnya secara agronomis sebua teori klasik tentang prinsip rangeland manajemen (Harlan, 1959) mendiskripsikan butir-butir rangeland management terdiri atas pengendalian kesuburan tanah, pengendalain vegetasi dan pengendalian ternak. 
Berikut akan diajukan beberapa alternatif pasture improvement  berdasarkan pendekatan rangeland management :

I. Pengendalian Vegetasi
Tujuan dari pengendalian vegetasi ada 2 yaitu pertama, meningkatkan produksi hijauan pakan persatuan luas lahan dan kedua, mempertahankan struktur savana agar dalam suksesinya tidak berkembang menuju klimaks yang tidak sesuai sebagai daerah range.

I.1. Introduksi rumput unggul dan leguminosa
Tindakan ini diperlukan guna :
§  Mengatasi diskontinyutas supali pakan bermutu sepanjang tahun.
§  Meningkatkan daya dukung pastura.
§  Memperbaiki status kesuburan tanah lewat simbiosa mutualisme antara akar legum dan bakteri rhyzobium guna memfiksasi N bebas dari udara.
§  Mengontrol gulma.
§  Meningkatkan biodiversitas.

Beberapa jenis rumput seperti Brachiaria brizantha, B. decumbens, B. ruziniensis dan Paspalum dilatatum adalah jenis rumput dengan produksi bahan kering yang tinggi 50-70 ton bk/ha/tahun, tahan kering dan tahan penggembalaan berat. Sanches (1993) melaporkan bahwa pasture Hetropogon contortus di Queensland Australia yang disisipi Stylosanthes humilis dapat menghasilkan sapi dengan berat badan rata-rata 93 kg/m2 dengan kepadatan 0.74 ekor/ha.  Pada saat yang sama terdapat jumlah nitrogen yang dapat di fiksasi sebesar  150 – 1500 kg N/ha/tahun.

Sebuah penelitian oleh Nullik di Stasiun HMT di Kabaru Sumba Timur yang menguji coba beberapa jenis hijauan secara tunggal maupun campuran merekomendasikan beberapa hal sebagaimana yang terdapat di dalam Tabel 12.  


Data dalam Tabel 12 memperlihatkan potensi sumbangan tumbuhan leguminosa di dalam ransum ternak yang merumput.  Crowder (1981) melaporkan bahwa rumput Benggala yang tumbuh monokultur akan memberikan potensi produksi bahan kering antara 50-130 to/ha/tahu.  Sedangkan leguminosa monokultur dapat menghasilkan herba dan pohon dapat menghasilkan berat kering sampai 17-35 ton/ha/tahun. Jika kebutuhan protein kasar  1 UT untuk hidup pokok sebesar 6-7% sedangkan untuk produksi daging 8-9% (Tillman, 1982) maka model pertanaman campuran seperti di Sumba akan cukup memenuhi persyaratan dimaksud.   Beberapa penelitian menganjurkan komposisi ideal tanaman rumput : legum di pastura adalah 60:40 (Crowder, 1981).  Sementara itu Winrock (1981) menyatakan bahwa ternak perumput yang diberi pakan 70% rumput dan 30% legum dapatr menghasilkan produksi ternak yang setara dengan pemberikan pupuk N sebesar 400 kg/ha kepada hijauan yang tumbuh di dalam pastura.  

Sementara itu potensi kontribusi pertamanan campuran kepada kesuburan tanah juga tidak dapat dianggap sepele. Halliday (1982) melaporkan bahwa jumlah N yang dapat diikat oleh leguminosa yang ditaman monokultur sebesar 50-350 kg N/ha/tahun.  Walaupun 90% dari total N yang dapat diikat tersebut akan di konversi kedalam bentuk panen hijauan, biji dan ternak, akan tetapi lewat serasah  dan N yang terjerap di dalam biomassa di bawah permukaan tanah maka pertanaman campuran dapat memberikan sumbangan yang berarti kepada kesuburan tanah. 

Legum yang cocok untuk disebar di padang rumput  adalah legum-legum yang mudah membentuk simbiosa dengan bakteri rhyzobium dan memiliki daya persistensi yang tinggi.  Partridge (1999) dan Sutaryono & Partridge (2002) merekomendasikan beberapa spesies terpilih yaitu Stylo verano dan Stylo semak, Cassia berdaun bulat pada tanah-tanah yang agak masam dan Desmanthus pada tanah basa atau berbatu kapur seperti yang banyak mendominasi tipe tanah di Timor Barat. Strategi pengintrodusiran baik secara sipil maupun secara botanis ke dalam areal patura dapat dilakukan secara simultan dengan penataan sistim pertanian secara terpadu seperti aplikasi sistim agroforestri dan strategi konservasi tanah dan air.  Penyebaran legum introduksi harus diatur merata karena jika tidak ternak akan cenderung terkonsentrasi dimana leguminosa tumbuh dan menimbulkan efek overgrazing di tempat tersebut.  Di Australia Utara penyebaran legum biasanya dilakukan di akhir kemarau yang diikuti dengan tindakan membakar yang akan memcahkan benih dorman untuk siap berkecambah begitu datang hujan (Patridge, 1999).

