Selasa, 27 Mei 2008

Bioma Savana (Bahan Kuliah)

Savana, dalam imaji kebanyakan orang adalah padang rumput tempat hewan herbivora besar (sapi and his gang) berkeliaran merumput ke utara-selatan, lalu barat-timur. Orang padang, bahkan, menamakan warung makannya sebagai warung nasi sabana. Oh, iya dalam kalimat yang barusan saja terlihat bahwa sekali waktu orang menyebutkan savana dan di kali lain, orang menyebutkannya sebagai sabana. Imaji umum tentang savana seperti ini tidak telalu salah karena menurut sejarahnya, kata savana, atawa sabana, memang digunakan oleh orang-orang asli Amerika untuk menyebutkan lahan yang ditumbuhi oleh vegetasi rumput-rumputan dan digunakan sebagai tempat penggembalaan. Lantas, gerangan apa sehingga kata yang satu ini ingin dipersoalkan lagi oleh penulis. Pasti ada tetapi. Akan tetapi, untuk sekarang cukup dulu karena artikel ini ditulis sebagai bentuk percobaan cara membuat blog. Jadi, sudah kepengen untuk melihat tampilannya. He he maklum, wong ndeso katrok dari negeri miskin nan kering (Nusa Tenggara Timur) mencoba untuk go global (eh go global atau go gombal ya?). OKI, oleh karena itu, maaf ya para friend mohon permisi dan sekaligus salam kenal.

Nah, berikut ini saya coba memberi satu buah gambar pemandangan savana yang ada di Timor Barat NTT. Gambar ini saya ambil pada tahun 2005 di savana Acacia/Eucalyptus, desa Ekateta, Timor Barat. Sebelum dijelaskan maca-macam tentang savana maka lihat gambarnya dulu deh, Gambar ini diambil di savana Acacia/Eucalyptus, Ekateta, Timor Barat (Riwu-kaho, 2005).
Sekarang anda bisa melihat bahwa di atas savana bukan cuma tumbuh rumput tetapi jenis pohon. Oleh karena itu, savana dalam gambar ini disebut sebagai savana Acacia/Eucalyptus sesuai pohon dominan yang tumbuh di dalam komunitas vegetasi ini, yaitu Acacia leucophloa dan Eucalyptus alba. Mengapa demikian? Nanti disambung lagi. Skarang, saya ingin melihat tampilan halaman blog saya yang pake foto. Maklumlah, baru belajar membuat blog. Tabik dan Salam hangat

Pengertian, Ciri dan Tipe Savana

Smith dan Smith (2000) menyatakan bahwa savana, (Spanyol = cavennna), mula-mula dipakai untuk menyebutkan daerah padang penggembalaan tropik akan tetapi belakangan ini savana dipahami juga sebagai hutan dan padang belukar. Ramade (1996) dan Shrivastava (1997) menyatakan bahwa savana adalah padang rumput tropika sedangkan Humpherys (1991) menyatakan bahwa savana adalah salah satu bentuk hutan musim meranggas tropika.

Istilah savana pertama kali dipakai orang untuk menamakan suatu bentuk lanskap yang digunakan sebagai padang penggembalaan secara kontinyu, penutupan tanah yang rapat dengan atau tanpa kehadiran pohon yang jika ada akan membentuk asosiasi yang menyebar (Jones et al., 1987). Deshmukh (1992) menyebutkan bahwa savana adalah ekosistem yang pada strata rendah ditumbuhi oleh tumbuhan herbaceous terutama rumput C4 dan secara nyata rumput-rumputan ini membentuk asosiasi bersama dengan komponen pohon dan semak belukar. Menurut Deshmukh, savana secara tradisional digunakan sebagai kawasan perladangan, padang penggembalaan dan hutan.

Baiklah kawan-kawan, hari ini saya cukupkan dulu. Sekarang coba bandingkan gambar savana di Timor Barat, yang saya tampilkan kemarin dengan gambar savana di TN Serengeti, Afrika(lihat atas). Bagaimana anda membandingkannya?

Kawan-kawan yang terhormat, mari kita melanjutkan perjalanan wisata kita untuk mengenal salah satu anugerah Tuhan yang terindah bagi kita, yaitu savana.

