Pengantar Redaksi
Mengisi Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni tahun ini, Harian
Umum Pos Kupang bekerja sama dengan Forum DAS NTT didukung Sekber Kerja
sama Antar Daerah-Divisi Lingkungan Hidup/DAS menggelar diskusi, Sabtu
(4/6/2011) lalu, di Kantor Redaksi Pos Kupang. Diskusi terbatas dengan
moderator Redpel Pos Kupang, Tony Kleden, itu menghadirkan Dr. Ir. Ludji
Michael Riwu Kaho, M.Si, membahas draft buku yang akan diterbitkan
Riwu Kaho berjudul “Ekologi Savana Kepulauan di Zona Tropika Semi Arid,
Indonesia (Tipikal, Pemanfaatan dan Pengelolaan)”. Berikut catatan lepas
dari diskusi itu.
SABTU pagi itu (4/6/2011) jam nyaris mendekat angka 10.00 Wita di
ruang rapat re-daksi Pos Kupang. Para peser-ta diskusi sudah gelisah
me-nunggu kedatangan sang na-rasumber yang akan menyam-paikan materi.
Kegelisahan para peserta akhirnya terobati setelah sang ilmuwan Dr. Ir
Ludji Michael Riwu Kaho, M.Si, dengan tergopoh-gopoh masuk ke ruang
rapat redaksi sambil menenteng tas laptopnya.
Kegelisahan rupanya tak ha-nya menyelimuti para peserta diskusi.
Doktor Riwu Kaho, kepada peserta diskusi juga menumpahkan kegelisahannya
terhadap berbagai perubahan alam yang terjadi di NTT dalam beberapa
tahun terakhir. Kegelisahan sang doktor itu terasa ‘nyam-bung’ dengan
isi bukunya yang jadi bahan diskusi hari itu.
“Saya beruntung punya pintu. Sebelumnya saya selalu terjebak pada
rutinitas dari mimbar ke mimbar dan bicara ilmiah dan membaca buku. Kami
lupa hal-hal di luar kampus yang membutuhkan kehadiran kami. Kalaupun
ada, dunia kampus identik dengan pemrakarsa amdal. Banyak sekali
proyek-proyek itu diklaim apa pun kerusakannya, di balik itu ada orang
kampus. Dan persoalan itu membuat saya sangat terbebani. Pertemuan ini
adalah buah dari apa saya katakan saya punya pintu. Saya kira bukan
desain saja. Tetapi desain dari Tuhan untuk kita berpikir, bekerja dan
berbagi semua pihak,” ujar Riwu Kaho saat bercuap-cuap tentang buku
besarnya itu.
Menurut Riwu Kaho, judul “Ekologi Savana” yang dikarangnya masih
calon buku. Saat ini ia sedang merekonstruksi bab tambahan tentang
aspek-aspek aksiologinya. Di buku pada ringkasan baru muncul satu
pengelolaan savana sebagai sumber daya perumputan. Ia harus menambahkan
aspek kehutanan, pertanian lahan kering dan bagaimana savana pada isu
lingkungan kontemporer seperti perubahan iklim, penggurunan lalu
pengolahan das, keanekaragaman hayati dan sebagainya.
Ketertarikannya menulis buku tentang savana bukan tidak ada sebab.
Selain mengisi kekosongan referensi tentang savana, juga karena masih
ada salah paham tentang savana. Ketika bicara savana, asosiasinya selalu
dihubungkan dengan peternak-an. Hal itu wajar lantaran kata savana
pertama kali diucapkan orang-orang Karibia dengan istilah cavena pada
abad 16 M saat ditanya orang Spanyol. “Mereka katakan cavena. Suatu
dataran yang ada rumput dan pohon bersebaran di dalamnya, lalu digunakan
ternak sebagai tempat perumputan. Kesan itu masih begitu kuat,”
tandasnya.
Namun dalam percakapan dan diskusi-diskusi ilmiah sa-vana tidak
sesederhana kesan awalnya. Savana berkembang lebih luas dari
batasan-batasan itu. Perkembangan itu menjadi alasan mendesak bagi Riwu
Kaho menulis buku tentang savana. Apalagi kajian spesifik yang membahas
savana di Indonesia nyaris tidak ada. Padahal kalau dilihat dengan jeli,
savana adalah sumber daya alam terluas kedua di Indonesia. Data tahun 1986, dari 200-an juta hektar daratan di Indonesia luas
hutan mencapai 137 juta hingga 140 juta hektar. Sedangkan savana
memiliki luas 21 juta hektar. Lima belas tahun kemudian, savana
meningkat pesat menjadi 26 juta hektar di Indonesia. Meluasnya areal
savana bukan tanpa alasan. Dalam ilmu pengetahuan sintesa klimaks
vegetasi, ketika hutan diubah maka akan turun satu tingkat menjadi
savana, satu tingkat di bawah savana adalah padang rumput, satu tingkat
di bawah itu semi gurun, dan di bawah itu gurun.
