I. Sistem Perladangan Berpindah yang Diperbaiki
Perladangan
berpindah (shifting cultivation) merupakan satu diantara yang menerapkan
teknologi konservasi dalam pertanian yang lebih berintegrasi dengan sistem
alami. Menurut Lahajir (2001), bahwa dari perspektif sosial budaya, sistem
perladangan berpindah secara umum dianggap sebagai satu-satunya sistem
pertanian yang sesuai dengan ekosistem hutan tropis. Disamping itu, sistem
perladangan dari segi ekologi, lebih berintegrasi ke dalam struktur ekosistem
alami (Geertz, 1976). Sedangkan dalam hal biodeversiti di dalam sistem
perladangan berpindah lebih tinggi dari sistem pertanian permanen seperti
sawah. Tingginya biodeversiti/keanekaragaman hayati adalah berasal dari
pemberaan dan tanaman beraneka (mixed cropping).
Dalam
perladangan berpindah, tahapan pemberaan (fallow) merupakan persentasi
tertinggi dalam proses penggunaan lahan, di mana tanah digunakan dalam
waktu periode yang pendek, sehingga erosi dan sedimentasi di sungai rendah.
Memang, praktek pembakaran bisa menyebabkan kehilangan nutrient, tetapi dapat
meningkatkan pH yang baik untuk pertumbuhan tanaman, sedangkan kandungan bahan
organik disimpan selama pemberaan. Dalam sistem dengan periode pemberaan stabil
tidak menyebabkan peningkatan CO2 pada atmosfir karena penghutanan
kembali. Rendahnya produktivitas dapat dipecahkan jika institusi penelitian
agrikultural mengambil peranan yang lebih baik dalam mengalokasikan sumberdaya
dalam peningkatan agronomik pada sistem perladangan berpindah. Oleh sebab itu,
sistem perladangan berpindah dapat dijadikan alternatif sistem agrikulture yang
permanen di wilayah tropis basah.
Perladangan
berpindah (shifting cultivation) merupakan suatu sistem yang dibangun
berdasarkan pengalaman masyarakat dalam mengolah lahan dan tanah yang
dipraktekan secara turun menurun. Berbagai hasil penelitian, dengan dasar yang
berbeda, akan menghasilkan suatu yang positif dan negatif. Secara negatif,
perladangan berpindah dianggap menyebabkan penggundulan hutan dan erosi tanah
yang sangat kritis. Tuduhan yang paling sering, saat kebakaran hutan di
Kalimantan, salah satu yang dianggap menjadi sebab adalah sistem perladangan
berpindah. Kemudian, dari segi produktivitas dianggap sangat rendah, apalagi
bila dibandingkan dengan resiko lingkungan yang akan terjadi.
Namun
demikian, sisi positifnya, bahwa sistem perladangan berpindah ini lebih akrab
dengan sistem alami yang tentunya lebih adaptif, karena mempertahankan struktur
alami dari pada melakukan perubahan ekosistem yang sangat baru. Pada kesempatan
ini, sisi positif perlu mendapat perhatian yang lebih mendalam, terutam bila
dihubungkan dengan konservasi, yaitu (i) pemberaan (fallow) dalam
konservasi tanah dan (ii) sistem perladangan berpindah sebagai suatu bentuk
pertanian konservasi.
Konsep Perladangan Berpindah (shifting cultivatiion)
Pada wilayah
tanah hutan, ada suatu area yang dibersihkan dan ditanami setiap tahun untuk
pertanian perladangan. Sistem pertanian ini dapat didefinisikan secara sangat
umum sebagai suatu sistem pertanian yang menerapkan konservasi secara
langsung, sehingga dapat dikatakan sebagai sistem pertanian berkelanjutan di
mana penebasan dilakukan secara tidak menetap, atau hanya sementara dan ditanami
dengan tanaman untuk beberapa tahun saja, kemudian tanah hutan itu ditinggalkan
untuk pemberaan lahan yang cukup lama. Namun,
menurut Lahajir (2001), sistem perladangan ini masih sangat sulit ditemukan
dalam penelitian dalam hal: soal-soal mengenai tipe penggunaan tanah
perladangan, batas-batas kritis tanah yang luar biasa dan relasi-relasi yang
bermakna di antara waktu, tempat, teknik dan ekologi lokal. Metode yang
beraneka ragam dan konsekuensi-konsekuensi perladangan ini bagi manusia,
tumbuhan, dan tanah tampaknya baru-baru ini mulai dipahami oleh para peneliti
perladangan di dunia.