McNaughton dan Wolf (1990) dengan menggunakan pendekatan panen biomassa mengemukakan pendapat bahwa savana adalah komunitas tumbuhan yang bersekala regional dan merupakan suatu komunitas antara. Struktur ekosistemnya tersusun atas pohon-pohon yang menyebar dengan kanopi yang terbuka sehingga memungkinkan rumput untuk tumbuh di lantai komunitas. Jika populasi pohon mendominasi maka savana demikian disebut sebagai hutan savana. Sebaliknya jika kehadiran pohon tidak signifikan maka savana demikian adalah savana padang rumput (treeless savana). Pakar silvikultur, Daniel et al. (1995), mengkategorikan savana sebagai hutan. Penulis ini memberi penjelasan yang sangat komprehensif tentang bentuk dan proses terjadinya savana sebagai berikut. Musim kemarau yang panjang dan kering memberikan pengaruh yang nyata terhadap terbentuknya hutan musim atau hutan monsoon. Ciri hutan ini, antara lain, hampir semua jenis pohon menggugurkan daun pada musim kemarau, pohonnya tidak begitu tinggi dan banyak cahaya yang menembus ke lantai. Bila mana curah hujan benar-benar sangat musiman dengan musim kemarau sangat berangin, dan barangkali faktor-faktor lain juga berpengaruh (masalah yang sangat kontroversial), maka hutan musim akan berkembang menjadi savana karena bertambahnya kekeringan.

Nah, lihatlah sekarang bahwa ternyata savana juga harus dimengerti sebagai salah satu bentuk hutan. Bagaimana bisa? Besok kita lanjutkan. Oh, iya, pada gambar di atas saya mencoba membandingkan “kecantikan” antara savana dengan “isteri saya” yang sedang berjalan melintasi savana Ekateta, Timor Barat (gambar diambil pada tahun 2005).. Entah apa pendapat anda tentang keduanya tetapi menurut saya kedua-duanya sama cantik. OKI, saya mencintai keduanya. Kedua-duanya memberikan ayat-ayat cinta bagi saya. Dari isteri, saya mendapat anak-anak saya. Dari savana, saya mendapatkan gelar dan karir saya. So, Ya savana dan juga Ya Dolly, isteri saya. Ehmmm….(maruuuukkkk…serakkaahhh ….ha ha ha…)

Sebelum kita melanjutkan wisata kita tentang savana, maka mohon ijin untuk mengingatkan bahwa perjalanan kita ada pada titik pertanyaan mengapa savana bisa tampak sebagai padang rumput tetapi bisa pula tampak sebagai hutan.
Guna memahami fenomena tersebut maka perlu diperkenalkan dua buah istilah dalam dunia ekologi tanaman, yaitu suksesi vegetasi dan klimaks vegetasi. Gerangan apakah ini?
Suksesi vegetasi, dan ini pasti berbeda dengan suksesi gubernur dan presiden, adalah peristiwa pergantian komunitas vegetasi dari suatu aras (stage) ke aras berikutnya yang lebih kompleks. Sebagai contoh, ketika pada tahun 1883 G. Krakatau meletus maka daratan pulau Krakatau bersih sama sekali dari tumbuhan. Dua tahun setelah letusan maka tumbuhan pertama adalah ganggang biiru dan hijau di dekat pantai pulau. Lima tahun kemudian, komunitas tumbuhan paku-pakuan mendominasi. Sepuluh tahun kemudian, komunitas rumput tumbuh dan membentuk padang rumput. Dua puluh lima tahun setelah meletus, padang rumput mulai bercampur dengan semak belukar. Pohon Ficus macaranga tumbuh berpencaran di padang rumput belukar tersebut. Lantas, 40-50 tahun kemudian asosiasi pohon mulai membantuk hutan. Akhirnya, seratus tahun kemudian, pual Krakatau telah didominasi oleh hutan hujan tropis. Nah, pergantian dari satu status komunitas ke komunitas lainnya disebut sebagai suksesi. Ketika 100 tahun kemudian, ketika hutan telah mendominasi P. Krakatau maka kondisi ini disebut sebagai klimaks vegetasi. Apa yang menentukan klimaks vegetasi. Ada beberapa hal tetapi yang terpenting adalah curah hujan. Jika curah hujan rata-rata tahunan suatu daerah tinggi (3000 - 4000 mm/tahun atau lebih besar) maka klimaks vegetasi akan menuju hutan.
Namun demikian, klimaks bisa tertahan. Mengapa? Karena faktor alami dan antropogenik (perbuatan manusia). Klimaks harusnya hutan tetapi karena pohon-pohon sering ditebas maka yang terbentuk padang rumput. Dalam keadaan demikian maka klimaks yang terbentuk disebut sebagai klimaks tertahan (sub-klimaks). Maka, bagaimana dengan savana?Mari kita ikuti pendapat beberapa ahli berikut ini.

Jones et al., 1987; Ewusie, 1990; Desmukh, 1992 menganggap bahwa savana adalah klimaks yang sejalan dengan degradasi hujan Sedangkan beberapa pakar lain seperti Shrivastava (1997) menganggap bahwa savana merupakan klimaks karena faktor biotik, terutama api dan penggembalaan. Dengan menggunakan teori struktur vegetasi atau disebut juga spektrum vegetasi, Bourliere dan Hadley (Lal, 1987), mengemukakan pendapat tentang savana dan proses pembentukannya secara komprehensif. Dinyatakan bahwa struktur savana selalu ditandai oleh 1) Strata rumput yang jelas dan merata yang diinterupsi pohon dan semak; 2) Kehadiran api dan hewan perumput; 3) Pola pertumbuhan komponen biotik ditentukan oleh pergantian di antara musim basah dan musim kering.