I.2. Pengembangan Sistim Agroforestri
Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan savana di Timor  Barat tidak pernah monokultur.  Di ata savana yang sama dapat diusahakan ladang, padang pengembalaan dan hutan sekaligus.  Oleh karena itu upaya pengendalian vegetasi dapat dilakukan secara terintegrasi dengan cabang-cabang usahatani lainnya.  Salah satu sistim terintegrasi yang dirasa sesuai adalah sistim agroforestri.

Sistim agroforestri adalah suatu bentuk upaya mengintegrasikan  pohon ke dalam usaha pertanian. Bene et al. (1977, dikutip Catillo dan Paz, 1994) mendefenisikan agroforestri sebagai  suatu sistim manajemen lahan yang bersifat sustainabel dengan meningkatkan  panen seluruh unit lahan dengan mengkombinasikan  produksi tanaman pangan. Pohon dan ternak secara simultan dan sekuensial dengan keuntungan ekonomis dan ekologis dan sesuai dengan cara atau praktek kultural masyarakat.  Mengadopsi sistim agroforestri di dalam agro-ekosistem savana di Timor Barat sebenarnya bukan sesuatu yang aneh. Karena dilihat dari bentuk formasi savana yang di pencari oleh pohon dan praktek penggunaan lahan secara tradisional adalah sistim agroforestri.  Akan tetapi berbeda dengan sistim agroforestri moderen yang memperhitungkan sungguh-sungguh perimbangan di antara keuntungan ekonomis dan ekologis maka dalam pola tradisional pertimbangan demikian absen.  Karena produktivitas semua agro-ekosistem di Timor Barat semata diarahkan guna tujuan subsistensi.

Sistim agroforestri memiliki banyak sekali variansnya tetapi dikaitkan dengan kepentingan rangeland management pola dasarnya adalah agro-silvo, agro-pastoral atau agro-silvo-pastoral.  Apapun pilihan varians sistim agroforestri maka yang terpenting adalah sistim itu mampu menjamin kontinyutas suplai  pakan hijauan sepanjang tahun.  Nullik dan Bamualim (1998) memberikan pilihan-pilihan pengembangan hijauan makanan ternak dalam pola terintegrasi ini antara lain pengembangan HMT pola konservasi lahan kritis, budidaya tanaman pakan di dalam pola pertanaman lorong (alley cropping), Pola Amarasi yang menanam lahan dengan tanaman lamtoro dan kemudian lamtoro dapat ditebas guna perladangan tetapi hasil  tebasannya digunakan sebagai pakan ternak, pola tiga strata, pola pagar hidup atau pola penggembalaan di bawah tegakan pohon seperti pola Taungnya dari Thailand. Pola konservasi lahan seperti menanam menurut kountur, pertanaman windbreak atau firebreak merupakan pola-pola yang dapat disusupi dengan jenis hijauan pakan baik hijauan herba, semak maupun pohon.  Sementara itu pemilihan jenis pohon harus merupakan pohon yang bersifat MPTS (multy purposes trees and shrubs) yang mampu melayani kebutuhan kayu, kondisi hidro-orologis, daun, ternak dan lain sebagainya.

I.3. Pengontrolan  Gulma
Pengontrolan gulma sangat penting karena berkaitan dengan upaya untuk mempertahankan status suksesi vegetasi  sehingga tidak berkembang kearah terbentuknya klimaks yang tidak berguna. Upaya semacam ini dapat dilakukan melaui cara-cara pengontrolan secara mekanis, kimiawi dan biologis.  Akan tetapi pilihan-pilihan itu dibatasi oleh biaya, tenaga kerja, keterampilan peternak dan kegiatan lain di luar kepentingan peternakan. Sebagai misal, akhir-akhir ini gulma Chromolaena odorata mulai menginvasi padang savana di Timor Barat (Mudita, 2000).  Bahkan begitu kuatnya tingkat invasi ini sehingga di banyak tempat gulma ini mulai membentuk suatu formasi vegetasi sendiri  yang menekan habis jenis rumput dan herba pakan hijauan lainnya.  Beberapa jenis pohon juga tertekan secara tidak langsung oleh gulma ini karena di dalam membentuk sosiasi di sekitar pohon gulma ini bergerumbul searah vertikal sehingga begitu terjadi kebakaran maka lidah api akan mencapai pucuk pohon dan menimbulkan api mahkota (crown fire) yang sangat merusak.  Pilihan untuk mengontrol perkembangan gulma ini ternyata tidak dapat ditentukan oleh seorantg range manager karena seperti yang dilaporkan oleh Ataupah (2000) dan Therik (2000) gulma ini sangat disukai oleh peladang karena dapat meningkatkan jumlah bahan bakar dengan flamabilitas yang tinggi.  Para petugas kehutanan juga menyukai gulma ini karena kehadirannya dapat menekan kehadiran rumpu di kawasan hutan.  Dengan demikian maka invasi ternak ke lahan hutan dapat ditekan.