Dalam
perladangan, secara teknologi dapat dilihat dari cara-cara dalam mana
lingkungan secara artifisial dimodifikasi dan mencakup perawatan tanaman,
tanah, hama, dan lain-lain, yang berhubungan sangat kompleks. Pembedaan
yang bersifat sementara menunjuk pada lamanya fase suksesif perladangan,
seperti (1) pemilihan (selecting), (2) penebasan (cutting), (3)
pembakaran (burning), (4) penanaman (cropping), dan (5) pemberaan
(fallowing). Fase 1 sampai 2 merupakan pembersihan vegetasi-vegetasi tua
yang tidak relevan bagi keperluan pengolahan ladang, sedangkan dua fase
terakhir merupakan kontrol terhadap vegetasi-vegetasi baru (baru ditanam atau
tumbuh/bertunas). Di sini, terlihat fase 4 dan 5 menujukkan bahwa keadaan
lingkungan yang telah ada, lamanya yang relatif tentang periode-periode
penanaman bisa berubah-ubah dari pada fase pembersihan sebelumnya (fase 1
sampai 3). Selanjutnya, periode terlama yang proporsional adalah sebagai
representasi dari pemberaan.
Perladangan
berpindah ini juga merupakan sistem pertanian yang terintegrasi dan
berkesinambungan dalam ruang dan waktu. Sistem perladangan ini dilakukakan
secar berpindah-pindah sebagai ciri utama kearifan ekologi, dari lokasi lahan
ladang yang satu ke lokasi lahan ladang berikutnya guna mengistirahatkan (fallow)
hutan tanah lahan perladangan yang telah diolah beberapa kali dalam siklus
tahun ladang untuk jangka waktu bera yang ideal, yaitu sekitar 10 – 15
tahun sebelum digunakan kembali pada rotasi berikutnya. Di sini jelas terlihat
bahwa waktu bera sangat berpengaruh besar pada kesuburan tanah dan tingkat
produksi yang dihasilkan. Lahajir (2001) mengklasifikasikan hutan sekunder
berdasarkan masa bera seperti berikut ini, yakni: (1) hutan sekunder tua dengan
masa bera 10 -15 tahun, (2) hutan sekunder muda dengan masa bera 10 – 5 tahun,
dan (3) hutan sekunder termuda dengan masa bera kurang dari 5 tahun.
Bentuk Pertanian Konservasi
Sistem
perladangan berpindah bagi sebagian ahli dianggap sebagai pemborosan dari
sumberdaya alam, atau sangat primitif (FAO Staff 1957), dan dikenal secara
relatif mempunyai ouput yang rendah per unit areanya. Hal ini kalau ditinjau
dari segi ekonomi, tetapi mungkin karena perhatian terhadap sistem inilah yang
masih sangat kurang, yang sebenarnya membutuhkan tindakan yang lebih spesifik
untuk menjadi sistem yang dapat diterima, untuk menjadi alternatif sistem
pertanian konservasi.
Perladangan
berpindah tidak menyebabkan efek yang berbahaya terhadap lingkungan, bahkan
mampu menyediakan alternatif yang aman dibandingkan dengan sistem pertanian
lainnya di hutan tropis basah. Adapun kurangnya peningkatan produktivitas
adalah merupakan konsekuensi dari pengabaian dari sistem ini di dalam
kebanyakan penelitian pertanian. Hal ini bisa dilihat dari hasil penelitian
Lahajir, yang menemukan bahwa hasil perladangan berpindah tidak sanggup lagi
mencukupi kebutuhan subsisten mereka. Dalam
konteks pembahasan di sini, perladangan berpindah sebagai sistem pertanian yang
menggunakan pemberaan sebagai hal yang utama dalam menjaga produktivitas.
Sistem perladangan dikerjakan hanya 1 – 2 tahun dalam penanaman yang kemudian
dilanjutkan dengan periode bera yang panjang.
Erosi sudah
lama disadari sebagai masalah utama dalam perladangan berpindah, tetapi sangat
sedikit studi kuantitatif yang ada tentang erosi dari perladangan berpindah,
sehingga masih begitu terbatas. Dari studi yang pernah dilakukan menunjukkan
pembersihan lahan pada perladangan berpindah secara tradisional lebih rendah
jumlah erosi dan kehilangan sedimin dari sistem dibandingkan pada beberapa
bentuk pembersihan lahan (land clearing) dan sistem pengolahan tanah (tillage).