Berdasarkan struktur seperti ini, Lal (1987) menjelaskan tentang proses suksesi klimaks savana sebagai berikut: hutan savana akan terbentuk jika matriks tanahnya cukup basah dan lembap sehingga mampu menunjang pertumbuhan individu pohon dan kanopi yang rapat. Selanjutnya kerapatan pohon akan semakin berkurang sejalan dengan makin meningkatnya kekeringan. Jika kekeringan berada dalam keadaan ekstrim maka yang terbentuk adalah savana yang nyaris tanpa pohon yang disebut sebagai padang rumput savana (treeless savanna forest). Akan tetapi jika di suatu daerah yang bercurah hujan tinggi, demikian juga kelengasan tanahnya, dan masyarakat seral vegetasi (xere) yang terbentuk adalah savana dengan pohon yang berpencaran maka savana demikian merupakan savana edafik atau savana biotik (open forest). Savana tipe ini disebut juga sebagai savana derivasi (man-made savannah) yang terbentuk karena ada proses konversi lahan hutan. Monk et al. (1997) menamakan tipe savana seperti ini sebagai savana vegetasi sekunder. Mula-mula api yang sering dengan intensitas tinggi akan menghabiskan pohon dan semak asli. Akhirnya, hanya pohon dan semak yang mampu menghindar dari cekaman api yang akan tumbuh mendominasi strata pohon dan semak. Ketika hutan berubah menjadi savana dan digunakan untuk tujuan pertanian maka gangguan akan terus berlangsung. Dengan demikian pengubahan dan pemanfaatan savana berpotensi menyebabkan terjadinya peristiwa retrogresi vegetasi, yaitu suatu proses pembalikan arah suksesi menjauhi klimaks.

Ah, hari ini cukup sekian saja dulu. Agak melelahkan dan mungkin membuat pusing (maafkan daku). Setelah beristirahat semalam, besok kita lanjutkan kembali. Sebagai obat cuci mata maka berikut saya persembahkan gambar umum percampuran rumput, semak dan pohon kecil pada savana di Timor Barat (lihat di atas).

Selasa, 06 Mei 2008

Makalah pada Seminar DISPET NTT 2007

PROSPEK PENGEMBANGAN PADANG PENGGEMBALAAN DAN KEBUN HMT DI NUSA TENGGARA TIMUR[1]

L. Michael Riwu Kaho

Pendahuluan

Salah satu faktor terpenting yang menunjang keberhasilan Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai salah satu daerah pemasok ternak bagi kebutuhan daging nasional adalah tersedianya padang penggembalaan yang luas. Pada tahun 1984 Ivory dan Siregar memberi gambaran tentang potensi padang rumput alam di seluruh Indonesia sebagai berikut:

Ketika itu, Ivory dan Siregar mentaksasi bahwa luas padang rumput alam di Indonesia mencapai ± 21,09 juta ha. Padang rumput alam adalah sumberdaya lahan kedua terbesar di Indonesia sesudah hutan (pada saat itu adalah 144,72 juta ha). Jika diasumsikan bahwa pusat-pusat region iklim kering belum berubah dalam waktu 20 tahun terakhir maka diduga luas padang rumput kemungkinan tetap. Harus diakui bahwa terbuka kemungkinan selama 20 tahun terakhir ini terjadi penyusutan luas padang rumput karena dikonversi untuk penggunaan lain. Akan tetapi dengan melihat laju deforestasi yang sampai sejauh mencapai ± 2.5 juta ha/tahun (Forest Watch Indonesia, 2006) maka penyusutan padang rumput mungkin ternegasi. Retrogresi vegetasi paling dekat dari hutan adalah padang rumput terbuka yang membentuk savana derivatif (Smith dan Smith, 2002).

Pembicaraan tentang luas kawasan padang rumput di atas dimaksudkan sebagai titik masuk berwacana dalam makalah ini dengan asumsi bahwa pilihan terbaik bagi pengembangan peternakan di NTT seharusnya tetap bercorak range based ration. Hollecheck et al. (1989) mengatakan bahwa intensifikasi peternakan yang bersifat range based ration adalah dengan menegakan prinsip-prinsip manajemen rangeland yang baik.

Profil Padang Penggembalaan di NTT dan Implikasinya

Data tentang luas padang penggembalaan di NTT sebenarnya agak membingungkan. Data pada Neraca sumberdaya NTT (Bappeda NTT, 1999) menunjukan bahwa luas padang rumput di NTT ± 1.78 juta ha. Jika diasumsikan bahwa padang rumput merupakan areal penggembalaan maka seluas itu pula padang penggembalaan NTT. Mirip dengan angka ini, adalah data Nullik dan Bamualim (1998) yang menunjukan bahwa luas padang rumput NTT adalah 1.881.210 ha (Tabel 1).

