MEMBANGUN KEMBALI KEARIFAN MASYARAKAT DALAM MENGELOLA SISTEM AGROFORESTRY TRADISIONAL ‘TALUN ‘ DI JAWA BARAT DALAM UPAYA MEMBANTU PELESARIAN HUTAN
Oleh : Johan Iskandar
08-Okt-2008, 08:40:25 WIB - [www.kabarindonesia.com]
Di beberapa daerah di Indonesia, dikenal memiliki berbagai macam sistem agroforestry tradisional (lihat de Forestra dkk 2000, Iskandar 2001). Pada umumnya, berbagai sistem agroforestry tradisional itu mempunyai peranan penting dalam memelihara lingkungan dan sekaligus memberi berbagai keuntungan bagi sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Sehingga, berbagai sistem agroforestry tradisional tersebut dapat dikembangkan dengan dimodifikasi dan disesuaikan dengan berbagai perkembangan zaman, untuk lebih mensejahteraan masyarakat lokal dan dapat mencegah atau pun mengurangi gangguan penduduk terhadap hutan di Indonesia.
Tulisan ini, mendeksripsikan tentang sistem agroforestry tradisional sistem talun di Jawa Barat, yaitu mencakup sejarah pembentukan, pengelolaan dan fungsi talun, serta perubahan dan upaya untuk pengembangan talun di masa datang. Hal itu dimaksudkan untuk menggali kembali kearifan masyarakat lokal di Jawa Barat, di dalam mengelola sistem agroforestry tradisional talun dalam upaya pemberian sumbangsih konsep untuk mengembangkan kesejahterakan masyarakat perdesaan dan sekaligus juga untuk pengembangan berbagai program memperbaiki dan penyelamatan hutan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat.
Di masa lalu, dikenal banyak ungkapan Orang Sunda yang mencerminkan upaya penduduk di Tatar Sunda dalam mengkonservasi alam. Misalnya, Mipit Kudu Amit (memetik harus ijin), Ngala kudu menta (memanen harus memohon), Gunung teu meunang dilebur (gunung tidak boleh dihancurkan), Lebak teu meunang di rusak (lembah tidak boleh dirusak), Daratan imahan (di lahan datar dibangun rumah), Legok balongan (daerah cekungan dijadikan kolam), Basisir jagaeun (kawasan pesisir lautan dijaga), Walungan rawateun (sungai dipelihara), Gunung kaian (gunung tumbuhi pepohonan kayu), Gawir awian (tebing tanami bambu) dan Pasir talunan (bukit tanami tanaman campuran tanaman keras) (bandingkan Supriadi 2008: 36). Dari beberapa ungkapan tersebut tersirat bahwa tradisi Orang Sunda di masa silam, pantangan untuk melebur gunung atau merusak lembah. Bahkan, gunung-gunung tersebut harus ditumbuhi pepohonan kayu (dikaian), tebing ditanami bambu (diawian) dan bukit ditanami tanaman keras, dijadikan talun atau ditalunan.
Apa itu talun?. Menurut kamus Sunda-Indonesia yang disusun oleh Satjadibrata (1950), yang dinamakan talun adalah kebun buah-buahan yang pohonnya hidup lama. Sementara itu, menurut Terra (1958) talun dapat diartikan sebagai tataguna lahan darat yang ditanami jenis-jenis tanaman keras yang lokasinya biasanya di sekitar kampung. Sistem talun dapat dikategorikan sebagai agroforestry asli di Tatar Sunda. Agroforestry adalah istilah baru yang diperkenalkan oleh kalangan ahli kehutanan dari Barat pada tahun 1970-an (von Modell 1985). Tetapi, sesungguhnya konsep agroforestry tersebut telah dipraktekan secara turun temurun ribuan tahun lalu di Indonesia, termasuk di Tatar Sunda. Secara umum agroforestry dapat diartikan sebagai suatu sistem tataguna lahan yang ditumbuhi oleh dominan campuran jenis tumbuhan tahunan/keras (perenial crops) dan terdapat pula campuran tanaman semusim (annual crops), sehingga memiliki struktur vegetasi rimbun menyerupai hutan alami. Karena itu, sistem agroforestry memiliki fungsi ekologi seperti fungsi hutan alami, tetapi juga memiliki fungsi sosial ekonomi budaya bagi penduduk.
Pada dasarnya, sistem talun merupakan analogi dengan sistem dukuh lembur di daerah Baduy, Banten Selatan; kaliwo atau kalego di Sumba Barat; repong damar di Krui, Lampung; kaleka di Bangka dan Belitung, Sumatera; pelak di Kerinci Jambi, Sumatera; parak di Maninjau, Sumatera Barat; lembo atau simpukng atau lepu atau pun pulung bue di Kalimantan Timur, dan tembawang di Kalimantan Barat (lihat Iskandar 1998; 2001; 2002; de Forestra dkk 2000; Puri 2005; Sulaiman dan Sancin 2007).
Tatapi, dalam perkembangannya istilah talun tempo dulu di Tatar Sunda, kini kurang dikenal lagi oleh generasi muda di Jawa Barat. Dewasa ini, pada umumnya sistem talun lebih dikenal oleh generasi muda di Tatar Sunda sebagai kebon (kebun) campuran, kebon awi (kebun bambu), kebon tatangkalan (kebun pepohonan) atau pun dudukuhan.
Tulisan ini mendeskripsikan tentang sejarah pembentukan sistem agroforestry talun, pengelolaan dan fungsi talun, serta perubahan dan pengembangan talun di masa datang, demi membantu peningkatan kesehateraan masyarakat perdesaan dan mengurangi gangguan pada hutan.
Sistem huma biasanya dibentuk dari hasil membuka lahan hutan (leuweung). Caranya, pepohonan leuweung ditebang pilih dan semak-semak belukarnya ditebang habis. Sisa-sisa tebangan itu dikeringkan dan dikumpulkan menjadi beberapa onggokan. Lantas, onggokan-onggokan kering tersebut dibakar habis dan menjadi abu, sebagai sumber pupuk organik jenis-jenis tanaman yang ditanam di huma. Pada saat menjelang musim hujan, lahan bekas tebangan tersebut ditugal ditanami aneka ragam varietas padi huma dan jenis-jenis tanaman semusim lainnya, berupa kacang-kacangan, ubi, singkong dan lain-lain. Maka, kini lahan leuweung itu diubah menjadi lahan huma. Usai panen padi dan tanaman semusim lainnya, lahan huma digarap ulang untuk tahun berikutnya atau diistirahatkan (diberakan) cukup lama, karena kesuburan tanahnya telah berkurang. Kemudian, lahan bekas huma yang diberakan tersebut mengalami suksesi vegetasi membentuk lahan hutan sekunder muda (reuma ngora) dan seterusnya berkembang menjadi hutan sekunder tua (reuma kolot). Lahan reuma kolot dapat dibuka kembali menjadi huma, setelah lahan tersebut diberakan lebih dari 3 tahun dan kesuburan tanahnya telah pulih kembali. Kesuburan tanah dapat pulih kembali karena adanya seresah berupa daun-daun dan ranting kering yang jatuh dan membusuk jadi kompos dan sumber unsur hara di permukaan tanah. Sementara itu, sebelum lahan reuma ngora siap digarap ulang, para peladang biasanya pindah menggarap di lahan-lahan reuma kolot di lokasi lainnya yang sudah siap digarap ulang. Maka, terjadilah suatu sistem rotasi penggarapan leuweung dijadikan huma, yaitu reuma kolot-huma-reuma ngora-reuma kolot-huma secara berkelanjutan (Iskandar 1998).
