PROSPEK PENGEMBANGAN
L. Michael Riwu Kaho
Pendahuluan
Salah satu faktor terpenting yang menunjang keberhasilan Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai salah satu daerah pemasok ternak bagi kebutuhan daging nasional adalah tersedianya padang penggembalaan yang luas. Pada tahun 1984 Ivory dan Siregar memberi gambaran tentang potensi padang rumput alam di seluruh Indonesia sebagai berikut:
Ketika itu, Ivory dan Siregar mentaksasi bahwa luas padang rumput alam di Indonesia mencapai ± 21,09 juta ha. Padang rumput alam adalah sumberdaya lahan kedua terbesar di Indonesia sesudah hutan (pada saat itu adalah 144,72 juta ha). Jika diasumsikan bahwa pusat-pusat region iklim kering belum berubah dalam waktu 20 tahun terakhir maka diduga luas padang rumput kemungkinan tetap. Harus diakui bahwa terbuka kemungkinan selama 20 tahun terakhir ini terjadi penyusutan luas padang rumput karena dikonversi untuk penggunaan lain. Akan tetapi dengan melihat laju deforestasi yang sampai sejauh mencapai ± 2.5 juta ha/tahun (Forest Watch Indonesia, 2006) maka penyusutan padang rumput mungkin ternegasi. Retrogresi vegetasi paling dekat dari hutan adalah padang rumput terbuka yang membentuk savana derivatif (Smith dan Smith, 2002).
Pembicaraan tentang luas kawasan padang rumput di atas dimaksudkan sebagai titik masuk berwacana dalam makalah ini dengan asumsi bahwa pilihan terbaik bagi pengembangan peternakan di NTT seharusnya tetap bercorak range based ration. Hollecheck et al. (1989) mengatakan bahwa intensifikasi peternakan yang bersifat range based ration adalah dengan menegakan prinsip-prinsip manajemen rangeland yang baik.
Profil Padang Penggembalaan di NTT dan Implikasinya
Data tentang luas padang penggembalaan di NTT sebenarnya agak membingungkan. Data pada Neraca sumberdaya NTT (Bappeda NTT, 1999) menunjukan bahwa luas padang rumput di NTT ± 1.78 juta ha. Jika diasumsikan bahwa padang rumput merupakan areal penggembalaan maka seluas itu pula padang penggembalaan NTT. Mirip dengan angka ini, adalah data Nullik dan Bamualim (1998) yang menunjukan bahwa luas padang rumput NTT adalah 1.881.210 ha (Tabel 1).
Tabel 1. Perkiraan Luas Padang Rumput dan Daya Tampung Padang Pengembalaan di Nusa Tenggara Timur
Lokasi | Luas Pulau (ha) | Padang Rumput (ha) | Unit Ternak (UT) | Daya Dukung (UT/ha) |
Timor Barat | 1.699.090 | 705.040 | 537.110 | 1.3 |
Flores | 1.909.500 | 406.170 | 129.630 | 3.1 |
Sumba | 1.085.440 | 770.600 | 145.060 | 5.3 |
Sumber : Nullik dan Bamualim (1998)
Sementara itu, data pada Statistik Kehutanan NTT menunjukan bahwa luas padang penggembalan NTT adalah 653.983 ha. Dari sumber yang sama diperoleh data bahwa luas kawasan hutan NTT adalah 1.808.990 ha. Tampaknya data-data ini bersumber dari data TGHK tahun 1984. Angka yang mirip dengan data tersebut adalah data hasil Rekalkulasi tutupan lahan darat Indonesia berdasarkan citra Landsat tahun 2002 (Dephut, 2002) yang menunjukan bahwa luas padang rumput NTT 793.1 ribu ha.
Kekacauan tersebut tampaknya bersumber dari pengintepretasian yang tidak seragam tentang bentuk klmiak vevegtasi di NTT. Schimdt dan Fergusson menyatakan bahwa tipe iklim E adalah tipe iklim kering dengan vegetasi asli savana. Rerata curah hujan tahunan NTT yang berkisar antara 1000 – 1500 mm, panjang bulan kering selama 5-6 bulan dan pola hujan eratik menyebabkan tipe iklim NTT sesuai dengan penggolongan di atas. Konsekuensinya adalah tipe vegetasinya adalah savana. Hal inilah yang meyakinkan Riwu Kaho (2005) bahwa luas savana NTT adalah ± 2.3 juta ha. Savana adalah matriks utama padang penggembalan.