Tabel 1. Perkiraan Luas Padang Rumput dan Daya Tampung Padang Pengembalaan di Nusa Tenggara Timur

Lokasi

Luas Pulau (ha)

Padang Rumput (ha)

Unit Ternak (UT)

Daya Dukung (UT/ha)

Timor Barat

1.699.090

705.040

537.110

1.3

Flores

1.909.500

406.170

129.630

3.1

Sumba

1.085.440

770.600

145.060

5.3

Sumber : Nullik dan Bamualim (1998)

Sementara itu, data pada Statistik Kehutanan NTT menunjukan bahwa luas padang penggembalan NTT adalah 653.983 ha. Dari sumber yang sama diperoleh data bahwa luas kawasan hutan NTT adalah 1.808.990 ha. Tampaknya data-data ini bersumber dari data TGHK tahun 1984. Angka yang mirip dengan data tersebut adalah data hasil Rekalkulasi tutupan lahan darat Indonesia berdasarkan citra Landsat tahun 2002 (Dephut, 2002) yang menunjukan bahwa luas padang rumput NTT 793.1 ribu ha.

Kekacauan tersebut tampaknya bersumber dari pengintepretasian yang tidak seragam tentang bentuk klmiak vevegtasi di NTT. Schimdt dan Fergusson menyatakan bahwa tipe iklim E adalah tipe iklim kering dengan vegetasi asli savana. Rerata curah hujan tahunan NTT yang berkisar antara 1000 – 1500 mm, panjang bulan kering selama 5-6 bulan dan pola hujan eratik menyebabkan tipe iklim NTT sesuai dengan penggolongan di atas. Konsekuensinya adalah tipe vegetasinya adalah savana. Hal inilah yang meyakinkan Riwu Kaho (2005) bahwa luas savana NTT adalah ± 2.3 juta ha. Savana adalah matriks utama padang penggembalan.

Data yang dikumpulkan oleh Bamualim dkk. (1994) memberi petunjuk tentang produksi primer padang rumput alam NTT (Tabel 2 dan Tabel 3) yang berbeda antar musim dan cenderung merosot memasuki musim kemarau.

Tabel 2. Rata-Rata Produksi Padang Rumput Alam Beberapa Tempat di NTT

Lokasi

Produksi Rumput Alam (kg BK/ha)

Maret

Juni

September

Desember

Total

Timor

Raknamo

Benlutu

Naokae

2670

1860

1220

2370

1380

1245

545

445

350

410

440

280

5995

4125

3095

Flores

Talibura

Kalinga

1555

1280

1280

850

495

705

1025

715

4355

3550

Sumba

Lewa

Waihibur

1700

1950

1225

1255

515

610

765

1085

4205

4855

Sumber : Bamualim dkk. (1994)

Tabel 3. Daya Tampung Padang Rumput Alam di Timor Barat Pada Musim yang Berbeda

Lokasi

Daya Dukung Padang Penggembalaan (UT/ha)

Maret

Juni

September

Desember

Total

Raknamo

4.9

4.3

1.0

0.7

2.8

Benlutu

3.4

2.5

0.8

0.8

1.9

Naukae

2.9

2.3

0.6

0.5

1.4

Sumber : Bamualim dkk. (1994)

Keterangan : Raknamo (Kupang); Benlutu (TTS); Naukae (TTU)

Jika data pada Tabel 3 dibandingkan dengan data luas padang rumput alam NTT maka harus dikatakan bahwa daya penampungan ternak secara total dari padang rumput mungkin akan terlihat seperti berikut ini: di Timor sekitar1.050.056 – 1. 974.112 STD, di Sumba 568.638 – 1.137.276 STD dan di Flores 1.078.840 – 2.157.680 STD. Riwu Kaho yang mengamati di Beberapa Tempat di Timor Barat pada tahun 1986 dan diulangi pada tahun 1993, dengan menggunakan metode actual weight estimate dan rumus Voisin, menduga nilai kapasitas tampung padang rumput alam di Timor Barat berkisar antara 0.76 – 1.02 UT/ha. Dengan demikian total daya tampung padang rumput alam di Timor Barat, berdasarkan data pada Tabel 1, berkisar antara 535.830,4 – 719.140,8 STD. Dengan menggunakan data luas savana 2.3 juta ha dan nilai kapasitas tampung Timor Barat seperti yang diestimasi Riwu Kaho maka seharusnya populasi ternak besar di NTT berukuran 1.75 – 2.35 juta STD. Alhasil, dilihat dari aspek luas dan kapasitas tampung maka padang penggembalaan di NTT masih sangat prospektif.