Lantas, di dalam perkembangannya, rotasi sistem huma itu dapat berubah menjadi sistem talun. Terutama apabila lahan bekas huma ditanami oleh jenis-jenis tanaman keras buah-buahan dan tanaman kayu lainnya, serta didirikan suatu kampung baru (babakan) dan berkembang menjadi kampung besar (lembur). Sehingga, sistem rotasi huma tersebut terhenti, sejalan dengan bertambahnya penduduk dan berkurangnya lahan hutan. Tetapi, sistem talun yang struktur vegetasinya rimbun menyerupai hutan alami masih tetap bertahan di berbagai daerah pedesaan Tatar Sunda dengan diadaptasikan secara dinamik dengan berbagai perubahan lingkungan baru.
Kini, berdasarkan pengelolaannya, sistem talun dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu ‘talun permanen’ dan ‘talun non-permanen’. Talun permanen adalah talun yang tidak mengalami rotasi secara periodik tiap tahun. Sementara itu, talun non-permanen adalah talun yang biasa mengalami rotasi tiap tahun, seperti talun bambu. Talun bambu biasanya dibuka dijadikan kebon secara berotasi tiap tahun. Caranya, jenis-jenis tanaman bambu (Gigantochloa apus, Gigantochloa verticillata, Gigantochloa ater, Bambusa vulgaris) ditebang habis dan jenis-jenis pohon lainnya, seperti albasiah (Paraserianthes falcataria), tisuk (Hibiscus macrophyllus), aren (Arenga pinnata) biasanya ditebang pilih atau hanya dipangkas ranting-rantingnya. Sisa-sisa tebangan dibakar dan usai dibakar lahan tersebut ditanami aneka ragam tanam semusim yang dianggap menguntungkan secara ekonomi bagi penduduk. Misalnya, tembakau (Nicotiana tabacum) dan bawang merah (Allium cepa) di daerah Majalaya dan roay (Dolichos lablab) di Soreang dan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Di samping itu, lahan tersebut ditanami pula dengan campuran jenis-jenis tanaman semusim lainnya, seperti leunca (Solanum nigrum), bonteng (Cucumis sativus), surawung (Ocimum basilicum), paria (Momordica charantia), cengek (Capsicum frutescens), jagung (Zea mays), singkong (Manihot esculenta), tomat (Lycopersicon lycopersicum) dan lain-lain. Fase lahan talun yang sedang ditanami jenis-jenis tanaman semusim tersebut biasanya disebut kebon (kebun). Usai pemanenan jenis-jenis tanaman roay dan tanaman semusim lainnya, lahan kebon biasanya ditanami singkong selama 1 tahun atau langsung diberakan. Pada saat lahan diberakan, tunas-tunas bambu, albasiah dan lainnya bekas tebangan mulai tumbuh lagi dari pangkal-pangkal batangnya. Sehingga, lahan tersebut berkembang menjadi fase talun (bambu) muda dan akan bekembang menjadi fase talun (bambu) tua. Selanjutnya, lahan talun (bambu) tua tersebut dapat dijadikan kebon (kebun) lagi, apabila talun (bambu) tersebut telah diberakan lebih dari 3 tahun. Pada saat membuka talun (bambu) tua itu, biasanya para petani dapat memanen pohon-pohon bambu untuk bahan tiang-tiang bambu guna merambat tanaman roay (tuturus roay), bahan pagar kebun, dan sisa batang-batang bambu tersebut juga dijual ke pasar atau para pengrajin bilik bambu di desanya. Sementara itu, usai panen roay, semua bekas tuturus roay dan pagar bambu rusak dijadikan bahan kayu bakar. Sehingga, batang-batang bambu kering tersebut tidak terbuang percuma, namun dapat dimanfaatkan kembali sebagai kayu bakar untuk memasak di dapur. Maka, dalam sistem talun non-permanen, pada umumnya terjadi rotasi: talun-kebun-talun-kebun secara berkelanjutan. Karena itu, sistem talun biasa pula dinamakan sistem talun-kebun. Pada prinsipnya, sistem talun-kebun adalah analogi dengan sistem huma di Jawa Barat. Pada fase talun yaitu analogi dengan fase reuma kolot dan fase kebon analogi dengan huma. Sistem talun-kebun adalah sistem huma yang telah didaptasikan dan dimodifikasikan penduduk desa terhadap lingkungan baru, seperti penduduk yang kian padat dan kondisi ekonomi pasar yang sangat pesat. Misalnya, terjadi proses introduksi dan seleksi jenis-jenis tanaman yang kian ketat dan adanya asupan baru, berupa pupuk kandang dan tambahan pupuk kimia sintesis pada sistem talun yang sedang digarap dalam fase kebun.
Pada umumnya sistem talun atau sistem talun-kebun ditanami oleh campuran aneka ragam jenis tanaman. Karena itu, sistem agroforestry asli Urang Sunda tersebut memiliki aneka ragam fungsi sosial ekonomi dan budaya, serta fungsi ekologi serupa dengan fungsi ekologi hutan alami. Fungsi sosial ekonomi talun/talun-kebun, antara lain menghasilkan aneka ragam produksi bahan pangan karbohidrat, buah-buahan, sayuran, bumbu masak, bahan industri, bahan kerajinan tangan, bahan bangunan, dan bahan kayu bakar. Berbagai produksi tanaman tersebut dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (kebutuhan subsisten) penduduk desa dan hasil surplusnya dapat dijual ke para bandar desa atau pasar, untuk menghasilkan uang tunai (kepentingan komersil). Sementara itu, fungsi sosial budaya talun antara lain, beberapa hasil ikutan dari talun, seperti ranting-ranting kayu mati, dapat diambil oleh keluarga lain, tanpa harus memohon izin pada pemiliknya. Sedangkan, fungsi ekologi sistem talun antara lain, berperan penting untuk konservasi keanekaan hayati, penghasil oksigen (O2), menyerap gas pencemar karbon dioksida (CO2), memelihara kesejukan dan keteduhan (iklim mikro), memelihara kesuburan tanah, perlindungan tata-air (hidrologi) suatu DAS, mencegah erosi tanah, longsor tanah, dan sebagai habitat satwa liar, seperti jenis-jenis burung.