Data yang dikumpulkan oleh Bamualim dkk. (1994) memberi petunjuk tentang produksi primer padang rumput alam NTT (Tabel 2 dan Tabel 3) yang berbeda antar musim dan cenderung merosot memasuki musim kemarau.
Tabel 2. Rata-Rata Produksi Padang Rumput Alam Beberapa Tempat di NTT
Lokasi | Produksi Rumput Alam (kg BK/ha) | ||||
Maret | Juni | September | Desember | Total | |
Timor Raknamo Benlutu Naokae | 2670 1860 1220 | 2370 1380 1245 | 545 445 350 | 410 440 280 | 5995 4125 3095 |
Flores Talibura Kalinga | 1555 1280 | 1280 850 | 495 705 | 1025 715 | 4355 3550 |
Sumba Lewa Waihibur | 1700 1950 | 1225 1255 | 515 610 | 765 1085 | 4205 4855 |
Sumber : Bamualim dkk. (1994)
Tabel 3. Daya Tampung Padang Rumput Alam di Timor Barat Pada Musim yang Berbeda
Lokasi | Daya Dukung Padang Penggembalaan (UT/ha) | ||||
Maret | Juni | September | Desember | Total | |
Raknamo | 4.9 | 4.3 | 1.0 | 0.7 | 2.8 |
Benlutu | 3.4 | 2.5 | 0.8 | 0.8 | 1.9 |
Naukae | 2.9 | 2.3 | 0.6 | 0.5 | 1.4 |
Sumber : Bamualim dkk. (1994)
Keterangan : Raknamo (Kupang); Benlutu (TTS); Naukae (TTU)
Jika data pada Tabel 3 dibandingkan dengan data luas padang rumput alam NTT maka harus dikatakan bahwa daya penampungan ternak secara total dari padang rumput mungkin akan terlihat seperti berikut ini: di Timor sekitar1.050.056 – 1. 974.112 STD, di Sumba 568.638 – 1.137.276 STD dan di Flores 1.078.840 – 2.157.680 STD. Riwu Kaho yang mengamati di Beberapa Tempat di Timor Barat pada tahun 1986 dan diulangi pada tahun 1993, dengan menggunakan metode actual weight estimate dan rumus Voisin, menduga nilai kapasitas tampung padang rumput alam di Timor Barat berkisar antara 0.76 – 1.02 UT/ha. Dengan demikian total daya tampung padang rumput alam di Timor Barat, berdasarkan data pada Tabel 1, berkisar antara 535.830,4 – 719.140,8 STD. Dengan menggunakan data luas savana 2.3 juta ha dan nilai kapasitas tampung Timor Barat seperti yang diestimasi Riwu Kaho maka seharusnya populasi ternak besar di NTT berukuran 1.75 – 2.35 juta STD. Alhasil, dilihat dari aspek luas dan kapasitas tampung maka padang penggembalaan di NTT masih sangat prospektif.
Beberapa pengamatan menunjukan bahwa mutu HMT padang penggembalaan NTT cenderung buruk. Susetyo (1980) melaporkan bahwa persentase protein kasar padang rumput alam NTT berkisar antara 4.81-7.9%. Sedangkan kadar serat kasar berkisar antara 38.01-41.01%. Sedangkan Riwu Kaho (1986) melaporkan persentase protein kasar berkisar antara 4.81-5.85%. Sedangkan serat kasar 34.89-37.59%. Sementara itu ketika meneliti di savana Binel TTS Riwu Kaho (1993) melaporkan bahwa pada bulan Januari-Maret (bulan basah) protein kasar hijauan berkisar antara 6.2-8.7% dan serat kasar 22.4-32.7%. Pada saat bulan Juli-September kadar protein kasar hijauan turun menjadi 1.9 – 4.9% dan serat kasar meningkat mencapai 34.8-45.4%. Nlai nutrisi seperti itu, terutama di musim kemarau yang, dapat dikatakan gagal memenuhi kebutuhan minimal ternak. Pada masa ini ternak sapi di Timor Barat mengalami kehilangan berat badan sebesar 220 g/ekor/hari (Hattu, 1985) Rubino (1989) melaporkan angka sebesar 333,5g/ekor/hari. Sementara itu, Riwu Kaho (1993) yang meneliti di savana Binel melaporkan ternak sapi Bali yang digembalakan mengalami kehilangan berat badan sampai 224.5 – 286.8 g/ekor/hari. Suatu seri pengamatan pada padang rumput desa Oemasi, Kupang yang dilakukan oleh Riwu Kaho (2002) menghasilkan data bahwa antara tahun 1995 – 1999 telah terjadi penurunan kadar protein kasar hijauan pada bulan yang sama (April) dari tahun ke tahun. Pada tahun 1995 kandungan protein kasar (PK) padangan yang didominasi oleh rumput Heteropogon contortus sebesar 7.5%. Pada pengukuran tahun 1999, PK padangan yang sama sebesar 7.12%. Disimpulkan bahwa seri penurunan mutu ternak antara waktu merupakan gambaran rendahnya mutu kualitas padang pengoannya.