Beberapa pengamatan menunjukan bahwa mutu HMT padang penggembalaan NTT cenderung buruk. Susetyo (1980) melaporkan bahwa persentase protein kasar padang rumput alam NTT berkisar antara 4.81-7.9%. Sedangkan kadar serat kasar berkisar antara 38.01-41.01%. Sedangkan Riwu Kaho (1986) melaporkan persentase protein kasar berkisar antara 4.81-5.85%. Sedangkan serat kasar 34.89-37.59%. Sementara itu ketika meneliti di savana Binel TTS Riwu Kaho (1993) melaporkan bahwa pada bulan Januari-Maret (bulan basah) protein kasar hijauan berkisar antara 6.2-8.7% dan serat kasar 22.4-32.7%. Pada saat bulan Juli-September kadar protein kasar hijauan turun menjadi 1.9 – 4.9% dan serat kasar meningkat mencapai 34.8-45.4%. Nlai nutrisi seperti itu, terutama di musim kemarau yang, dapat dikatakan gagal memenuhi kebutuhan minimal ternak. Pada masa ini ternak sapi di Timor Barat mengalami kehilangan berat badan sebesar 220 g/ekor/hari (Hattu, 1985) Rubino (1989) melaporkan angka sebesar 333,5g/ekor/hari. Sementara itu, Riwu Kaho (1993) yang meneliti di savana Binel melaporkan ternak sapi Bali yang digembalakan mengalami kehilangan berat badan sampai 224.5 – 286.8 g/ekor/hari. Suatu seri pengamatan pada padang rumput desa Oemasi, Kupang yang dilakukan oleh Riwu Kaho (2002) menghasilkan data bahwa antara tahun 1995 – 1999 telah terjadi penurunan kadar protein kasar hijauan pada bulan yang sama (April) dari tahun ke tahun. Pada tahun 1995 kandungan protein kasar (PK) padangan yang didominasi oleh rumput Heteropogon contortus sebesar 7.5%. Pada pengukuran tahun 1999, PK padangan yang sama sebesar 7.12%. Disimpulkan bahwa seri penurunan mutu ternak antara waktu merupakan gambaran rendahnya mutu kualitas padang pengoannya.

Alternatif Solusi Bagi Pengembangan Padang Penggembalaan di NTT

Berikut ini akan diusulkan beberapa solusi pengembangan padang pengembalaan di NTT.

1. Penerapan prinsip-prinsip rangeland management yang bertumpu pada upaya pengendalian vegetasi, pengendalian ternak dan penendalian kesuburan tanah.

1.1. Pengendalian Vegetasi

Tujuan dari pengendalian vegetasi ada 2 yaitu pertama, meningkatkan produksi hijauan pakan persatuan luas lahan dan kedua, mempertahankan struktur savana agar dalam suksesinya tidak berkembang menuju klimaks yang tidak sesuai sebagai daerah range.

a. Introduksi rumput unggul dan leguminosa

Tindakan ini diperlukan guna :

§ Mengatasi diskontinyutas suplai pakan bermutu sepanjang tahun.

§ Meningkatkan daya dukung pastura.

§ Memperbaiki status kesuburan tanah lewat simbiosa mutualisme antara akar legum dan bakteri rhyzobium guna memfiksasi N bebas dari udara.

§ Mengontrol gulma.

§ Meningkatkan biodiversitas.

Beberapa jenis rumput seperti Brachiaria brizantha, B. decumbens, B. ruziniensis dan Paspalum dilatatum adalah jenis rumput dengan produksi bahan kering yang tinggi 50-70 ton bk/ha/tahun, tahan kering dan tahan penggembalaan berat. Pearson dan Ison (1987) melaporkan bahwa pasture Hetropogon contortus di Queensland Australia yang disisipi Stylosanthes humilis dapat menghasilkan sapi dengan berat badan rata-rata 93 kg/m2 dengan kepadatan 0.74 ekor/ha. Pada saat yang sama terdapat jumlah nitrogen yang dapat di fiksasi sebesar 150 – 1500 kg N/ha/tahun. Dilaorkan juga bahwa rumput Benggala yang tumbuh monokultur akan memberikan potensi produksi bahan kering antara 50-130 to/ha/tahu. Sedangkan leguminosa monokultur dapat menghasilkan herba dan pohon dapat menghasilkan berat kering sampai 17-35 ton/ha/tahun.