Jadi, secara umum talun/talun-kebun berperan penting sebagai sumber aneka ragam tambahan bahan pangan dan penangkal rawan pangan ketika terjadi bencana kekeringan, serta kegunaan ekonomi lainnya bagi masyarakat pedesaan. Di samping itu, juga sekaligus dapat melindungi lingkungan, seperti fungsi-fungsi ekologis yang lazim diberikan oleh hutan. Dengan kata lain, bahwa keberadaan sistem talun di pedesaan Tatar Sunda sangat penting dalam upaya membantu perlindungan lingkungan secara lestari dan dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat desa.
Pengaruh negatif lainnya, hilangnya berbagai fungsi ekologis talun yang menguntungkan secara ekologis bagi lingkungan. Misalnya, karena meningkatnya penggunaan pupuk kimia sintesis dan pestisida, maka telah menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan pada badan air di bagian hilir DAS. Selain itu, akibat berubahnya struktur vegetasi yang rimbun menjadi terbuka, maka ketika turun hujan sangat rawan terhadap bahaya longsor dan erosi tanah. Akibatnya, timbul banjir di bagian hilir DAS dan terjadi sedimentasi pada badan air, seperti sungai dan waduk. Sementara itu, pada musim kemarau terjadi kekeringan berat, karena kurangnya air tanah. Di samping itu, berubahnya struktur vegetasi talun tersebut juga dapat menyebabkan hilangnya habitat aneka ragam satwa liar, hilangnya aneka ragam tanaman lokal, hilangnya keteduhan dan kesejukan, pengurangan produksi oksigen dan penyerap berbagai gas pencemar, serta hilangnya aneka ragam bahan pangan, bahan bumbu masak, bahan kerajinan, bahan obat-obatan tradisional, bahan upacara adat dan bahan lainnya bagi kebutuhan penduduk lokal.
Oleh karena itu, untuk mempertahankan sistem agroforestry talun, maka berbagai upaya perlu dilakukan pemerintah. Misalnya, diberikan disinsentif dan insentif pada sistem agroforestry talun. Pemberian disinsentif antara lain penduduk desa yang mengubah sistem talun menjadi sistem sayur monokutur yang tidak ramah lingkungan. Contohnya, mereka dibebani pajak tanah lebih mahal. Akibatnya, diharapkan penduduk pedesaan tidak berminat untuk mengubah talunnya menjadi sistem pertanian lain yang tidak ramah lingkungan. Sementara itu, bagi penduduk yang tetap mengelola sistem talun diberi berbagai insentif (keuntungan). Contohnya, pemberian keringanan dalam pembayaran pajak tanah. Sehingga, penduduk desa yang mengelola talun diharapkan merasa diuntungkan dan tidak berminat untuk mengalih fungsikan talun menjadi sistem pertanian lain, yang tidak ramah lingkungan. Selain itu, pemberian modal usaha dan pengembangan berbagai industri pedesaan sekala kecil yang memanfaatkan bahan dasar dari produksi talun seyogianya digalakan pemerintah. Contohnya, dikembangkan dan dipromosikannya industri kerajinan tangan dan agroindustri dengan bahan dasar produksi talun, seperti bambu, buah-buahan, dan lain-lain. Upaya pengelolaan talun seyogianya juga dapat diintegrasikan dengan pemeliharaan ternak. Sehingga, dari sistem talun dapat menghasilkan hijauan pakan ternak. Sementara itu, kotoran ternaknya dapat dibuat kompos dan pupuk tanaman di sistem talun, serta sumber energi biogas rumah tangga. Sedangkan, hasil ternaknya dapat dijual untuk menghasilkan uang tunai bagi penduduk desa. Contoh kasus pengelolaan talun di Tatar Sunda tersebut kiranya dapat juga diterapkan secara luas di Indonesia. Namun, tetap harus memperhatikan kesesuaian ekologis lokal dan sosial ekonomi dan budaya setempat, serta partisipasi aktif masyarakat lokal. Sehingga, diharapkan dengan pengelolaan sistem agroforestry talun atau pun sistem agroforestry tradisional asli lainnya di Indonesia, yang menguntungkan secara ekologis dan sosial ekonomi budaya masyarakat, diharapkan dapat mengurangi tekanan penduduk desa terhadap lahan hutan dan kelestarian hutan di Indonesia pun dapat dijaga. Semoga!!!!.
de Forestra,H., A.Kusworo, G.Michon dan W.A. Djatmiko, 2000. Ketika Kebun Berupa
Hutan: Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan Masyarakat. Bogor:
International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF).
Iskandar, J. 1998. Swidden Cultivation as a form of cultural identity: the Baduy case.
PhD. Dissertation, University of Kent at Canterbury (tidak dipublikasikan).
Iskandar, J. 2001. Manusia Budaya dan Lingkungan: Kajian Ekologi Manusia. Bandung:
Humaniora Utama Press.
Iskandar, J.2002. Orang Dayak dan Pengelolaan Lembo di Kutai Barat, Kalimantan
Timur. Bandung: Habitat (2): 10.
Puri, R.K. 2005. Deadly Dances in the Bornean Rainforest: Hunting Knowledge of the
Penan Benalui. Leiden: KITLV Press.
Satjadibrata, R.1950. Kamoes Soenda-Indonesia. Djakarta: Balai Poestaka.
Sulaiman.S dan I. Sancin, 2007. Mengulas Tanah Adat Bangka Belitung Masyarakat
Yang Tak Beradat. Pangkal Pinang: Bangka Pos, 16/9/2007.
Supriadi, D. 2008. Menuju Pembangunan Kawasan Lindung 45 %. Bandung: Suara
Berita Liputan Rimbawan Jawa Barat Surili, vol 44 (1): 36-42.
Terra, 1958. Farm Systems in South-East Asia. The Netherlands Journal of Agricultural
Science (6) 3:1157-182.
Von Modell, H.J. 1985. The Contribution of Agroforestry to Ward Agroforestry
Development. Agroforestry Systems 3 (2): 83-90.
Tulisan ini, mendeksripsikan tentang sistem agroforestry tradisional sistem talun di Jawa Barat, yaitu mencakup sejarah pembentukan, pengelolaan dan fungsi talun, serta perubahan dan upaya untuk pengembangan talun di masa datang. Hal itu dimaksudkan untuk menggali kembali kearifan masyarakat lokal di Jawa Barat, di dalam mengelola sistem agroforestry tradisional talun dalam upaya pemberian sumbangsih konsep untuk mengembangkan kesejahterakan masyarakat perdesaan dan sekaligus juga untuk pengembangan berbagai program memperbaiki dan penyelamatan hutan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat.