Alasan rendahnya erosi adalah sangat pendiknya periode terbukanya tanah
(setelah pembakaran, sebelum tanaman mantap), tanpa atau sedikit pengolahan
tanah (tillage), dan dengan membentangkan pohon-pohon yang tidak
terbakar secara horisontal terhadap kemiringan (slope). Dengan sedikit
sedimin yang hilang dari sistem dan pemakaian bahan kimia yang terbatas sekali,
maka sumberdaya air tidak terpengaruh secara serius.
Selama
penanam, nutrient kehilangan utamanya akibat pembakaran dan beberapa dari
pencucian (leaching), tetapi hanya jumlah terbatas yang dipindahkan oleh
tanaman sebagai sisa tanaman yang tertinggal di lapangan dan pertumbuhan
kembali pada masa bera dapat menahan kembali nutrient. Peningkatan
penyimpanan karbon dalam jangka panjang, kalau bisa sampai 20 – 50 tahun di
dalam tanah, tanaman dan produksi tanaman mempunyai efek menguntungkan terhadap
lingkungan dan pertanian. Lahan tanaman budidaya, padang gembalaan dan hutan
dapat dikelola baik untuk aspek produksi maupun penyimpanan karbon. Kedua
pendekatan pengelolaan lahan tersebut dapat dicapai dengan penerapan
pengelolaan lahan yang sudah banyak dikenal seperti pengolahan tanah
konservasi, pengelolaan unsur hara yang efisien, pengontrolan erosi, penggunaan
tanaman penutup tanah, dan restorasi lahan-lahan terdegradasi.
Konservasi
lahan melalui pemberaan (fallow) yang panjang dapat dengan cepat
meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah. Peningkatan bahan organik tanah
secara global dalam jangka waktu yang lama akan mampu memberikan efek yang
menguntungkan terhadap penurunan rata-rata peningkatan CO2 atmosfer
dan peningkatan produktivitas tanah, khususnya dalam banyak areal tanah yang
telah terdegradasi. Pengolahan
tanah merupakan kebudayaan yang tertua dalam pertanian dan tetap diperlukan
dalam pertanian modern. Menurut Arsjad (1989), yang mendefinisikan
pengolahan tanah sebagai setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang
diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan
tanaman. Tujuan pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan tempat
pesemaian, tempat bertanam, menciptakan daerah perakaran yang baik, membenamkan
sisa tanaman, dan memberantas gulma. Cara pengolahan tanah sangat
mempengaruhi struktur tanah alami yang baik yang terbentuk karena penetrasi
akar, apabila pengolahan tanah terlalu intensif maka struktur tanah akan
rusak. Kebiasaan petani yang mengolah tanah secara berlebihan dimana
tanah diolah sampai bersih permukaannya merupakan salah satu contoh pengolahan
yang keliru karena kondisi seperti ini mengakibatkan butir tanah terdispersi
oleh butir hujan, menyumbat pori-pori tanah. Untuk mengatasi
pengaruh buruk pengolahan tanah, maka dianjurkan beberapa cara pengolahan tanah
konservasi yang dapat memperkecil terjadinya erosi. Cara perladangan
berpindah dengan :
- Tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa-sisa tanaman sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari ancaman erosi selama masa yang sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal tanaman. Penanaman dilakukan dengan tugal
- Pengolahan tanah minimal, tidak semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja yang diolah dan sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah
- Pengolahan tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan memotong lereng sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah atau dengan melintangkan pohon yang tidak terbakar (logs) dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan tanah menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur juga yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah.
Dari sistem
perladangan berpindah, cara pengolahan tanah sudah diterapkan, sehingga dapat
menggunakan sesuai dengan keperluan dan kemampuannya. Penyesuaian dengan
ekologi setempat inilah yang menjadikan sistem perladangan berpindah dapat
dikatakan sebagai sistem pertanian konservasi. Sistem ini memang perlu lebih
ditingkatkan, atau diberikan sentuhan ilmu pengetahuan yang juga disesuaikan.