Dari data tahun 2007, jelas Riwu Kaho, NTT menempati urutan pertama
dalam urusan proses penggurunan, kemudi-an disusul NTB dan Sulawesi
Tengah. “Alasannya praktis, sekitar 80 persen lahan di NTT
teridentifikasi sebagai lahan kritis,” kata Riwu Kaho. Fakta itu
menjadikan pemerintah berupaya mencari solusi dengan rehabilitasi. Dan
yang dipikirkan bagaimana menanam pohon sebanyak-banyaknya. Namun tidak
dipertimbangkan dengan kondisi lahan yang ada. “Belum dipahaminya kondisi tersebut dikhawatirkan terjadi salah
mengalokasikan sumber daya dan sumber dana yang boros. Saya kira pada
banyak kesempatan gubernur menyatakan kalau total luas lahan yang kita
hijaukan sebenarnya sudah sampai ke laut. Mestinya ada pertanyaan
baliknya, sudah tepatkah strategi kita berkehutanan? Sudah tepatkah
strategi kita melakukan rehabilitasi? Jangan kita pikirkan lahan kosong
itu dulu hutan, dan kita paksakan menanam sesuatu di sana yang tidak
sesuai dengan sifat-sifat lingkungan aslinya,” kata Riwu Kaho.
Padahal kalau teorinya benar bahwa ada 3,5 juta hektar savana di NTT,
mestinya NTT berjaya. Berjaya karena pemahaman yang benar akan
menghasilkan pendekatan yang benar. Dari sifat geologi di tanah yang
aluvial, misalnya, pendekatan seperti apa, di tanah mediterian
pendekatan seperti apa, pohon apa dan jenis apa. Persoalan ketika
berproyek, pohonnya, tanahnya, dan cara mengolahnya sudah diputuskan
dari Jakarta yang tidak boleh diubah.
Bukan hanya persoalan pe-mahaman, data luas hutan di NTT juga
menjadi ujung per-soalan. Data Dinas Kehutanan menyebutkan luas hutan di
NTT sekitar 1,8 juta hektar. Namun luas kawasan yang benar-benar
berpenutupan pohon tidak seluas itu. Angka itu hasil pendataan kawasan
hutan di NTT berdasarkan penggunaannya di masa lalu, termasuk
batas-batas peninggalan kolonial. Sementara data lain menyebutkan luas
hutan sekitar 954 ribu hektar, non hutan 3,27 hektar, savana 793 ribu
hektar. Ketika ditelusuri apa itu savana dipahami lahan kosong yang
tidak diusahakan. Riwu Kaho berani mengklaim bahwa dari hitungan-hitungannya, luas
savana di NTT antara 3-3,5 juta hektar dibandingkan dengan luas NTT
seluas 4,7 juta hektar. Luas itu menunjukkan savana sangat dominan di
NTT. “Saya berang-kat dari definisi savana adalah padang rumput
berpohon-pohon dengan fungsi sebagai padang rumput, sumber lahan kering
dan sebagainya. Itu posisi saya. Lalu savana dalam prosesnya, mengapa
saya begitu yakin savana sangat dominan di NTT. Pertama karena teorinya
savana adalah vegetasi intermediate, yakni campuran antara hutan dan
padang rumput. Faktor penentunya iklim, tanah, biotik dan interaksi di
dalamnya menjadi co factor. Kalau itu maka savana penampakan di NTT
tidak harus ramah. Savana tidak harus dipahami sebagai Sumba, Timor
saja,” tandas Riwu Kaho.
Karena savana menjadi faktor yang sangat dominan, maka kata Riwu Kaho, savana harus dibumikan di NTT. Perlu dibumikan agar tidak lagi ada kekeliruan menganggarkan dana untuk pembangunan.
1 komentar:
untuk mahasiwa fapet mk tatalaksana pastur:
1. baca posting ini secara saksama; Baca juga artikel lain tentang padang rumput, savana dan yang seejenisnya dalam blog ini.
2. Jawab pertanyaan ini:
2.1. apa persamaan dan perbedaan pastura dan savana;
2.2. faktor apa yang menjadi alasan begitu luasnya komunitas savana di NTT;
2.3. Dalam data UNCCD (2007) disebutkan bahwa NTT terancam proses penggurunan; Bagaimana mengkaitkan proses penggurunan dengan peternakan lepas dan kebakaran lahan. Bagaimana mengendalikannya?
3, Tiap-tiap orang menjawab dan mengumpulkannya pada kuliah tatap muka ke VIII
Posting Komentar