Sistem Agroforestry Talun
Di masa lalu, dikenal banyak ungkapan Orang Sunda yang mencerminkan upaya penduduk di Tatar Sunda dalam mengkonservasi alam. Misalnya, Mipit Kudu Amit (memetik harus ijin), Ngala kudu menta (memanen harus memohon), Gunung teu meunang dilebur (gunung tidak boleh dihancurkan), Lebak teu meunang di rusak (lembah tidak boleh dirusak), Daratan imahan (di lahan datar dibangun rumah), Legok balongan (daerah cekungan dijadikan kolam), Basisir jagaeun (kawasan pesisir lautan dijaga), Walungan rawateun (sungai dipelihara), Gunung kaian (gunung tumbuhi pepohonan kayu), Gawir awian (tebing tanami bambu) dan Pasir talunan (bukit tanami tanaman campuran tanaman keras) (bandingkan Supriadi 2008: 36). Dari beberapa ungkapan tersebut tersirat bahwa tradisi Orang Sunda di masa silam, pantangan untuk melebur gunung atau merusak lembah. Bahkan, gunung-gunung tersebut harus ditumbuhi pepohonan kayu (dikaian), tebing ditanami bambu (diawian) dan bukit ditanami tanaman keras, dijadikan talun atau ditalunan.
Apa itu talun?. Menurut kamus Sunda-Indonesia yang disusun oleh Satjadibrata (1950), yang dinamakan talun adalah kebun buah-buahan yang pohonnya hidup lama. Sementara itu, menurut Terra (1958) talun dapat diartikan sebagai tataguna lahan darat yang ditanami jenis-jenis tanaman keras yang lokasinya biasanya di sekitar kampung. Sistem talun dapat dikategorikan sebagai agroforestry asli di Tatar Sunda. Agroforestry adalah istilah baru yang diperkenalkan oleh kalangan ahli kehutanan dari Barat pada tahun 1970-an (von Modell 1985). Tetapi, sesungguhnya konsep agroforestry tersebut telah dipraktekan secara turun temurun ribuan tahun lalu di Indonesia, termasuk di Tatar Sunda. Secara umum agroforestry dapat diartikan sebagai suatu sistem tataguna lahan yang ditumbuhi oleh dominan campuran jenis tumbuhan tahunan/keras (perenial crops) dan terdapat pula campuran tanaman semusim (annual crops), sehingga memiliki struktur vegetasi rimbun menyerupai hutan alami. Karena itu, sistem agroforestry memiliki fungsi ekologi seperti fungsi hutan alami, tetapi juga memiliki fungsi sosial ekonomi budaya bagi penduduk.
Pada dasarnya, sistem talun merupakan analogi dengan sistem dukuh lembur di daerah Baduy, Banten Selatan; kaliwo atau kalego di Sumba Barat; repong damar di Krui, Lampung; kaleka di Bangka dan Belitung, Sumatera; pelak di Kerinci Jambi, Sumatera; parak di Maninjau, Sumatera Barat; lembo atau simpukng atau lepu atau pun pulung bue di Kalimantan Timur, dan tembawang di Kalimantan Barat (lihat Iskandar 1998; 2001; 2002; de Forestra dkk 2000; Puri 2005; Sulaiman dan Sancin 2007).
Tatapi, dalam perkembangannya istilah talun tempo dulu di Tatar Sunda, kini kurang dikenal lagi oleh generasi muda di Jawa Barat. Dewasa ini, pada umumnya sistem talun lebih dikenal oleh generasi muda di Tatar Sunda sebagai kebon (kebun) campuran, kebon awi (kebun bambu), kebon tatangkalan (kebun pepohonan) atau pun dudukuhan.
Tulisan ini mendeskripsikan tentang sejarah pembentukan sistem agroforestry talun, pengelolaan dan fungsi talun, serta perubahan dan pengembangan talun di masa datang, demi membantu peningkatan kesehateraan masyarakat perdesaan dan mengurangi gangguan pada hutan.
Pembentukan dan Pengelolaan Talun
Berdasarkan sejarah, sistem talun berkembang dari sistem ladang berpindah atau ladang berotasi (huma) atau swidden cultivation di Tatar Sunda yang dominan dipraktekan penduduk pegunungan Priangan dan Banten hingga akhir abad ke 19. Tetapi, dalam perkembangannya, akibat penduduk kian padat, ekonomi pasar berkembang pesat, kawasan hutan kian sempit, serta pengaruh kuat dari kebijakan pemerintah, maka kini sistem huma hanya ditemukan tinggal sisa-sisanya di P. Jawa, dengan masih dipraktekan dengan adat kuat oleh Masyarakat Kasepuhan, di kawasan G. Halimun, Sukabumi Selatan dan Masyarakat Baduy di kawasan G. Kendeng, Banten Selatan (Iskandar 1998).Sistem huma biasanya dibentuk dari hasil membuka lahan hutan (leuweung). Caranya, pepohonan leuweung ditebang pilih dan semak-semak belukarnya ditebang habis. Sisa-sisa tebangan itu dikeringkan dan dikumpulkan menjadi beberapa onggokan. Lantas, onggokan-onggokan kering tersebut dibakar habis dan menjadi abu, sebagai sumber pupuk organik jenis-jenis tanaman yang ditanam di huma. Pada saat menjelang musim hujan, lahan bekas tebangan tersebut ditugal ditanami aneka ragam varietas padi huma dan jenis-jenis tanaman semusim lainnya, berupa kacang-kacangan, ubi, singkong dan lain-lain. Maka, kini lahan leuweung itu diubah menjadi lahan huma. Usai panen padi dan tanaman semusim lainnya, lahan huma digarap ulang untuk tahun berikutnya atau diistirahatkan (diberakan) cukup lama, karena kesuburan tanahnya telah berkurang. Kemudian, lahan bekas huma yang diberakan tersebut mengalami suksesi vegetasi membentuk lahan hutan sekunder muda (reuma ngora) dan seterusnya berkembang menjadi hutan sekunder tua (reuma kolot). Lahan reuma kolot dapat dibuka kembali menjadi huma, setelah lahan tersebut diberakan lebih dari 3 tahun dan kesuburan tanahnya telah pulih kembali. Kesuburan tanah dapat pulih kembali karena adanya seresah berupa daun-daun dan ranting kering yang jatuh dan membusuk jadi kompos dan sumber unsur hara di permukaan tanah. Sementara itu, sebelum lahan reuma ngora siap digarap ulang, para peladang biasanya pindah menggarap di lahan-lahan reuma kolot di lokasi lainnya yang sudah siap digarap ulang. Maka, terjadilah suatu sistem rotasi penggarapan leuweung dijadikan huma, yaitu reuma kolot-huma-reuma ngora-reuma kolot-huma secara berkelanjutan (Iskandar 1998).
Lantas, di dalam perkembangannya, rotasi sistem huma itu dapat berubah menjadi sistem talun. Terutama apabila lahan bekas huma ditanami oleh jenis-jenis tanaman keras buah-buahan dan tanaman kayu lainnya, serta didirikan suatu kampung baru (babakan) dan berkembang menjadi kampung besar (lembur). Sehingga, sistem rotasi huma tersebut terhenti, sejalan dengan bertambahnya penduduk dan berkurangnya lahan hutan. Tetapi, sistem talun yang struktur vegetasinya rimbun menyerupai hutan alami masih tetap bertahan di berbagai daerah pedesaan Tatar Sunda dengan diadaptasikan secara dinamik dengan berbagai perubahan lingkungan baru.