Legum yang cocok untuk disebar di padang rumput adalah legum-legum yang mudah membentuk simbiosa dengan bakteri rhyzobium dan memiliki daya persistensi yang tinggi. Sutaryono & Partridge (2002) merekomendasikan beberapa spesies terpilih yaitu Stylo verano dan Stylo semak, Cassia berdaun bulat pada tanah-tanah yang agak masam dan Desmanthus pada tanah basa atau berbatu kapur seperti yang banyak mendominasi tipe tanah di Timor Barat. Strategi pengintrodusiran baik secara sipil maupun secara botanis ke dalam pastura dapat dilakukan secara simultan dengan penataan sistim pertanian secara terpadu seperti aplikasi sistim agroforestri dan strategi konservasi tanah dan air. Penyebaran legum introduksi harus diatur merata karena jika tidak ternak akan cenderung terkonsentrasi dimana leguminosa tumbuh dan menimbulkan efek overgrazing di tempat tersebut. Di Australia Utara penyebaran legum biasanya dilakukan di akhir kemarau yang diikuti dengan tindakan membakar yang akan memcahkan benih dorman untuk siap berkecambah begitu datang hujan (Patridge, 1999).

b. Pengendalian gulma padang rumput

Pengontrolan gulma sangat penting karena berkaitan dengan upaya untuk mempertahankan status suksesi vegetasi sehingga tidak berkembang kearah terbentuknya klimaks yang tidak berguna. Upaya semacam ini dapat dilakukan melaui cara-cara pengontrolan secara mekanis, kimiawi dan biologis. Akan tetapi pilihan-pilihan itu dibatasi oleh biaya, tenaga kerja, keterampilan peternak dan kegiatan lain di luar kepentingan peternakan.

Sebagai misal, akhir-akhir ini gulma Chromolaena odorata menginvasi padang savana di Timor Barat. Di banyak tempat gulma ini membentuk suatu asosiasi vegetasi tersendiri yang menekan habis jenis rumput dan herba pakan hijauan lainnya. Beberapa jenis pohon juga tertekan secara tidak langsung oleh gulma ini karena asosiasi Chromolaena odoata di sekitar pohon membentuk pola ladder fuel sehingga jika terjadi kebakaran, lidah api akan mencapai pucuk pohon dan menimbulkan api mahkota (crown fire) yang sangat merusak (Riwu Kaho, 2005).

1.2. Pengendalian ternak

Salah satu kitik terbesar dari sektor pertanian tanaman pangan dan kehutanan di savana NTT terhadap peternakan adalah penggembalaan bebas ternak yang diklaim telah menimbulkan kerusakan lahan dan hutan. Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat tahun 2003, luas lahan kritis di NTT mencapai sekitar 2.1 juta ha. Oleh karena itu, selain berupaya untuk menegakan aturan tentang tata ruang maka dipikirkan juga upaya untuk mengendalikan perumputan.

Keutamaan dari pengendalian ternak adalah meciptakan ruang padang penggembalaan yang berimbangan diantara pencapaian produksi ternak dengan aspek sustainbability dari pengunaan sumberdaya savana. Hal ini dapat dicapai dengan mengatur keseimbangan antara jumlah ternak dengan kemampuan lahan sehingga akan didapat tekanan penggembalaan yang optimum, membatasi daya jejah dan selektivitas penggembalaan. Pengendalian ternak dapat dilakukan melalui Pengaturan stocking rate, pengaturan pola penggembalaan dan pengaturan distribusi ternak

1.3. Pengendalian kesuburan tanah

Pilihan pengendalian kesuburan tanah dengan pupuk buatan tidak dianjurkan. Oleh karena itu perbaikan kesuburan tanah dapat dilakukan terintegrasi dengan pola-pola seperti agroforestri sehingga serasah yang dihasilkan dapat membantu menaikkan tingkat kesuburan tanah. Upaya penyebaran leguminosa yang dapat mengikat N bebas dari udara juga merupakan cara biologis yang masuk akal (reasonable).

Jika pertanaman campuran dipilih sebagai model solusi maka Pearson dan Ison (1987) memberikan beberapa kemungkinan spesies leguminosa yang memiliki hubungan simbiosa mutualistik yang baik dengan bakteri rhyzobium sebagai berikut :

Tabel 4. Kombinasi Mutualistik antara Beberapa Spesies Leguminosa dan Bakteri Rhyzobium

Legum Inang

Bakteri Ryzobium

Melilotus, Medicago

Trifolium

Pisum, Vicia

Phaseolus

Glycine

Lupinus

R. melilotii

R. trifolii

R. leguminosarum

R. Phaseolii

R. Japonicum

R. Lupinii

Sumber : Pearson dan Ison (1987)

Kemudian penulis yang sama dengan mengutip penelitian Gordon (1980) mengemukakan tentang efisiensi pengunaan pertanaman campuran rumput : legum dibandingkan dengan pengunaan pupuk urea sebagai sumber N dalam meningkatkan kesuburan tanah.

Tabel 5. Perbandingan Utilisasi Energi di antara Pasture + Legum dengan Pasture + Nitrogen Urea

Nutrisi

Rumput + Clover a

Rumput + kg Nb

Total input energi (MJ)

6814

37.940

Output (kg BK/ha)

9700

13.200

ME output (MJ)

106.700

145.200

Ratio ME output : input

15.7

3.8

a. Pupuk dasar P2O5 60 kg/ha/tahun, K2) 140 kg/ha/tahun; Nilai N setara 60 kg N/ha/tahun

b. K 90 kg/ha/tahun, P 90 kg/ha/tahun

Dari Tabel di atas jelas terlihat bahwa walaupun pertanaman campuran menghasilkan panen per satuan luas lahan yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian pupuk buatan tetapi jika dibandingkand engan input energi yang diberikan dan tentu saja biaya, maka pertanaman campuran jauh lebih efisien dalam memperbaiki kesuburan tanah pastura.