Alternatif Solusi Bagi Pengembangan Padang Penggembalaan di NTT
Berikut ini akan diusulkan beberapa solusi pengembangan padang pengembalaan di NTT.
1. Penerapan prinsip-prinsip rangeland management yang bertumpu pada upaya pengendalian vegetasi, pengendalian ternak dan penendalian kesuburan tanah.
1.1. Pengendalian Vegetasi
Tujuan dari pengendalian vegetasi ada 2 yaitu pertama, meningkatkan produksi hijauan pakan persatuan luas lahan dan kedua, mempertahankan struktur savana agar dalam suksesinya tidak berkembang menuju klimaks yang tidak sesuai sebagai daerah range.
a. Introduksi rumput unggul dan leguminosa
Tindakan ini diperlukan guna :
§ Mengatasi diskontinyutas suplai pakan bermutu sepanjang tahun.
§ Meningkatkan daya dukung pastura.
§ Memperbaiki status kesuburan tanah lewat simbiosa mutualisme antara akar legum dan bakteri rhyzobium guna memfiksasi N bebas dari udara.
§ Mengontrol gulma.
§ Meningkatkan biodiversitas.
Beberapa jenis rumput seperti Brachiaria brizantha, B. decumbens, B. ruziniensis dan Paspalum dilatatum adalah jenis rumput dengan produksi bahan kering yang tinggi 50-70 ton bk/ha/tahun, tahan kering dan tahan penggembalaan berat. Pearson dan Ison (1987) melaporkan bahwa pasture Hetropogon contortus di Queensland Australia yang disisipi Stylosanthes humilis dapat menghasilkan sapi dengan berat badan rata-rata 93 kg/m2 dengan kepadatan 0.74 ekor/ha. Pada saat yang sama terdapat jumlah nitrogen yang dapat di fiksasi sebesar 150 – 1500 kg N/ha/tahun. Dilaorkan juga bahwa rumput Benggala yang tumbuh monokultur akan memberikan potensi produksi bahan kering antara 50-130 to/ha/tahu. Sedangkan leguminosa monokultur dapat menghasilkan herba dan pohon dapat menghasilkan berat kering sampai 17-35 ton/ha/tahun.
Legum yang cocok untuk disebar di padang rumput adalah legum-legum yang mudah membentuk simbiosa dengan bakteri rhyzobium dan memiliki daya persistensi yang tinggi. Sutaryono & Partridge (2002) merekomendasikan beberapa spesies terpilih yaitu Stylo verano dan Stylo semak, Cassia berdaun bulat pada tanah-tanah yang agak masam dan Desmanthus pada tanah basa atau berbatu kapur seperti yang banyak mendominasi tipe tanah di Timor Barat. Strategi pengintrodusiran baik secara sipil maupun secara botanis ke dalam pastura dapat dilakukan secara simultan dengan penataan sistim pertanian secara terpadu seperti aplikasi sistim agroforestri dan strategi konservasi tanah dan air. Penyebaran legum introduksi harus diatur merata karena jika tidak ternak akan cenderung terkonsentrasi dimana leguminosa tumbuh dan menimbulkan efek overgrazing di tempat tersebut. Di Australia Utara penyebaran legum biasanya dilakukan di akhir kemarau yang diikuti dengan tindakan membakar yang akan memcahkan benih dorman untuk siap berkecambah begitu datang hujan (Patridge, 1999).
b. Pengendalian gulma padang rumput
Pengontrolan gulma sangat penting karena berkaitan dengan upaya untuk mempertahankan status suksesi vegetasi sehingga tidak berkembang kearah terbentuknya klimaks yang tidak berguna. Upaya semacam ini dapat dilakukan melaui cara-cara pengontrolan secara mekanis, kimiawi dan biologis. Akan tetapi pilihan-pilihan itu dibatasi oleh biaya, tenaga kerja, keterampilan peternak dan kegiatan lain di luar kepentingan peternakan.