Kini, berdasarkan pengelolaannya, sistem talun dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu ‘talun permanen’ dan ‘talun non-permanen’. Talun permanen adalah talun yang tidak mengalami rotasi secara periodik tiap tahun. Sementara itu, talun non-permanen adalah talun yang biasa mengalami rotasi tiap tahun, seperti talun bambu. Talun bambu biasanya dibuka dijadikan kebon secara berotasi tiap tahun. Caranya, jenis-jenis tanaman bambu (Gigantochloa apus, Gigantochloa verticillata, Gigantochloa ater, Bambusa vulgaris) ditebang habis dan jenis-jenis pohon lainnya, seperti albasiah (Paraserianthes falcataria), tisuk (Hibiscus macrophyllus), aren (Arenga pinnata) biasanya ditebang pilih atau hanya dipangkas ranting-rantingnya. Sisa-sisa tebangan dibakar dan usai dibakar lahan tersebut ditanami aneka ragam tanam semusim yang dianggap menguntungkan secara ekonomi bagi penduduk. Misalnya, tembakau (Nicotiana tabacum) dan bawang merah (Allium cepa) di daerah Majalaya dan roay (Dolichos lablab) di Soreang dan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Di samping itu, lahan tersebut ditanami pula dengan campuran jenis-jenis tanaman semusim lainnya, seperti leunca (Solanum nigrum), bonteng (Cucumis sativus), surawung (Ocimum basilicum), paria (Momordica charantia), cengek (Capsicum frutescens), jagung (Zea mays), singkong (Manihot esculenta), tomat (Lycopersicon lycopersicum) dan lain-lain. Fase lahan talun yang sedang ditanami jenis-jenis tanaman semusim tersebut biasanya disebut kebon (kebun). Usai pemanenan jenis-jenis tanaman roay dan tanaman semusim lainnya, lahan kebon biasanya ditanami singkong selama 1 tahun atau langsung diberakan. Pada saat lahan diberakan, tunas-tunas bambu, albasiah dan lainnya bekas tebangan mulai tumbuh lagi dari pangkal-pangkal batangnya. Sehingga, lahan tersebut berkembang menjadi fase talun (bambu) muda dan akan bekembang menjadi fase talun (bambu) tua. Selanjutnya, lahan talun (bambu) tua tersebut dapat dijadikan kebon (kebun) lagi, apabila talun (bambu) tersebut telah diberakan lebih dari 3 tahun. Pada saat membuka talun (bambu) tua itu, biasanya para petani dapat memanen pohon-pohon bambu untuk bahan tiang-tiang bambu guna merambat tanaman roay (tuturus roay), bahan pagar kebun, dan sisa batang-batang bambu tersebut juga dijual ke pasar atau para pengrajin bilik bambu di desanya. Sementara itu, usai panen roay, semua bekas tuturus roay dan pagar bambu rusak dijadikan bahan kayu bakar. Sehingga, batang-batang bambu kering tersebut tidak terbuang percuma, namun dapat dimanfaatkan kembali sebagai kayu bakar untuk memasak di dapur. Maka, dalam sistem talun non-permanen, pada umumnya terjadi rotasi: talun-kebun-talun-kebun secara berkelanjutan. Karena itu, sistem talun biasa pula dinamakan sistem talun-kebun. Pada prinsipnya, sistem talun-kebun adalah analogi dengan sistem huma di Jawa Barat. Pada fase talun yaitu analogi dengan fase reuma kolot dan fase kebon analogi dengan huma. Sistem talun-kebun adalah sistem huma yang telah didaptasikan dan dimodifikasikan penduduk desa terhadap lingkungan baru, seperti penduduk yang kian padat dan kondisi ekonomi pasar yang sangat pesat. Misalnya, terjadi proses introduksi dan seleksi jenis-jenis tanaman yang kian ketat dan adanya asupan baru, berupa pupuk kandang dan tambahan pupuk kimia sintesis pada sistem talun yang sedang digarap dalam fase kebun.
Ketahanan Pangan dan Fungsi Ekologi
Pada umumnya sistem talun atau sistem talun-kebun ditanami oleh campuran aneka ragam jenis tanaman. Karena itu, sistem agroforestry asli Urang Sunda tersebut memiliki aneka ragam fungsi sosial ekonomi dan budaya, serta fungsi ekologi serupa dengan fungsi ekologi hutan alami. Fungsi sosial ekonomi talun/talun-kebun, antara lain menghasilkan aneka ragam produksi bahan pangan karbohidrat, buah-buahan, sayuran, bumbu masak, bahan industri, bahan kerajinan tangan, bahan bangunan, dan bahan kayu bakar. Berbagai produksi tanaman tersebut dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (kebutuhan subsisten) penduduk desa dan hasil surplusnya dapat dijual ke para bandar desa atau pasar, untuk menghasilkan uang tunai (kepentingan komersil). Sementara itu, fungsi sosial budaya talun antara lain, beberapa hasil ikutan dari talun, seperti ranting-ranting kayu mati, dapat diambil oleh keluarga lain, tanpa harus memohon izin pada pemiliknya. Sedangkan, fungsi ekologi sistem talun antara lain, berperan penting untuk konservasi keanekaan hayati, penghasil oksigen (O2), menyerap gas pencemar karbon dioksida (CO2), memelihara kesejukan dan keteduhan (iklim mikro), memelihara kesuburan tanah, perlindungan tata-air (hidrologi) suatu DAS, mencegah erosi tanah, longsor tanah, dan sebagai habitat satwa liar, seperti jenis-jenis burung.
Jadi, secara umum talun/talun-kebun berperan penting sebagai sumber aneka ragam tambahan bahan pangan dan penangkal rawan pangan ketika terjadi bencana kekeringan, serta kegunaan ekonomi lainnya bagi masyarakat pedesaan. Di samping itu, juga sekaligus dapat melindungi lingkungan, seperti fungsi-fungsi ekologis yang lazim diberikan oleh hutan. Dengan kata lain, bahwa keberadaan sistem talun di pedesaan Tatar Sunda sangat penting dalam upaya membantu perlindungan lingkungan secara lestari dan dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat desa.