2. Pengelolaan pembakaran padang rumput

Peternak menghadirkan api untuk berbagai keperluan. Api digunakan sebagai sarana treknologi pengolahan lahan perladangan, subtitusi tenaga kerja di ladang, menstimulasi pertumbuhan rumput baru yang segar dan palatabel, berburu dan bahkan untuk kesenangan dan konflik. Pengendalian diperlukan ketika api mulai menimbulkan gejala entropi lingkungan. Bentuk pengendalian api seperti prescribed burning (Chandler et al., 1983) dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan guna tujuan pengendalian api.

3. Pengelolaan padang penggembalaan secara terpadu antara lain melalui penerapan prinsip-prinsip sistem agroforestri.

Sistem terpadu seperti yang ditawarkan di atas berasal dari faka bahwa petani di NTT adalah petani polivalen yang memiliki cabang usaha yang beraneka rupa. Pola usaha tani tradisional sebenarnya merupakan sistem agroforestri tradisional (Riwu Kaho, 2005).

Riwu Kaho (2004) meneliti aplikasi sistem agroforestri di padang penggembalan di Ekateta, Kupang. Dalam penelitian yang bersifat uji verifikasi tersebut, ternak dikelompokkan ke dalam 3 perlakuan, yaitu ternak betina yang bebas merumput tanpa perbaikan pakan (P0 = kontrol), ternak yang diberi pakan tambahan di dalam kandang berupa pemberian potongan rumput kering dari lapangan + blok suplemen mineral + hijauan hasil pangkasan daun jagung bagian bawah yang berasal dari jagung yang digunakan untuk uji verifikasi + daun lamtoro yang dipangkas dari lamtoro yang telah ditanam semenjak tahun 2001 sebagai bahan pagar hidup (life fencing) (P1). Kelompok ternak terakhir (P3) adalah yang diberi blok suplemen mineral + injeksi vitamin A. Kelompok sapi yang diperbaiki kondisi pakannya ini digembalakan secara terpisah dari kelompok yang tidak diperbaiki kondisi pakan. Hasil dari uji verifikasi dimaksud adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Hasil pengamatan beberapa variabel uji verifikasi penggembalaan terpadu dengan sisa hasil ladang dan tebasan daun pohon ( sistem agroforestri)

Variabel Pengamatan

Sapi yang tidak diberi makan tambahan

Sapi yang diberi makan tambahan tanpa injeksi vitamin A

Berat lahir (kg)

9,97a

13,25b

Berat akhir masa percobaan (kg)

20,68a

30,7b

Mortalitas pedet (%)

50

0

Rataan gain (g/ekor/hari)

123,a

211,36b

Produksi susu induk

0,98a

1,35b

Keterangan: angka ang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.


Padangan yang sapinya tidak diberi pakan tambahan

Padangan yang sapinya diberi pakan tambahan

Produksi bahan kering awal (kg/ha)

9988

10,296

Kapasitas tampung awal (UT/ha/bulan)

1,81

1,89

Produksi bahan kering akhir (kg/ha)

3157

7866

Kapasitas tampung akhir (UT/ha/bulan)

0,57

1,43

Sumber: Riwu Kaho (2004)

Dari Tabel 5 terlihat sangat jelas bahwa ternak yang diperbaiki pakannya dengan pakan yang bersumber dari sistem terpadu ternyata memiliki tampilan produksi yang lebih baik serta mampu mengurangi tekanan penggembalaan yang dapat memicu berbagai dampak negatif terhadap vegetasi dan tanah lahan savana. Sumbangan sektor perladangan lewat pangkasan daun jagung dan daun pohon jenis MPTS (Leucaena glauca var. K-28) sebesar 10,9 ton/ha dengan protein kasar 18,87% dan serat kasar 26,67% merupakan verifikasi yang baik tentang prospek sistem agroforestri dalam memperbaiki mutu ekositem savana.

Selain dapat memperbaiki mutu ekosistem savana sebagai daerah pengembalaan, pengintegrasian sistem peternakan kedalam sistem pertanian juga dapat menjamin suplai HMT sepanjang tahun seperti yang dilaporkan oleh Pandie (1987) tentang potensi pemanfatan limbah pertanian sebagai sumber pakan hijauan (Tabel 6). Secara strategis, model-model seperti agroforestri akan lebih menolong keberhasil upaya pengembangan kebun HMT, yaitu kebun yang dibangun tidak semata hanya untuk kebutuhan ternak tetapi juga untuk pemenuhan kebutuhan lain dari petani.

