POKOK TATALAKSANA PADANG RUMPUT/PADANG
PENGGEMBALAAN
by Dr. Ir. L. Michael Riwu Kaho, M.Si
by Dr. Ir. L. Michael Riwu Kaho, M.Si
Solusi
Berbasis Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Produktivitas padang savana yang ada umumnya
terkendala oleh rendahnya kualitas range savana seperti yang tergambar dari
rendahnya produktivitas hijauan asli
yang dikuti oleh rendahnya nilai nutrisi.
Dalam keadaan demikian selalu terjadi diskontinyutas suplai hijauan yang
bermutu sepanjang tahun. Pada musim
kering ternak selalu kehilangan bobot badan. Karena keadaan ini telah berjalan menahun maka dampak berikutnya adalah
terjadinya penurunan kualitas produski ternak, terganggunya potensi reproduksi
ternak dan sebagai muara dari persoalan ini adalah stagnan atau bahkan
menurunnya populasi ternak yang di pelihara di savana.
Jelantik (2001) yang meneliti prestasi produksi
sapi Bali di savana Timor Barat guna
penyusunan strategi suplementasi melaporkan bahwa tingginya kematian pedet terutama
karena mereka tidak mendapat air susu yang cukup oleh induknya karena
kelahirannya jatuh ditengah musim paceklik pakan. Dalam keadaan demikian sapi
induk tidak cukup mendapatkan asupan protein dan nitrogen yang cukup. Dari frase pernyataan Jelantik di atas maka
ada 3 pilihan untuk pengembangan peternakan di Timor atau di NTT atau bahkan di
seluruh daerah yang memiliki padang rumput savana dengan corak
pastoralisme. Pertama, perbaiki
mutu ternak lewat strategi perbaikan genetik ternak. Tentang hal ini maka Hattu (1987) melaporkan
bahwa sapi hasil IB di daerah Binel setelah 2 tahun berada di lapangan akan
memiliki prestasi produksi yang tidak nyata bedanya dengan sapi asli. Kedua,
memperbaiki siklus birahi, masa kawin dan masa melahirkan. Diharapkan pedet dapat lahir di tengah musim
basah atau pada akhir musim hujan.
Jelantik mengisyaratkan bahwa strategi ini pun akan terkendala oleh
status gizi dari pakan. Ketiga, memperbaiki ketersediaan pakan yang
bermutu. Sementara banyak pakar bersetuju dengan strategi ketiga ini (Hattu,
1987; Rubino, 1989; Salean, 1999 dan Jelantik, 2001) pertanyaan derivasinya
adalah strategi perbaikan pakan seperti apa.
Jawaban kemudian akan berpencaran dalam spektrum yang luas mulai dari
startegi pengawetan (konservasi) pakan
yang berlebih pada musim hujan, suplementasi, perbaikan manajeman pemeilharaan
dengan cara perkandangan, perbaikan mutu hijauan pakan dalam pola protein bank
dan kebun-kebun bibit. Pilihan terhadap
pilihan tersebut sah dan rasional menurut perspektif masing.masing.
Dewasa ini solusi masalah di dalam pembangunan
pertanian yang berwawasan lingkungan terususun di dalam paradigma pembangunan
berkelanjutan. Paradigma ini bertumpu
pada prinsip-prisip dasar pembangunan yang mempertimbangkan tampilan agro-ekositem secara proporsional di antara aspek-aspek
produktivitas, keberlanjutan, stabilitas dan kemerataan (Sajise, 1997). Dengan
demikian maka orientasi pembangunan tidak semata kearah nilai-nilai ekonomi
tetapi juga aspek ekologis. Selanjutnya
Keraf (2002) dalam uraiannya tentang etika lingkungan menyatakan bahwa
pembangunan yang bertumpu kepada pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan
hendaknya tidak semata di arahkan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi belaka
yang bersifat tangible. Harus ada
pertimbangan faktor-faktor lain yang bersifat intangible dan mungkin
sulit di hitung nilai ekonomisnya.
Contoh di dalam persoalan peternakan di NTT adalah seperti yang di
kemukakan oleh Salean (1999) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang
menyebabkan penurunan populasi sapi Bali di Timor adalah terindikasinya sapi
betina bunting yang ikut diantar pulaukan.