Sebagai misal, akhir-akhir ini gulma Chromolaena odorata menginvasi padang savana di Timor Barat. Di banyak tempat gulma ini membentuk suatu asosiasi vegetasi tersendiri yang menekan habis jenis rumput dan herba pakan hijauan lainnya. Beberapa jenis pohon juga tertekan secara tidak langsung oleh gulma ini karena asosiasi Chromolaena odoata di sekitar pohon membentuk pola ladder fuel sehingga jika terjadi kebakaran, lidah api akan mencapai pucuk pohon dan menimbulkan api mahkota (crown fire) yang sangat merusak (Riwu Kaho, 2005).
1.2. Pengendalian ternak
Salah satu kitik terbesar dari sektor pertanian tanaman pangan dan kehutanan di savana NTT terhadap peternakan adalah penggembalaan bebas ternak yang diklaim telah menimbulkan kerusakan lahan dan hutan. Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat tahun 2003, luas lahan kritis di NTT mencapai sekitar 2.1 juta ha. Oleh karena itu, selain berupaya untuk menegakan aturan tentang tata ruang maka dipikirkan juga upaya untuk mengendalikan perumputan.
Keutamaan dari pengendalian ternak adalah meciptakan ruang padang penggembalaan yang berimbangan diantara pencapaian produksi ternak dengan aspek sustainbability dari pengunaan sumberdaya savana. Hal ini dapat dicapai dengan mengatur keseimbangan antara jumlah ternak dengan kemampuan lahan sehingga akan didapat tekanan penggembalaan yang optimum, membatasi daya jejah dan selektivitas penggembalaan. Pengendalian ternak dapat dilakukan melalui Pengaturan stocking rate, pengaturan pola penggembalaan dan pengaturan distribusi ternak
1.3. Pengendalian kesuburan tanah
Pilihan pengendalian kesuburan tanah dengan pupuk buatan tidak dianjurkan. Oleh karena itu perbaikan kesuburan tanah dapat dilakukan terintegrasi dengan pola-pola seperti agroforestri sehingga serasah yang dihasilkan dapat membantu menaikkan tingkat kesuburan tanah. Upaya penyebaran leguminosa yang dapat mengikat N bebas dari udara juga merupakan cara biologis yang masuk akal (reasonable).
Jika pertanaman campuran dipilih sebagai model solusi maka Pearson dan Ison (1987) memberikan beberapa kemungkinan spesies leguminosa yang memiliki hubungan simbiosa mutualistik yang baik dengan bakteri rhyzobium sebagai berikut :
Tabel 4. Kombinasi Mutualistik antara Beberapa Spesies Leguminosa dan Bakteri Rhyzobium
Legum Inang | Bakteri Ryzobium |
Melilotus, Medicago Trifolium Pisum, Vicia Phaseolus Glycine Lupinus | R. melilotii R. trifolii R. leguminosarum R. Phaseolii R. Japonicum R. Lupinii |
Sumber : Pearson dan Ison (1987)
Kemudian penulis yang sama dengan mengutip penelitian Gordon (1980) mengemukakan tentang efisiensi pengunaan pertanaman campuran rumput : legum dibandingkan dengan pengunaan pupuk urea sebagai sumber N dalam meningkatkan kesuburan tanah.
Tabel 5. Perbandingan Utilisasi Energi di antara Pasture + Legum dengan Pasture + Nitrogen Urea
Nutrisi | Rumput + Clover a | Rumput + kg Nb |
Total input energi (MJ) | 6814 | 37.940 |
Output (kg BK/ha) | 9700 | 13.200 |
ME output (MJ) | 106.700 | 145.200 |
Ratio ME output : input | 15.7 | 3.8 |
a. Pupuk dasar P2O5 60 kg/ha/tahun,
b. K 90 kg/ha/tahun, P 90 kg/ha/tahun
Dari Tabel di atas jelas terlihat bahwa walaupun pertanaman campuran menghasilkan panen per satuan luas lahan yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian pupuk buatan tetapi jika dibandingkand engan input energi yang diberikan dan tentu saja biaya, maka pertanaman campuran jauh lebih efisien dalam memperbaiki kesuburan tanah pastura.