Komersialisasi dan Perubahan Fungsi
Namun, sangat disayangkan bahwa sistem talun di Tatar Sunda kini cenderung kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak terkait. Akibatnya, banyak sistem talun di Tatar Sunda, seperti kasus yang terjadi di beberapa tempat di DAS Citarum Hulu, dialih fungsikan oleh pemilinya jadi kebun sayur komersil. Akibatnya, talun yang rimbun oleh vegetasi bambu dan tanaman keras lainnya, diubah total menjadi kebun sayur terbuka. Kebun sayur tersebut biasanya ditanami oleh jenis-jenis tanaman sayur komersil, seperti bawang daun (Allium fistulosum), wortel (Daucus carota), sawi (Brasicca chinensis), dan lobak (Rhapanus sativus). Konsekuensinya, sistem talun yang biasanya memaksimalkan berbagai sumber asupan dari dalam, berubah harus mendapat berbagai asupan dari luar, seperti benih sayur, pupuk kimia sintesis dan pestisida yang harus dibeli dari pasar. Sementara itu, sebagian besar hasil produksi sayur tersebut juga diperuntukan untuk dijual ke bandar desa atau pun ke pasar. Dampak negatifnya, penduduk desa kini perlu modal besar untuk usaha kebun sayur dan mereka pun kian tergantung pada mekanisme pasar yang tidak ramah. Misalnya, ketika pupuk kimia sintesis dan pestisida langka atau harganya naik, maka sistem produksi sayur petani sangat terganggu. Sementara itu, ketika harga jual sayur merosot di pasar, para petani sayur mengalami kerugian sangat besar. Selain itu, sistem kebun sayur tersebut juga lebih rentan oleh serangan hama dan penyakit. Padahal pada sistem talun, jarang terjadi adanya ledakn hama dan penyakit tanaman. Pengaruh negatif lainnya, hilangnya berbagai fungsi ekologis talun yang menguntungkan secara ekologis bagi lingkungan. Misalnya, karena meningkatnya penggunaan pupuk kimia sintesis dan pestisida, maka telah menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan pada badan air di bagian hilir DAS. Selain itu, akibat berubahnya struktur vegetasi yang rimbun menjadi terbuka, maka ketika turun hujan sangat rawan terhadap bahaya longsor dan erosi tanah. Akibatnya, timbul banjir di bagian hilir DAS dan terjadi sedimentasi pada badan air, seperti sungai dan waduk. Sementara itu, pada musim kemarau terjadi kekeringan berat, karena kurangnya air tanah. Di samping itu, berubahnya struktur vegetasi talun tersebut juga dapat menyebabkan hilangnya habitat aneka ragam satwa liar, hilangnya aneka ragam tanaman lokal, hilangnya keteduhan dan kesejukan, pengurangan produksi oksigen dan penyerap berbagai gas pencemar, serta hilangnya aneka ragam bahan pangan, bahan bumbu masak, bahan kerajinan, bahan obat-obatan tradisional, bahan upacara adat dan bahan lainnya bagi kebutuhan penduduk lokal.
Oleh karena itu, untuk mempertahankan sistem agroforestry talun, maka berbagai upaya perlu dilakukan pemerintah. Misalnya, diberikan disinsentif dan insentif pada sistem agroforestry talun. Pemberian disinsentif antara lain penduduk desa yang mengubah sistem talun menjadi sistem sayur monokutur yang tidak ramah lingkungan. Contohnya, mereka dibebani pajak tanah lebih mahal. Akibatnya, diharapkan penduduk pedesaan tidak berminat untuk mengubah talunnya menjadi sistem pertanian lain yang tidak ramah lingkungan. Sementara itu, bagi penduduk yang tetap mengelola sistem talun diberi berbagai insentif (keuntungan). Contohnya, pemberian keringanan dalam pembayaran pajak tanah. Sehingga, penduduk desa yang mengelola talun diharapkan merasa diuntungkan dan tidak berminat untuk mengalih fungsikan talun menjadi sistem pertanian lain, yang tidak ramah lingkungan. Selain itu, pemberian modal usaha dan pengembangan berbagai industri pedesaan sekala kecil yang memanfaatkan bahan dasar dari produksi talun seyogianya digalakan pemerintah. Contohnya, dikembangkan dan dipromosikannya industri kerajinan tangan dan agroindustri dengan bahan dasar produksi talun, seperti bambu, buah-buahan, dan lain-lain. Upaya pengelolaan talun seyogianya juga dapat diintegrasikan dengan pemeliharaan ternak. Sehingga, dari sistem talun dapat menghasilkan hijauan pakan ternak. Sementara itu, kotoran ternaknya dapat dibuat kompos dan pupuk tanaman di sistem talun, serta sumber energi biogas rumah tangga. Sedangkan, hasil ternaknya dapat dijual untuk menghasilkan uang tunai bagi penduduk desa. Contoh kasus pengelolaan talun di Tatar Sunda tersebut kiranya dapat juga diterapkan secara luas di Indonesia. Namun, tetap harus memperhatikan kesesuaian ekologis lokal dan sosial ekonomi dan budaya setempat, serta partisipasi aktif masyarakat lokal. Sehingga, diharapkan dengan pengelolaan sistem agroforestry talun atau pun sistem agroforestry tradisional asli lainnya di Indonesia, yang menguntungkan secara ekologis dan sosial ekonomi budaya masyarakat, diharapkan dapat mengurangi tekanan penduduk desa terhadap lahan hutan dan kelestarian hutan di Indonesia pun dapat dijaga. Semoga!!!!.
Referensi
de Forestra,H., A.Kusworo, G.Michon dan W.A. Djatmiko, 2000. Ketika Kebun Berupa
Hutan: Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan Masyarakat. Bogor:
International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF).
Iskandar, J. 1998. Swidden Cultivation as a form of cultural identity: the Baduy case.
PhD. Dissertation, University of Kent at Canterbury (tidak dipublikasikan).
Iskandar, J. 2001. Manusia Budaya dan Lingkungan: Kajian Ekologi Manusia. Bandung:
Humaniora Utama Press.
Iskandar, J.2002. Orang Dayak dan Pengelolaan Lembo di Kutai Barat, Kalimantan
Timur. Bandung: Habitat (2): 10.
Puri, R.K. 2005. Deadly Dances in the Bornean Rainforest: Hunting Knowledge of the
Penan Benalui. Leiden: KITLV Press.
Satjadibrata, R.1950. Kamoes Soenda-Indonesia. Djakarta: Balai Poestaka.
Sulaiman.S dan I. Sancin, 2007. Mengulas Tanah Adat Bangka Belitung Masyarakat
Yang Tak Beradat. Pangkal Pinang: Bangka Pos, 16/9/2007.
Supriadi, D. 2008. Menuju Pembangunan Kawasan Lindung 45 %. Bandung: Suara
Berita Liputan Rimbawan Jawa Barat Surili, vol 44 (1): 36-42.
Terra, 1958. Farm Systems in South-East Asia. The Netherlands Journal of Agricultural
Science (6) 3:1157-182.
Von Modell, H.J. 1985. The Contribution of Agroforestry to Ward Agroforestry
Development. Agroforestry Systems 3 (2): 83-90.
16 komentar:
pola pengambilan keputusan di desa mio TTS.
yang paling cocok untuk dimasukan atau dipelihara ternak adalah debit air. Karena ditempat tersebut terdapat air dan pakan yang tersediah. Pakannya bisa didapat dari limbah sawah, limbah sayuran,dan hasil dari ladang.