Demi pertimbangan ekonomi maka aspek biodiversity diabaikan.
Bahkan menurut prinsip deep ecology yaitu suatu paradigma etika
lingkungan yang memandang bahwa makhluk hidup di luar manusia sesungguhnya
memiliki nilai yang sama dengan manusia.
Oleh karena itu ada pelanggaran etika yang luar biasa ketika hak
populasi sapi untuk berkembang di hilangkan begitu saja dengan penjualan
induk betina bunting tadi.
Perihal paradigma deep ecology seperti
yang dikemukakan tadi mungkin akan memancing perdebatan yang sangat
panjang. Akan tetapi ketika solusi bagi
masalah pengembangan peternakan di Timor Barat ingin di temukan dan
diaplikasikan maka variabel peternak
tradisional perlu di pertumbangkan sangat.
Beberapa kondisi obyektif masyarakat berikut ini perlku di
pertimbangakan :
1. Masyarakat Timor Barat memandang
kepemilikan ternak bukan semata nilai ekonominya. Ada persoalan status sosial dan budaya yang
melekat dalam kepemilikan dimaksud.
Melepas ternak di padang bukan semata untuk mendapat uang tetapi ada
kebutuhan untuk mengekspresikan kebangaan sosial (exhibitionism).
2. Sektor ternak bukan merupakan usaha
utama walaupun bukan pula yang tidak penting. Sektor peternakan hanya salah satu di antara 3
hal yang setara yaitu tanaman pangan, ternak dan hutan. Kesadaran ekologis
petani savana di Timor Barat membuat segala tindakan mereka di dalam
mengeksploitasi savana harus dilihat secara holistik. Tidak partikular,
sektoral atau parsial. Melepas ternak untuk merumput tidak semata untuk
mendapat hasil daging tetapi juga untuk memberi pupuk bagi tanah atau guna
mengurangi bahan bakar sehingga jika terjadi kebakaran tidak terlau dahsyat. Kasus lain adalah gagalnya masyarakat
mengaplikasi model konservasi hijauan seperti hay, silase atau amoniasi di
Timor padahal telah di suluhkan selama bertahun-tahun. Penyebabnya sepele, yaitu masyarakat enggan
membuat hay atau silase karena saat pembuatan konservasi pakan (disaat musim hujan) bersamaan dengan saat petani berkebun (Riwu
Kaho, 2000). Mereka lebih
memprioritaskan pengejaan ladang dan kebun mereka karena sapi dianggap dapat
mencari sendiri pakannya. Terlebih pada
saat musim basah. Hijauan berlimpah.
3. Data Bamualim dkk. (1994) tentang 4
pola umum pemeliharaan ternak baik yang bersifat semi-intensif maupun
ekstensif. Semuanya melibatkan padang
rumput. Padahal daerah survay adalah daerah
yang terkena proyek peningkatan produksi dan kesehatan ternak dengan syarat
ternak harus dikandangkan. Naluri
pastoralisme tetap saja kuat dan mengemuka.
Memperhatikan kondisi obyektif di atas maka
pilihan untuk mengembangkan savana sebagai bagian utama dari strategi perbaikan
pakan menjadi paling rasional.
Pendekatan ini sudah barang tentu jika
dilihat dari kepentingan peternakan harus merupakan pilihan untuk
menjamin suplai hijauan yang kontinyu baik kualitas maupun kuantitas sepanjang
tahun sekaligus memperbaiki daya dukung padang penggembalaan yang ada. Upaya yang berbasis savana ini juga harus di
dalam kerangka paradigma pembangunan pertaniuan berkelanjutan yang dikemukakan
oleh Sajise (1997) berikut ini : ramah lingkungan, produktif, ekonomis, dapat
diteima secara budaya, berorientasi biodiversitas, memenuhi kebutuhan masyarakat
dengan jalan menjamin kemerataan, berprinsip ketahanan dan menekan resiko,
membangkitkan semangat partisipasi masyarakat dan didasarkan atas rekomendasi
ilmu pengetahuan. Dalam kerangka pikir
seperti ini maka pilihan untuk mengembangkan peternakan terutama ternak sapi di
Timor Barat harus berbasis savana sebagai rangeland yang bukan saja akan
menghasilkan produk ternak tetapi juga selaras dengan kebutuhan lain dari
petani savana di Timor secara holistik.