1.4. Pengontrolan Api
Kehadiran api di savana Timor Barat umumnya karena 2 alasan yaitu hadir sebagai gejala alami pada savana kering dan sebagai ulah manusia.  Petani menghadirkan api untuk berbagai keperluan.  Api digunakan sebagai sarana treknologi pengolahan lahan perladangan, subtitusi tenaga kerja di ladang, menstimulasi pertumbuhan rumput baru yang segar dan palatabel,  berburu dan bahkan untuk kesenangan dan konflik.   Sepanjang kehadirannya dapat dikontrol maka api tidak perlu dikhawatirkan.  Pengendalian diperlukan ketika api mulai menimbulkan gejala entropi lingkungan. Sebagaimana yang telah  dikemukakan di depan bahwa kehadiran api di savana imor Barat diduga telah berkontribusi besar terhadap perluasan lahan kritis yang ada.  Untuk maka pengunaan api harus mulai bisa dikendalikan.  Bentuk pengendalian api seperti prescribed burning (Wright dn Bailey, 1982; Chandler et al., 1983) dapat dipertimbangkan untuk keperluan kontrol api.
            Model prescribed burning bertumpu kepada beberapa hal sebagai berikut :
  • Pembersihan lahan.
  • Penggunaan api disesuaikan dengan tipe konvresi lahan.  Pembakaran di hutan yang akan dikonversi harus dibedakan dengan pembakaran untuk pemilharaan padang rumput.
  • Disesuaikan dengan manajemen padang penggembalaan.
  • Pengelolaan bahan bakar sedemikian rupa  sehingga akan didapat api dengan intensitas dan kecepatan merambat yang tidak membahayakan dan mudah dikontrol.
  • Pemantauan kondisi iklim mulai dari tingkat makro, meso dan mikro.  Pemantauan terhadap  musim membakar, jam membakar, arah angin, radiasi, suhu, kelembaban udara dan kelengasdan tanah merupakan jabaran dari strategi ini.
  • Penerapan teknik membakar headfiring, backfiring dan pembakaran berkeliling.
  • Waktu pembakaran merupakan hal penting berikutnya.  Di Australia Utara ranger biasanya membakar disesuaikan dengan tujuan pemeliharaan struktur savana (Andersen, 1996 dan Patridge, 1999). 
  • Pembakaran awal kemarau (early dry season fires) adalah pembakaran yang aman dan digunakan untuk mencegah akumulasi bahan bakar yang tinggi yang mungkin terjadi pada akhir kemarau yang dapat menyebabkan kebakaran yang dahsyat.  Akan tetapi pembakaran jenis ini tidak dapat dipakai untuk mengontrol pertumbuhan jenis-jenis berkayu serta akan meninggalkan tumbuhan pakan yang pendek sampai dengan awal hujan. 
  • Pembakaran akhir kemarau (late dry season fires) adalah pembakaran yang dahsyat karena akimulasi bahan bakar yang tinggi seerta mudah tersulut.  Pembakaran cepat ini menyebabkan perakaran rumput tidak terlalu terpengaruh tetapi dapat mematikan jenis tumbuhan berkayu.  Oleh karena itu pembakaran jenis ini biasanya berguna untuk mengontrol invasi gulma berkayu.  Kelemahannnya adalah api yang ditimbulkan sulit untuk dikontrol. 
  • Pembakaran awal hujan (early wet season fires/after the first rains)  Digunakan untuk mengontrol kanopi pohon tua serta tidak berpengaruh banyak bahkan terhadap jenis tumbuhan berkayu yang kecil. 
  • Pembakaran di tengah musim hujan (mid-wet season fires) adalah pembakaran yang sulit karena kadar air bahan bahan bakar   masih tinggi sehingga flamabilitasnya rendah.  Pembakaran biasanya dilakukan di saat hari kering di tengah musim hujan yang di pakai untuk mempromosi pertumbuhan yang cepat dari rumput annual yang mendominiasi padang rumput seperti Sorghum timorense

Tidak ada komentar:

bahan kuliah 2, MK Pengendalian Kebakaran dan Penggembalaan Liar, Prodihut, S1

Fakta Empirik Kebakaran dan Penggembalaan Liar di Indonesia  Musim kemarau panjang di Indonesia identik dengan masalah akut seputar...