Tabel 6. Potensi Limbah Pertanian beberapa Tempat di TTS

Jenis limbah

Total Produksi (kg)

Rata-rata produksi per desa, N=16 (kg)

Rata-rata Lama persediaan (hari)

Lama persediaan berdasarkan kebutuhan ternak (hari)

Protein kasar total (kg)

Jerami padi

19.974.000

1.248.375

9.47

9.26

12.5

Jerami jagung

504.842.624

31.552.664

570.64

444.39

344.84

Daun singkong

17.591.500

1.099.484

20.85

21.62

31.98

Sumber : Pandie (1987)

Pola-pola agro-silvo-pastoral seperti alley cropping with improve pastures, dengan pasture, taungnya (tree crop grazing system), protein bank (fodder bank) system, sistem pagar hidup (life fence system) adalah model-model yang berhasil dikembangkan di Filipina dan dapat meningkatkan kapasitas tampung mencapai 3.56 UT/ha (Castillo et al., 1994).

Kesimpulan dan Saran

Dalam konteks efisiensi produktivitas ekosistem maka pengembangan peternakan berbasis padang rumput alam di NTT yang luas merupakan keniscayaan. Masalah-masalah yang terjadi belakangan, terkait isu penurunan produktivitas padang pangonan, diduga bersumber dari rendahnya kualitas vegetasi hijauan pakan ternak yang tumbuh secara alami di padang rumput alam yang ada dan nyaris tidak pernah ditangani secara serius oleh pihak-pihak terkait. .

Oleh karena itu, perlu perbaikan kualitas HMT padangan yang dilaksakana secara simultan beberapa usaha sekaligus, yaitu penerapan prinsip-prinsip range management, seperti pengendalian vevegtasi, pengedalian kesuburana tanah dan pengendalian tenak. Perhatian khusus patut diberikan pada upaya pengelolaan kebakaran dan pengintegrasian sistem padang penggembalaan dengan cabang usaha tani lainnya (sistem agroforestri).

Kepustakaan

Anonim. 2002. Rekalkulasi Penutupan Lahan Pada Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain. Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta.

Castillo, R.A. del., M.A. de la Paz. 1994. Agroforestry Production and Post Production Systems. UPLB & Kapwa Upliftment Foundation Inc.

Chandler, C., P. Cheney., P. Thomas., L. Trabaud., and D. Williams. 1983 Fire in Forestry. Vol I & II. A Wiley Interscience Publication.

Ewusie, Y.J. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Ganesha ITB, Bandung

McNaughton, S.J., dan L.L. Wolf. 1990. Ekologi Umum. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.

Nullik, J, dan A. Bamualim,. 1998. Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara. BPTP, Naibonat dan EIVSP AusAID.

Pearson, C.J. and R.L. Ison. 1987. Agronomy of Grassland Systems. Cambridge University Press, Cambridge.

Riwu Kaho, L.M. 1986. Kualitas Padang Rumput Alam beberapa tempat di Timor Barat. Skripsi Sarjana Peternakan Fapet Undana, Kupang.

Riwu Kaho, L.M. 1993. Studi Tentang Rotasi Merumput Pada Biom Sabana Timor Barat. Telah pada Sabana Binel TTS. Thesis Pascasarjana (S2) IPB, Bogor.

Riwu Kaho, L. M. 1999. Pengaruh Pembakaran Terhadap Komposisi Botani, Pertumbuhan dan Kondisi Tanah Biom Sabana Timor Barat. Kasus Sabana Oemasi Kupang Barat. Lembaga Penelitian Undana, Kupang.

Riwu Kaho, L.M. 2004. Uji Verifikasi pola Agroforestri pada Savana Ekateta, Kupang. Pasca IAEUP Indoensia-Australian, Undana, Kupang

Riwu Kaho, L. M. 2005. Api Dalam Ekosistem Savana: Kemungkina Pengelolaanya Melalui Pengaturan Waktu Membakar (Studi Pada Savana Eucalyptus Timor Barat). Disertasi pada PPS UGM, Jogjakarta Bidang Ilmu Kehutanan, Jogjakarta.

Smith, R.L., and T.M. Smith. 2000. Elements of Ecology. Community Science Publising, San Fransisco, CA.

Sutaryono, Y.A., I. Partridge. 2002. Mengelola Padang Rumput Alam di Indonesia Tenggara. DPI Queensland, Australia.



[1] Makalah disampaikan pada Seminar Pertemuan Perluasan Areal dan PenampinganTingkat Propinsi NTT, Dinas Peternakan NTT di Kupang, 28 Juli 2007

bahan kuliah 2, MK Pengendalian Kebakaran dan Penggembalaan Liar, Prodihut, S1

Fakta Empirik Kebakaran dan Penggembalaan Liar di Indonesia  Musim kemarau panjang di Indonesia identik dengan masalah akut seputar...