Pasture Improvemet Dengan Pendekatan Rangeland
Management
Savana, misalnya di Timor Barat, dapat di
pandang sebagai rangeland.
Pengandaian ini sangat penting karena walaupun yang ingin di kembangkan
adalah savana secara keseluruhan akan tetapi ternak akan menjadi fokus
perhatian utamanya. Hollecheck et al.
(1989) meyatakan bahwa pada hakekatnya pemeliharaan ternak di atas rangeland
merupakan usaha untuk mengubah energi dan nutrisi dari bentuk yang tidak dapat
dikonsumsi manusia dan tidak dapat dapat
dicerna menjadi bahan makanan yang dapat dikonsumsi oleh manusia baik untuk
tujuan subsistensi maupun tujuan ekonomi lainnya. Proses konversi ini pertama-tama dilakukan
oleh komponen autotrof dalam ekosistem yang kemudian komponen produsen ini akan
berfungsi sebagai sumber pakan (Source) bagi komponen konsumen (sink). Proses
pengubahan dimaksud berjalan melalui tingkat trofik rumput (produsen)------->
Herbivora (konsumen I) -------->
Konsumen II (manusia). Selanjutnya
penyusunan formulasi dari prinsip ini adalah Produktivitas = Fotosintesis –
Kerja – Limbah.
Jika komponen foto sintesis ingin ditingkatkan
maka perbaikan terhadap produktivitas komponen hijauan padang savana menjadi
urgen. Dalam kerangka pendekatan holistik lintas sektoral maka guna
meningkatkan hasil dan efisiensi fotosintesis (produksi primer bersih), yang
bermakna bahwa produktivitas komponen hijauan ditingkatkan, dapat dilakukan dalam pola-pola terpadu
dengan sub-sektor pertanian dan kehutanan. Model seperti sistem agroforestri
dapat dipertimbangkan. Sementara itu
mengurangi kerja dapat dilakukan melaui pengaturan sistim penggembalaan yang
dengan demikan dapat membatasi areal jelajah ternak. Sementara itu strategi untuk mengurangi
limbah dapat dikerjakan lewat upaya menaikkan tingkat kecernaan.
Memberi input pakan yang bermutu dan strategi
suplementasi merupakan cara ke arah itu. Nullik dan Bamualim (1998, mengutip
Minson, 1980) megetengahkan formulasi sebagai berikut : NE = I x D x E,
dimana NE adalah energi bersih untuk pertumbuhan ternak yang ditentukan oleh I
(intake) apa yang dimakan ternak, D (digestibility) yaitu apa yang dapat
dicerna oleh ternak dan E yaitu efisiensi pakan. Dalam pengertian praktisnya adalah apa yang
dimakan tergantung kepada struktur hijauan, umur tanaman, jenis tanaman, rasio
daun batang serta kandungan makro dan mikro pakan. Selanjutnya secara agronomis sebua teori
klasik tentang prinsip rangeland manajemen (Harlan, 1959) mendiskripsikan
butir-butir rangeland management terdiri atas pengendalian kesuburan
tanah, pengendalain vegetasi dan pengendalian ternak.
Berikut akan diajukan beberapa alternatif pasture
improvement berdasarkan pendekatan
rangeland management :
I. Pengendalian Vegetasi
Tujuan dari pengendalian vegetasi ada 2 yaitu pertama,
meningkatkan produksi hijauan pakan persatuan luas lahan dan kedua,
mempertahankan struktur savana agar dalam suksesinya tidak berkembang menuju
klimaks yang tidak sesuai sebagai daerah range.
I.1. Introduksi rumput unggul dan leguminosa
Tindakan ini diperlukan guna :
§ Mengatasi diskontinyutas supali pakan
bermutu sepanjang tahun.
§ Meningkatkan daya dukung pastura.
§ Memperbaiki status kesuburan tanah
lewat simbiosa mutualisme antara akar legum dan bakteri rhyzobium guna
memfiksasi N bebas dari udara.
§ Mengontrol gulma.
§ Meningkatkan biodiversitas.