Disamping itu feses dari ternak dapat dipakai sebagai pupuk organik untuk tanaman sayuran dan tanaman yang ada di ladang.
nama venidora tael
nim 0605020016
tempat atau daerah yang cocok untuk memelihara ternak yaitu dekat sumber air agar dapat atau mudah mendapatkan bahan pakan untuk ternak yang berasal dari sawah sisa dari hasil panen bahan pangan tersebut.dan juga bisa di dapatkan dari limbah sayuran serta hasil ladang.ternak tersebut tidak hanya membutukan bahan pakan namun juga memerlukan air.dan feses ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
nama ;juanita s amtiran
nim :0605020026
ternak cocok di pelihara atau dimasukan didaerah dekat sumber air sebagai komponen utama.air sangat penting untuk manusia,hewan dan tumbuh-tumbuhan.ternak cocok ditempat tersebut karena banyak tersedia bahan pakan yang didapat dari sawah,ladang,tegalan dan sayuran khususnya limbah.selain itu feses dari ternak juga dapat digunakan sebagai pupuk untuk tanaman sayuran,tanaman ladang,dan untuk pakan ternak yang membutuhkan pupuk.
nama ;juanita s amtiran
nim :0605020026
ternak cocok di pelihara atau dimasukan didaerah dekat sumber air sebagai komponen utama.air sangat penting untuk manusia,hewan dan tumbuh-tumbuhan.ternak cocok ditempat tersebut karena banyak tersedia bahan pakan yang didapat dari sawah,ladang,tegalan dan sayuran khususnya limbah.selain itu feses dari ternak juga dapat digunakan sebagai pupuk untuk tanaman sayuran,tanaman ladang,dan untuk pakan ternak yang membutuhkan pupuk.
pola pengambilan keputusan petani peternak di desa Mio TTS
Keputusan yang cocok adalah ternak dimasukan atau dipelihara didekat air. Air adalah komponen utama bagi kehidupan makluk hidup. Pada debit atau air yang tersedia petani aka cenderung untuk membuka areal persawahan.jika airnya tidak cukup petani akan membuka kebun sayur dan ladang. Dengan demikian maka dengan sendirinya ternak akan mendapat pakan dari sawah berupa jerami padi dan tentunya ada rumput liar atau rumput alam yang tumbuh diareal persawahan. Dan juga limbah dari sayur-sayuran dan dari ladang dapat diberikan pada ternak sebagai pakan.
Kotoran atau feses ternak secara langsung dapat memberikan keuntungan atau manfaat bagi tanah persawahan ladang dan kebun sayur yakni sebagai pupuk organik yang dapat menyuburkan tanah.
Input – Output Rumah Tangga Petani peternak di desa Mio TTS
Berdasarkan bagan yang telah diamati maka dapat di tentukan ouput dan inputnya dari komponen yang ada sebagai berikut:
1. Hutan Lindung
Intput dari hutan lindung dapat berupa : kayu bakar, kayu bangunan dan pakan ternak yaitu dedaunan dari pohon di hutan serta mengurang erosi diwaktu hujan dan sumber pupuk organik.
Sedangkan outputnya adalah tenaga kerja yang mengelola dan menjaga hutan.
2. Ternak sapi
Inputnya adalah dapat berupa daging, susu dan hasil ikutannya,yang dapat dijadikan bahan makanan.Dari segi investasi dapat dijadikan tabungan,buffering dan prestise.Juga sebagai tenaga kerja untuk bajak sawah, sebagai sumber energi biogas dan pupuk organic dari kotorannya.
Sedangkan outputnya adalah tenaga kerja dan modal.
3 Padang Pengembalaan
Input : Rumput sebagi pakan ternak
4. Hutan
Input : Kayu baker, kayu bangunan dan pakan ternak. Juga hutan dapat mengurangi erosi pada saat hujan dan daun – daun yang gugur dapat menjadi pupuk organik.
5. Sawah
Input : Sumber beras ( padi ) dan juga pakan ternak dari jerami padi. Dari investasi dapat menjadi tabungan, penyangga.
Output : Tenaga kerja dan modal
6. Pasar
Input : Sumber keuangan dengan dijualnya hasil – hasil yang ada.
Output : Ternak,hasil sawah, pekarangan dan hasil ladang yaitu padi, jagung, ubi - ubian, kacang – kacangan, kayu dan tanaman hias.
7. Pekarangan
Input : Tanaman hias yang dapat memperindah pemandangan di halaman rumah.
Output : Tenaga kerja dan modal
8. Tegalan / Ladang
Input : Tanaman pangan dan palawija
Output : Tenaga kerja dan modal
Sapi dengan berat badan : 200Kg
Dengan status : Penggemukan
Kebutuhan : Bahan kering : 6Kg (3% dari BB)
Protein kasar : 18%
Bahan Pakan yang tersedia:
Bahan Pakan Bahan kering (%) Protein Kasar (%)
Rumput alam 24,4 8,2
Daun Lamtoro 24,3 24,2
Perhitungan
R- alam 8,2 6,2 6,2/16*100% = 38,75%
D- lamtoro 24,2 9,8 9,8/16*100% = 61,25%
16
100%
Bahan yang diperlukan Berat kering Berat segar
Rumput alam 38,75% * 6000gr 2325gr = 100/24,4 * 2325
= 9528,7gr
= 9,5287 Kg
Daun lamtoro61,25% * 6000gr 3675gr = 100/24,8 * 3675
= 14818,5gr
= 14,8185Kg
Buktikan lah : Apakah Ransum mengandung 18% PK???
R- alam : 2325gr : 8,2/100 * 2325 = 190,65gr
D- lamtoro : 3675gr : 24,2/100 * 3675 = 889,35gr +
1080 gr
Kandungan PK ransom campuran R-alam dan D- lamtoro :
1080gr/6000 x 100% = 18%
TERBUKTI............
nama :agustina sia
nim: 0505021206
luas lahan daratan NTT kurang lebih 4,7 juta ha.
pemanfaatan citra landasan 2007: tidak kritis (1,2%);kritis (6,5%);agak kritis (12,5%); sangat kritis(30%0.
ada 3 daerah kawasan agroforestri: daerah terlarang,daerah usaha, dan tempat tinggal.
dari hasil penelitian Riwu Kaho, bahwa perlakuan tersebut yang paling paluing baik adalah perlakuan yang kelima karena dapat ditanam jagung, kemudian dapat ditebas untuk penanaman kacang tanah, dapat digunakan pupuk kandang (feses ternak)dan pupuk buatan untuk kebutuhan ternak.
nama : helena medho
nim : 0605020017
dari materi hari ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
dari hasil survei bahwa didaerah NTT ini memiliki luas lahan daratan yaitu kurag lebih 4,7 juta hektar.lahan dapat dibagi dalam beberapa bagian yaitu lahan tidak kritis (1,2%),lahan kritis (6,5%), agak kritis (12,5%), kritis (30%),sangat kritia (50%).penyebab utama lahan kritia adalah dipengaruhi oleh api, dimana ada karena budaya,peternakan,perladangan dan ada karena hobi, serta dipengaruhi oleh sapi,dimana terjadinya overgrazing (jumlah ternak lebih dari lahan yang tersedia) dan terjadinya undergrazing (jumlah ternak kurang dari lahan yang tersedia).didaerah hutan dibagi dalam 3 bagian yaitu :daerah terlarang (10-15% deep forest sebagai tempat ternak untuk bertaduh saja),daerah usaha (membuka lahan pertanian dan juga memelihara ternak), daerah tempat tinggal (sebagai tempat tinggal manusia dan sekaligis membuka lahan pertanian dan memelihara TERNAK.menurut hasil penelitian Riwu Kaho bahwa dari keenam perlakuan yang diteliti dapat disimpulkan bahwa perlakuan kelima adalah yang terbaik dimana pada sutu lahan ditanami jagung kemudian ditebas bakat kemudian ditanami lagi kacang tanah serta untuk menyuburkan tanahnya diberi pupuk kandang dan juga pupuk buatan sehingga hasilnya memuaskan yang dapat dipergunakan oleh manusia dan juga sebagai pakan ternak juga.