2. Pengelolaan pembakaran padang rumput
Peternak menghadirkan api untuk berbagai keperluan. Api digunakan sebagai sarana treknologi pengolahan lahan perladangan, subtitusi tenaga kerja di ladang, menstimulasi pertumbuhan rumput baru yang segar dan palatabel, berburu dan bahkan untuk kesenangan dan konflik. Pengendalian diperlukan ketika api mulai menimbulkan gejala entropi lingkungan. Bentuk pengendalian api seperti prescribed burning (Chandler et al., 1983) dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan guna tujuan pengendalian api.
3. Pengelolaan padang penggembalaan secara terpadu antara lain melalui penerapan prinsip-prinsip sistem agroforestri.
Sistem terpadu seperti yang ditawarkan di atas berasal dari faka bahwa petani di NTT adalah petani polivalen yang memiliki cabang usaha yang beraneka rupa. Pola usaha tani tradisional sebenarnya merupakan sistem agroforestri tradisional (Riwu Kaho, 2005).
Riwu Kaho (2004) meneliti aplikasi sistem agroforestri di padang penggembalan di Ekateta, Kupang. Dalam penelitian yang bersifat uji verifikasi tersebut, ternak dikelompokkan ke dalam 3 perlakuan, yaitu ternak betina yang bebas merumput tanpa perbaikan pakan (P0 = kontrol), ternak yang diberi pakan tambahan di dalam kandang berupa pemberian potongan rumput kering dari lapangan + blok suplemen mineral + hijauan hasil pangkasan daun jagung bagian bawah yang berasal dari jagung yang digunakan untuk uji verifikasi + daun lamtoro yang dipangkas dari lamtoro yang telah ditanam semenjak tahun 2001 sebagai bahan pagar hidup (life fencing) (P1). Kelompok ternak terakhir (P3) adalah yang diberi blok suplemen mineral + injeksi vitamin A. Kelompok sapi yang diperbaiki kondisi pakannya ini digembalakan secara terpisah dari kelompok yang tidak diperbaiki kondisi pakan. Hasil dari uji verifikasi dimaksud adalah sebagai berikut:
Tabel 5. Hasil pengamatan beberapa variabel uji verifikasi penggembalaan terpadu dengan sisa hasil ladang dan tebasan daun pohon ( sistem agroforestri)
Variabel Pengamatan | Sapi yang tidak diberi makan tambahan | Sapi yang diberi makan tambahan tanpa injeksi vitamin A |
Berat lahir (kg) | 9,97a | 13,25b |
Berat akhir masa percobaan (kg) | 20,68a | 30,7b |
Mortalitas pedet (%) | 50 | 0 |
Rataan gain (g/ekor/hari) | 123,a | 211,36b |
Produksi susu induk | 0,98a | 1,35b |
Keterangan: angka ang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. | ||
| Padangan yang sapinya tidak diberi pakan tambahan | Padangan yang sapinya diberi pakan tambahan |
Produksi bahan kering awal (kg/ha) | 9988 | 10,296 |
Kapasitas tampung awal (UT/ha/bulan) | 1,81 | 1,89 |
Produksi bahan kering akhir (kg/ha) | 3157 | 7866 |
Kapasitas tampung akhir (UT/ha/bulan) | 0,57 | 1,43 |
Sumber: Riwu Kaho (2004)
Dari Tabel 5 terlihat sangat jelas bahwa ternak yang diperbaiki pakannya dengan pakan yang bersumber dari sistem terpadu ternyata memiliki tampilan produksi yang lebih baik serta mampu mengurangi tekanan penggembalaan yang dapat memicu berbagai dampak negatif terhadap vegetasi dan tanah lahan savana. Sumbangan sektor perladangan lewat pangkasan daun jagung dan daun pohon jenis MPTS (Leucaena glauca var. K-28) sebesar 10,9 ton/ha dengan protein kasar 18,87% dan serat kasar 26,67% merupakan verifikasi yang baik tentang prospek sistem agroforestri dalam memperbaiki mutu ekositem savana.
Selain dapat memperbaiki mutu ekosistem savana sebagai daerah pengembalaan, pengintegrasian sistem peternakan kedalam sistem pertanian juga dapat menjamin suplai HMT sepanjang tahun seperti yang dilaporkan oleh Pandie (1987) tentang potensi pemanfatan limbah pertanian sebagai sumber pakan hijauan (Tabel 6). Secara strategis, model-model seperti agroforestri akan lebih menolong keberhasil upaya pengembangan kebun HMT, yaitu kebun yang dibangun tidak semata hanya untuk kebutuhan ternak tetapi juga untuk pemenuhan kebutuhan lain dari petani.