Beberapa jenis rumput seperti Brachiaria
brizantha, B. decumbens, B. ruziniensis dan Paspalum dilatatum adalah
jenis rumput dengan produksi bahan kering yang tinggi 50-70 ton bk/ha/tahun,
tahan kering dan tahan penggembalaan berat. Sanches (1993) melaporkan bahwa
pasture Hetropogon contortus di Queensland Australia yang disisipi Stylosanthes
humilis dapat menghasilkan sapi dengan berat badan rata-rata 93 kg/m2
dengan kepadatan 0.74 ekor/ha. Pada saat
yang sama terdapat jumlah nitrogen yang dapat di fiksasi sebesar 150 – 1500 kg N/ha/tahun.
Sebuah penelitian oleh Nullik di Stasiun HMT di
Kabaru Sumba Timur yang menguji coba beberapa jenis hijauan secara tunggal
maupun campuran merekomendasikan beberapa hal sebagaimana yang terdapat di
dalam Tabel 12.
Data dalam Tabel 12
memperlihatkan potensi sumbangan tumbuhan leguminosa di dalam ransum ternak
yang merumput. Crowder (1981) melaporkan
bahwa rumput Benggala yang tumbuh monokultur akan memberikan potensi produksi
bahan kering antara 50-130 to/ha/tahu.
Sedangkan leguminosa monokultur dapat menghasilkan herba dan pohon dapat
menghasilkan berat kering sampai 17-35 ton/ha/tahun. Jika kebutuhan protein
kasar 1 UT untuk hidup pokok sebesar
6-7% sedangkan untuk produksi daging 8-9% (Tillman, 1982) maka model pertanaman
campuran seperti di Sumba akan cukup memenuhi persyaratan dimaksud. Beberapa penelitian menganjurkan komposisi ideal
tanaman rumput : legum di pastura adalah 60:40 (Crowder, 1981). Sementara itu Winrock (1981) menyatakan bahwa
ternak perumput yang diberi pakan 70% rumput dan 30% legum dapatr menghasilkan
produksi ternak yang setara dengan pemberikan pupuk N sebesar 400 kg/ha kepada
hijauan yang tumbuh di dalam pastura.
Sementara itu potensi kontribusi pertamanan
campuran kepada kesuburan tanah juga tidak dapat dianggap sepele. Halliday
(1982) melaporkan bahwa jumlah N yang dapat diikat oleh leguminosa yang ditaman
monokultur sebesar 50-350 kg N/ha/tahun.
Walaupun 90% dari total N yang dapat diikat tersebut akan di konversi
kedalam bentuk panen hijauan, biji dan ternak, akan tetapi lewat serasah dan N yang terjerap di dalam biomassa di
bawah permukaan tanah maka pertanaman campuran dapat memberikan sumbangan yang
berarti kepada kesuburan tanah.
Legum yang cocok untuk disebar di padang
rumput adalah legum-legum yang mudah
membentuk simbiosa dengan bakteri rhyzobium dan memiliki daya persistensi yang
tinggi. Partridge (1999) dan Sutaryono
& Partridge (2002) merekomendasikan beberapa spesies terpilih yaitu Stylo
verano dan Stylo semak, Cassia berdaun bulat pada tanah-tanah yang agak masam
dan Desmanthus pada tanah basa atau berbatu kapur seperti yang banyak
mendominasi tipe tanah di Timor Barat. Strategi pengintrodusiran baik secara
sipil maupun secara botanis ke dalam areal patura dapat dilakukan secara
simultan dengan penataan sistim pertanian secara terpadu seperti aplikasi
sistim agroforestri dan strategi konservasi tanah dan air. Penyebaran legum introduksi harus diatur
merata karena jika tidak ternak akan cenderung terkonsentrasi dimana leguminosa
tumbuh dan menimbulkan efek overgrazing di tempat tersebut. Di Australia Utara penyebaran legum biasanya
dilakukan di akhir kemarau yang diikuti dengan tindakan membakar yang akan
memcahkan benih dorman untuk siap berkecambah begitu datang hujan (Patridge,
1999).
I.2. Pengembangan Sistim Agroforestri
Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan savana
di Timor Barat tidak pernah
monokultur. Di ata savana yang sama
dapat diusahakan ladang, padang pengembalaan dan hutan sekaligus. Oleh karena itu upaya pengendalian vegetasi
dapat dilakukan secara terintegrasi dengan cabang-cabang usahatani
lainnya. Salah satu sistim terintegrasi
yang dirasa sesuai adalah sistim agroforestri.