Berdasarkan
penggunaan teknik tradisional, perladangan berpindah sangat sesuai dengan
lingkungan dan dapat lebih berkelanjutan dari sistem pertanian permanen dalam
kondisi tropis basah. Kebanyakan studi tentang perladangan berpindah telah
memfokuskan pada efek terhadap praktek manajemen dan sangat sedikit penelitian
yang telah dilakukan untuk peningkatan secara agronomi terhadap produksi
tanaman di dalam sistem, karena sistem tersebut sudah melekat sebagai primitif
dan anti pembangunan. Masalah lainnya, adalah bahwa perladangan berpindah lebih
sering dibandingkan dengan kegiatan kehutanan (seperti agroforentry yang
hampir sama dengan shifting cultivation) atau bahkan sumberdaya hutan
daripada dengan sistem pertanian lainnya. Hal ini sangat tidak realistis
untuk mengharapkan perladangan berpindah menjadi sama tidak berbahaya seperti
hutan alami. Ini adalah sistem pertanian, yang dibuat dengan menggunakan hutan
dan harus disadari seperti itu.
II. Sistem Pertanaman Lorong (Alley Cropping)
Sistem pertanaman lorong (alley
croping) adalah suatu sistem di mana tanaman pangan ditanam pada lorong (alley)
di antara barisan tanaman pagar (Sariyata, Ketut., 2007). Sistem tersebut
biasanya diterapkan pada lahan yang tergolong kering, penanaman tanaman tahunan
seperti lamtoro, sengon, mahoni, dan lain sebagainya sebagai pagar, tanaman
pagar biasanya dimanfaatkan sebagai kayu untuk kebutuhan furniture,
perlengkapan rumah, mupun dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar.
Tanaman pagar secara ekologis
difungsikan untuk menampung air, menyuburkan tanah, meminimalisir potensi erosi
dan longsor dan memicu peningkatan aktivitas mikroorganisme sehingga cocok
untuk ditanami tanaman semusim yang toleran. Tanaman semusim yang toleran
terhadap kekeringan misalnya jagung, kedelai, sorgum, singkong dan lain
sebagainya untuk ditanam diantara tanaman pagar. Tujuannya adalah untuk
menunggu masa panen tanaman pagar sehingga dari kegiatan tersebut tetap ada
pemasukan.
Konservasi lahan kering penting
untuk dilakukan karena tanah tersebut cukup luas dan belum dapat dimanfaatkan
secara optimal guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mendapatkan
hasil yang optimal perlu dilakukan kombinasi teknik lain, terutama untuk
menampung air guna memenuhi kebutuhan air tanaman semusim saat terjadi musim
kekeringan yang parah seperti membuat embung, dan rorak.
Kebutuhan air kedelai, jagung,
dan sorgum memang reltif sedikit namun jika kekeringan berlangsung lama maka
pertumbuhannya kurang optimal. Air hasil penampungan pada musim hujan tersebut
dapat digunakan untuk menyiram tanaman diatas jika diperlukan. Alley cropping
merupakan kombinasi antara tanaman tahunan (pagar) dan tanaman semusim yang
dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga dapat menguntungkan secara ekologi,
ekonomi, dan sosial. Keuntungan sistem pertanaman lorong:
a.Ekologi
Dapat menyumbangkan bahan organik
dan hara terutama nitrogen untuk tanaman lorong. Mengurangi laju aliran
permukaan dan erosi apabila tanaman pagar ditanam secara rapat menurut garis
kontur. Terpaan angin dapat diminimalisir sehingga tanaman musiman tetap dalam
kondisi yang baik. Meningkatkan keanegaragaman hayati dan keseimbangan
agroekosistem.
b.Ekonomi
Menghemat biaya pengolahan lahan
karena tidak perlu dilakukan pembajakan untuk menggemburkan tanah. Mengurangi
biaya pemupukan dengan memanfaatkan daun tanaman pagar untuk dijadikan kompos
atau mulsa. Ranting pohon tahunan dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar.
c.Sosial
Dapat meningkatkan ketahanan
pangan dan ekonomi serta penggangguran dapat dikurangi.
Sedangkan kelemahan penanaman
lorong atau alley cropping diantaranya adalah :
1.Tanaman pagar mengambil sekitar
5 - 15% areal yang biasanya digunakan untuk tanaman pangan /tanaman utama.
Untuk itu, perlu diusahakan agar tanaman pagar dapat memberikan hasil langsung.
Hal ini dapat ditempuh misalnya dengan menggunakan gliricidia sebagai tanaman
pagar dan sekaligus sebagai tongkat panjatan bagi vanili atau lada. Cara lain
misalnya dengan menanam kacang gude sebagai tanaman pagar.