Tabel 6. Potensi Limbah Pertanian beberapa Tempat di TTS
Jenis limbah | Total Produksi (kg) | Rata-rata produksi per desa, N=16 (kg) | Rata-rata Lama persediaan (hari) | Lama persediaan berdasarkan kebutuhan ternak (hari) | Protein kasar total (kg) |
Jerami padi | 19.974.000 | 1.248.375 | 9.47 | 9.26 | 12.5 |
Jerami jagung | 504.842.624 | 31.552.664 | 570.64 | 444.39 | 344.84 |
Daun singkong | 17.591.500 | 1.099.484 | 20.85 | 21.62 | 31.98 |
Sumber : Pandie (1987)
Pola-pola agro-silvo-pastoral seperti alley cropping with improve pastures, dengan pasture, taungnya (tree crop grazing system), protein bank (fodder bank) system, sistem pagar hidup (life fence system) adalah model-model yang berhasil dikembangkan di Filipina dan dapat meningkatkan kapasitas tampung mencapai 3.56 UT/ha (Castillo et al., 1994).
Kesimpulan dan Saran
Dalam konteks efisiensi produktivitas ekosistem maka pengembangan peternakan berbasis padang rumput alam di NTT yang luas merupakan keniscayaan. Masalah-masalah yang terjadi belakangan, terkait isu penurunan produktivitas padang pangonan, diduga bersumber dari rendahnya kualitas vegetasi hijauan pakan ternak yang tumbuh secara alami di padang rumput alam yang ada dan nyaris tidak pernah ditangani secara serius oleh pihak-pihak terkait. .
Oleh karena itu, perlu perbaikan kualitas HMT padangan yang dilaksakana secara simultan beberapa usaha sekaligus, yaitu penerapan prinsip-prinsip range management, seperti pengendalian vevegtasi, pengedalian kesuburana tanah dan pengendalian tenak. Perhatian khusus patut diberikan pada upaya pengelolaan kebakaran dan pengintegrasian sistem padang penggembalaan dengan cabang usaha tani lainnya (sistem agroforestri).
Kepustakaan
Anonim. 2002. Rekalkulasi Penutupan Lahan Pada Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain. Departemen Kehutanan Republik
Castillo, R.A. del., M.A. de la Paz. 1994. Agroforestry Production and Post Production Systems. UPLB & Kapwa Upliftment Foundation Inc.
Ewusie, Y.J. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Ganesha ITB, Bandung
McNaughton, S.J., dan L.L. Wolf. 1990. Ekologi Umum. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.
Nullik, J, dan A. Bamualim,. 1998. Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara. BPTP, Naibonat dan EIVSP AusAID.
Pearson, C.J. and R.L. Ison. 1987. Agronomy of Grassland Systems.
Riwu Kaho, L.M. 1986. Kualitas Padang Rumput Alam beberapa tempat di Timor Barat. Skripsi Sarjana Peternakan Fapet Undana, Kupang.
Riwu Kaho, L.M. 1993. Studi Tentang Rotasi Merumput Pada Biom Sabana Timor Barat. Telah pada Sabana Binel TTS. Thesis Pascasarjana (S2) IPB, Bogor.
Riwu Kaho, L. M. 1999. Pengaruh Pembakaran Terhadap Komposisi Botani, Pertumbuhan dan Kondisi Tanah Biom Sabana Timor Barat. Kasus Sabana Oemasi Kupang Barat. Lembaga Penelitian Undana, Kupang.
Riwu Kaho, L.M. 2004. Uji Verifikasi pola Agroforestri pada Savana Ekateta, Kupang. Pasca IAEUP Indoensia-Australian, Undana, Kupang
Riwu Kaho, L. M. 2005. Api Dalam Ekosistem Savana: Kemungkina Pengelolaanya Melalui Pengaturan Waktu Membakar (Studi Pada Savana Eucalyptus Timor Barat). Disertasi pada PPS UGM, Jogjakarta Bidang Ilmu Kehutanan, Jogjakarta.
Smith, R.L., and T.M. Smith. 2000. Elements of Ecology. Community Science Publising,
Sutaryono, Y.A.,
[1] Makalah disampaikan pada Seminar Pertemuan Perluasan Areal dan PenampinganTingkat Propinsi NTT, Dinas Peternakan NTT di Kupang, 28 Juli 2007