Sistim agroforestri adalah suatu bentuk upaya
mengintegrasikan pohon ke dalam usaha
pertanian. Bene et al. (1977, dikutip Catillo dan Paz, 1994) mendefenisikan
agroforestri sebagai suatu sistim manajemen
lahan yang bersifat sustainabel dengan meningkatkan panen seluruh unit lahan dengan
mengkombinasikan produksi tanaman
pangan. Pohon dan ternak secara simultan dan sekuensial dengan keuntungan
ekonomis dan ekologis dan sesuai dengan cara atau praktek kultural masyarakat. Mengadopsi sistim agroforestri di dalam
agro-ekosistem savana di Timor Barat sebenarnya bukan sesuatu yang aneh. Karena
dilihat dari bentuk formasi savana yang di pencari oleh pohon dan praktek
penggunaan lahan secara tradisional adalah sistim agroforestri. Akan tetapi berbeda dengan sistim
agroforestri moderen yang memperhitungkan sungguh-sungguh perimbangan di antara
keuntungan ekonomis dan ekologis maka dalam pola tradisional pertimbangan
demikian absen. Karena produktivitas
semua agro-ekosistem di Timor Barat semata diarahkan guna tujuan subsistensi.
Sistim agroforestri memiliki banyak sekali
variansnya tetapi dikaitkan dengan kepentingan rangeland management pola
dasarnya adalah agro-silvo, agro-pastoral atau agro-silvo-pastoral. Apapun pilihan varians sistim agroforestri
maka yang terpenting adalah sistim itu mampu menjamin kontinyutas suplai pakan hijauan sepanjang tahun. Nullik dan Bamualim (1998) memberikan
pilihan-pilihan pengembangan hijauan makanan ternak dalam pola terintegrasi ini
antara lain pengembangan HMT pola konservasi lahan kritis, budidaya tanaman
pakan di dalam pola pertanaman lorong (alley cropping), Pola Amarasi
yang menanam lahan dengan tanaman lamtoro dan kemudian lamtoro dapat ditebas
guna perladangan tetapi hasil tebasannya
digunakan sebagai pakan ternak, pola tiga strata, pola pagar hidup atau pola
penggembalaan di bawah tegakan pohon seperti pola Taungnya dari Thailand. Pola
konservasi lahan seperti menanam menurut kountur, pertanaman windbreak
atau firebreak merupakan pola-pola yang dapat disusupi dengan jenis
hijauan pakan baik hijauan herba, semak maupun pohon. Sementara itu pemilihan jenis pohon harus
merupakan pohon yang bersifat MPTS (multy purposes trees and shrubs)
yang mampu melayani kebutuhan kayu, kondisi hidro-orologis, daun, ternak dan
lain sebagainya.
I.3. Pengontrolan Gulma
Pengontrolan gulma sangat penting karena
berkaitan dengan upaya untuk mempertahankan status suksesi vegetasi sehingga tidak berkembang kearah terbentuknya
klimaks yang tidak berguna. Upaya semacam ini dapat dilakukan melaui cara-cara
pengontrolan secara mekanis, kimiawi dan biologis. Akan tetapi pilihan-pilihan itu dibatasi oleh
biaya, tenaga kerja, keterampilan peternak dan kegiatan lain di luar
kepentingan peternakan. Sebagai misal, akhir-akhir ini gulma Chromolaena
odorata mulai menginvasi padang savana di Timor Barat (Mudita, 2000). Bahkan begitu kuatnya tingkat invasi ini
sehingga di banyak tempat gulma ini mulai membentuk suatu formasi vegetasi
sendiri yang menekan habis jenis rumput
dan herba pakan hijauan lainnya.
Beberapa jenis pohon juga tertekan secara tidak langsung oleh gulma ini
karena di dalam membentuk sosiasi di sekitar pohon gulma ini bergerumbul searah
vertikal sehingga begitu terjadi kebakaran maka lidah api akan mencapai pucuk
pohon dan menimbulkan api mahkota (crown fire) yang sangat merusak. Pilihan untuk mengontrol perkembangan gulma
ini ternyata tidak dapat ditentukan oleh seorantg range manager karena seperti
yang dilaporkan oleh Ataupah (2000) dan Therik (2000) gulma ini sangat disukai
oleh peladang karena dapat meningkatkan jumlah bahan bakar dengan flamabilitas
yang tinggi. Para petugas kehutanan juga
menyukai gulma ini karena kehadirannya dapat menekan kehadiran rumpu di kawasan
hutan. Dengan demikian maka invasi
ternak ke lahan hutan dapat ditekan.