2.Sering terjadi persaingan
antara tanaman pagar dengan tanaman utama untuk mendapatkan hara, air, dan
cahaya. Cara mengatasinya adalah dengan memangkas tanaman pagar secara teratur
supaya pertumbuhan akarnya juga terbatas.
3.Tenaga kerja yang diperlukan
untuk penanaman dan pemeliharaan tanaman pagar cukup tinggi (Haryati, Umi.,
2010).
Keuntungan yang maksimal akan
dapat diperoleh jika pemilihan komoditas yang akan ditanam sedang diminati
konsumen, selain itu komoditas harus berkualitas baik, dan untuk meningkatkan nilai
ekonominya bisa dilakukan teknik pasca panen yang memadai. Contoh penanganan
paca panen yang baik misalnya jagung dipasarkan dalam bentuk tepung maizena dan
dikemas dengan kemasan yang baik.
Persyaratan tanaman pagar:
1. Tahan pemangkasan dan dapat bertunas
kembali secara cepat sesudah pemangkasan, dan
menghasilkan banyak hijauan
2. Tingkat persaingannya dengan
tanaman lorong tidak begitu tinggi.
3. Sebaiknya mempunyai manfaat
ganda seperti untuk pakan ternak, kayu bakar dan penghasil buah
supaya mudah diadobsi petani
Berikut ilustrasi penerapan
allley croping pada lahan kering :
Tanaman pagar dapat dipilih
misalnya sengon dan mahoni, pertimbangannya tanaman ini bernilai cukup tinggi
(kayu) dengan masa panen 5 – 6 tahun, ranting dan batang dapat dimanfaatkan
untuk kayu bakar, daunnya dapat dimanfaatkan sebagai mulsa ataupun kompos serta
tanaman ini relatif tahan dalam kondisi kering. Jarak tanam sengon dan mahoni,
yakni (2 x 10) m untuk bagian lebar pagar ditanami tanaman musiman ditanami jagung
dengan jarak tanam (25 x 75) cm, kedelai (20 x 20) cm. Berikut analisis ekonomi
sederhananya dalam lahan seluas 1 hektar :
Keterangan :
A : Tanaman Pagar (sengon dan
mahoni)
B : Tanaman Kedelai
C : Tanaman jagung
III. Multi-Storey continuous
cropping systems
Most of the success stories associated with the
introduction of high-yielding cereal varieties in the tropics have occurred in
areas with more or less inherently productive soils and where irrigation was
available or water was subject to control. In most areas of the humid tropics,
however, the replacement of shifting cultivation by permanent or semi-permanent
agriculture is limited by one or a combination of the following physical
factors:
a.
frequent periods of moisture stress because of the poor
water retention capacity of the soils;
b.
high soil temperatures;
c.
high rainfall intensities, leading to leaching and
erosion;
d.
high night temperatures reducing net photosynthesis;
and
e.
low or uneconomic response to fertilizers.
Under these conditions few viable alternatives to
bush fallow have yet been evolved. Studies, at the International Institute of
Tropical Agriculture (IITA), of farmers attempting to cope with the diminishing
productivity of land and labour indicate the components which may be necessary
in a continuous cropping system:
a.
concentration of production on smaller areas to which
are applied organic materials to improve the soil fertility;
b.
minimum tillage, combined with mulching to control
weeds and improve soil fertility;
c.
intercropping to provide continuous plant cover; and
d.
multi-storey cropping (including tree and bush crops).
Agroforestry systems may be designed to improve
these production strategies.
A multiple cropping system in which trees are a
component is both perennial and multi-storey. Coconut palm (in India), rubber
(in Indonesia) and oil palm (in West Africa) have, in certain circumstances,
become the perennial component of viable continuous cropping systems.
In many areas, especially in places with high
population densities, it is unrealistic to expect farmers to take land out of
production for the establishment of even short-term fallows. Research is,
therefore, urgently required to test mixtures of tree and crop species that
might form profitable continuous cropping systems to increase the level of
sustained productivity on land which has already passed out of the shifting
cultivation phase.
Such farming systems would require that the
agronomic packages being developed by agricultural research institutions, such
as The International Centre of Tropical Agriculture (CIAT), and the
International Institute of Tropical Agriculture (IITA) be designed with
agroforestry in mind. The systems may also be fairly location specific with
limited transferability of specific components.
1 komentar:
makasih yah
judi bola online | tangki timbun cpo | SenangPoker.com Agen Judi Poker Online Terpercaya Indonesia
Posting Komentar