Keuntungan sistim Agroforestri dalam mencapai produk ternak dan mengurangi resiko kerusakan lahan.
Luas lahan ,daratan NTT ± 4,7 juta ha.
Lahan dibagi :
Lahan kritis 12 %
Terancam kritis 6,5%
Agak kritis 12,5%
Kritis 30%
Sangat kritis 50%
2 sebab kerusakan hutan :
1.Api
2.sapi
Dalam sistem agroforensti kita bias dapat : ternak, kayu bakar, pakan, kondisi lahan yang lebih bagus dan lain sebagainya yang berhubungan dengan agroforestik
Daerah terlarang
Daerah usaha
Tempat tinggal
P0 = jagung monokultur + tebas bakak = 2,12 kg/ha = A
P1 = jagung + k.tanah + tebas bakak = 2,56 kg/ha = B
P1 = jagung+ tebas bakak + k.tanah = 4,25kg/ha = C
P1 = jagung+ tebas bakak + k.tanah + ppk kandang = 3,55kg/ha = BC
P1 = jagung+ tebas bakak + k.tanah + ppk toko = 4,65kg/ha = C
P1 = jagung+ tebas bakak + k.tanah + ppk took+ ppk kandang = 5,78kg/ha = D
nama :juanita amtiran
nim :0605020026
* Luas lahan daerah dataran NNT 4,7juta ha.
*Pendapat citra landsat 2007,lahan dibagi menjadi:
-tidak kritis 1,2%
-terancam kritis 6,5%
-agak kritis 12,5%
-kritis 30%
-sangat kritis 50%
Ada 2 sebab utama kerusakan lahan yaitu:
-Api ada karena buda
ya,perladangan,peternakan,konflik,hobi,berburu.
-sapi;overgrazing dn undergrazing.
Dari Enam perlakuan yang lebih baik yaitu P5.
pada pemanfaatan sistem agroforestri ini keuntungannya jagung,pakan ternak,kayu bakar dan lingkungan yang baik.
nama:venidora tael
nim:0605020016
luas lahan daratan NTT 4,7 juta hektar.
kondisi lahan menurut citra landsat 2007,yaitu:
1.lahan tidak kritis
2.terancam kritis
3.agak kritis
4.kritis
5.sangat kritis
dua penyebab utama kerusakan lahan:
- api *ada karena budaya,peternakan,dan karena hob.
- sapi *overgrazing jumlah ternak melebihi daya tampung.
*undergrazing,jumlah ternak kurang dari daya tampung yang tersedia.
1,8 juta hutan -luar kawasan
-dalam kawasan
daerah hutan dibagi dalam 3 bagian yaitu:*daerah terlarang
*daerah usaha
*daerah tempat tinggal
dari 6 percobaan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada percobaan 6 telah mendapatkan hasil yang baik serta dari sistem ini dapat menekan terjadinya lahan yang kritis serta hasil produksi yabg maksimal.
Keuntungan System Agroforestri Dalam Mencapai Produksi Ternak dan Mengurangi Resiko Kerusakan Lahan
Luas daratan NTT mencapai 4,7 juta Ha, terdiri dari lahan yang tidak kritis 12 %, terancam kritis 6,5 %, agak kritis 12,5 %, kritis 30 %, dan sangat kritis 50 %.Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lahan kritis NTT dapat mencapai 92,5 %.
Kerusakan lahan kritis aakan terjadi dengan mudah, penyebabnya adalah karena api dan sapi. Api dapat membakar lahan, kebakaran dapat terjadi secara alami, karena budaya, system perladangan, hobi dan kesengajaan. Kerusakan oleh sapi atau ternak dapat terjadi karena adanya over grazing.
Dari 4,7 juta lahan, 1,8 adalah hutan. Hutan terdiri dari deepforest dan openforest, pada area deepforest terdapat daerah terlarang, daerah usaha dan daerah tempat tinggal. Pada daerah terlarang, ternak tidak bisa digembalakan, karena hanya terdiri dari pepohonan dan hanya dimanfaatkan untuk berteduh.
Dengan demikian maka, solusi atau cara yang dapat dilakukan agar ternak dapat di inetgrasikan kedaam system agroforestri menurut penelitian Mikhel, 2003 adalah pada daerah usaha ( aktivitation space ) lahan di tanam jagung, kacang tanah yang diberi pupuk kandang dan pupuk buatan dengan system tebas bakar dapat menghasilkan 5,78 ton/ ha pangan. Dan juga dapat dibuat system pagar hidup yang didalamnya terdapat tanaman pangan dan rumput-rumputan, yang didekatnya juga terdapat kandang ternak. Ternak dilepaskan dan saat-saat tertentu atau pada sore hari ternak dapat juga diberikan pakan dari daerah pagar hidup dan daerah usaha. System ini dapat memberikan kontribusi daya tampung sebesar 2,2 Ui/ha dan dan dapat meningkatkan PBB 100 gram/hari. Dengan demikian maka system agroforestri dapat meningkatkan produksi ternak dan mengurangi resiko kerusakkan lahan.
Nama : Isran
NIM : 0805022834
Semester : IV
1. Input
Membicarakan mengenai input, bagaimana kita memberikan tindakan atau sejenis sentuhan kepada ternak untuk menghasilkan produksi yang maksimal, seperti pemberian ransum kepada ternak.
2. Proses
Pakan yang dibeikan kepada ternak akan dimanfaatkan untuk proses produksi, yang menjadi pertanyaan apa ternak yang kita berikan pakan dapat mencerna pakan itu dengan baik atau pakan yang kita berikan sesuai dengan kebutuhan ternak.
3. Output
Membicarakan tentang output sama halnya membicrakan tentang hasil dan merupakan akibat dari input dan output. setelah kita menghsilkan output yang menjadi pertnyaan apa hasil ternak yanhg kita hasilkan sesuai dengan yang kita harapkan. oleh karena kita harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ternak, seperti pakan, lingkungan, kesehatan dan lani-lainya.
Mampir Pak
Numpang Lewat
http://enimnet51.blogspot.com/
Hey
visiting this blog is our real pleasure. Should like to thank admin for sharing such a useful information and starting this thread in addition to that we suggest traders not to panic when Nifty is in profit booking state. Investors and traders should understand that in volatile stock market conditions they should switch to swing trading.
Good Day
Posting Komentar