1.4. Pengontrolan Api
Kehadiran api di savana Timor Barat umumnya
karena 2 alasan yaitu hadir sebagai gejala alami pada savana kering dan sebagai
ulah manusia. Petani menghadirkan api
untuk berbagai keperluan. Api digunakan
sebagai sarana treknologi pengolahan lahan perladangan, subtitusi tenaga kerja
di ladang, menstimulasi pertumbuhan rumput baru yang segar dan palatabel, berburu dan bahkan untuk kesenangan dan
konflik. Sepanjang kehadirannya dapat
dikontrol maka api tidak perlu dikhawatirkan.
Pengendalian diperlukan ketika api mulai menimbulkan gejala entropi
lingkungan. Sebagaimana yang telah
dikemukakan di depan bahwa kehadiran api di savana imor Barat diduga
telah berkontribusi besar terhadap perluasan lahan kritis yang ada. Untuk maka pengunaan api harus mulai bisa
dikendalikan. Bentuk pengendalian api
seperti prescribed burning (Wright dn Bailey, 1982; Chandler et al.,
1983) dapat dipertimbangkan untuk keperluan kontrol api.
Model
prescribed burning bertumpu kepada beberapa hal sebagai berikut :
- Pembersihan lahan.
- Penggunaan api disesuaikan dengan tipe konvresi lahan. Pembakaran di hutan yang akan dikonversi harus dibedakan dengan pembakaran untuk pemilharaan padang rumput.
- Disesuaikan dengan manajemen padang penggembalaan.
- Pengelolaan bahan bakar sedemikian rupa sehingga akan didapat api dengan intensitas dan kecepatan merambat yang tidak membahayakan dan mudah dikontrol.
- Pemantauan kondisi iklim mulai dari tingkat makro, meso dan mikro. Pemantauan terhadap musim membakar, jam membakar, arah angin, radiasi, suhu, kelembaban udara dan kelengasdan tanah merupakan jabaran dari strategi ini.
- Penerapan teknik membakar headfiring, backfiring dan pembakaran berkeliling.
- Waktu pembakaran merupakan hal penting berikutnya. Di Australia Utara ranger biasanya membakar disesuaikan dengan tujuan pemeliharaan struktur savana (Andersen, 1996 dan Patridge, 1999).
- Pembakaran awal kemarau (early dry season fires) adalah pembakaran yang aman dan digunakan untuk mencegah akumulasi bahan bakar yang tinggi yang mungkin terjadi pada akhir kemarau yang dapat menyebabkan kebakaran yang dahsyat. Akan tetapi pembakaran jenis ini tidak dapat dipakai untuk mengontrol pertumbuhan jenis-jenis berkayu serta akan meninggalkan tumbuhan pakan yang pendek sampai dengan awal hujan.
- Pembakaran akhir kemarau (late dry season fires) adalah pembakaran yang dahsyat karena akimulasi bahan bakar yang tinggi seerta mudah tersulut. Pembakaran cepat ini menyebabkan perakaran rumput tidak terlalu terpengaruh tetapi dapat mematikan jenis tumbuhan berkayu. Oleh karena itu pembakaran jenis ini biasanya berguna untuk mengontrol invasi gulma berkayu. Kelemahannnya adalah api yang ditimbulkan sulit untuk dikontrol.
- Pembakaran awal hujan (early wet season fires/after the first rains) Digunakan untuk mengontrol kanopi pohon tua serta tidak berpengaruh banyak bahkan terhadap jenis tumbuhan berkayu yang kecil.
- Pembakaran di tengah musim hujan (mid-wet season fires) adalah pembakaran yang sulit karena kadar air bahan bahan bakar masih tinggi sehingga flamabilitasnya rendah. Pembakaran biasanya dilakukan di saat hari kering di tengah musim hujan yang di pakai untuk mempromosi pertumbuhan yang cepat dari rumput annual yang mendominiasi padang rumput seperti Sorghum timorense
Tidak ada komentar:
Posting Komentar