Hutan NTT : Antara Piet Tallo,
Soemardjo dan Narjan
(Perenungan
Dalam Menerima Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan di NTT)
L.
Michael Riwu Kaho[1]
Hari Rabu, tanggal 3 November 2004, di Kupang telah diluncurkan
secara resmi suatu program nasional untuk melakukan rehabilitasi hutan dan
lahan di NTT. Kita sebut saja program
tersebut sebagai program GNRHL atau Gerhan. Suatu program yang secara Nasional
telah dicanangkan oleh Presiden RI, ketika itu, Megawati Soekarnoputri di
Gunung Kidul. Konon biaya untuk melaksanakan program Gerhan di NRR berjumlah
total 47 milyar rupiah (mam bo’i ee..uang pung banya lai) yang akan dibagikan
kepada seluruh Kabupaten /Kota di NTT. Dalam rencananya, progam ini akan
dimulai dengan pembibitan ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan bibit anakan
pohon dan kemudian disusul dengan penanaman. Beberapa waktu yang lalu melalui
pemberitaan di HU Pos Kupang, antara lain edisi Senin 4 Oktober 2004, kita di NTT diberi kejutan barang satu atau
dua dikit perihal program atau proyek ini. Diberitakan tetang “silang
sengketa” beberapa pihak seputar
pelaksanaan proyek rehabilitasi hutan di NTT (GNRHL) “seharga” 47 M tersebut.
Ada tekanan dari oknum
(kata benda yang sering diucapkan dan terdengar teramat lucu) legislatif, pemda
dan pengusaha. Pimpro mau mengundurkan diri, katanya. Entah mundur betulan atau
tidak betulan. Kabarpun menghilang dan keterkejutan kitapun menjadi nol dikit.
Musnah. NTT alias Nyari Tak Terdengar lagi. Apapun, pogram Gerhan sudah hadir.
Suka tidak suka harus mau. Mau tidak mau harus suka.
Terbayang dalam benak saya bahwa
sesudah bibit tanaman tumbuh semua dan dipindahkan ke lahan maka banyak orang
akan merasa suka cita karena NTT akan penuh pohon. Hutan jadi baik lagi. Air
tanah akan meningkat. Sumur-sumur akan penuh. Bulan kemarau tidak perlu lagi mete-mete
jaga air. Semua leding air PAM penuh dengan air. Sehingga ketika kita membayar
ke loket PAM bukan lagi membayar air campur. Air campur angin. Luar biasa. Maka
NTT pun menjadi Nusa Tak kurang Tetesan air, Nusa Tenang Tenteram. Betul begitu? Nanti dulu. Mari kita belajar
dari 3 tokoh dalam judul kita di atas.
---***---
Nama pertama adalah Piet Tallo. Bagi orang NTT, apalagi yang tinggal di
Kupang, yang tidak mengenal nama yang satu ini dapat disebut sebagai beyond help
alias keterlaluan. Umpama kata, Ba’i Liu sa tau
naaa. Tetapi siapa di antara kita yang
mengenal oknum
yang bernama Soemardjo dan Narjan. Seandainya
saja kita membuat quiz berhadiah tentang siapa yang mengenal mereka, hampir
pasti hanya akan ada sedikit saja pesertanya.
Mereka kurang terkenal atau mungkin sama sekali tidak terkenal. Kalau tidak terkenal maka mengapa kok
berani-beraninya nama-nama tersebut digandengkan dengan nama Piet Tallo yang
beken abis itu?. Pembaca yang budiman,
berikut akan di perkenalkan barang sedikit tentang 2 nama yang kurang terkenal
tersebut.
Soemardjo dan Narjan adalah staf
pegawai di kantor BP DAS (Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai) Benain Noelmina
di Kupang. Kalau ada yang bingung tentang kantor ini maka dapat dijelaskan
barang sedikit bahwa kantor ini merupakan salah satu institusi di bawah
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Jadi suatu instansi vertikal, yang
mengurusi persoalan tentang pengelolaan daerah aliran sungai. Kalau mau tahu letak kantornya maka kira-kira
begini : di depan Toko Bandung Jeans. Lah, kalau begitu di mana letaknya Toko
Bandung Jeans? Ya, di depan Kantor BP DAS.
Sudahlah, tidak perlu lagi meributkan letak Kantor ini, yang penting
adalah ini : dua orang ini baru saja pada bulan September lalu diwisuda sebagai
Magister Sains (M.Si) dalam bidang ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Program Pascasarjana
Universitas Nusa Cendana (berapa ukuran populasi pohon cendana sekarang ya? Jika
cendana punah, Undana rasanya perlu ganti nama) dan yang menjadi penelitian
karya ilmiah mereka adalah bertalian dengan hutan. Nah, di sinilah letak kaitan
antara kata hutan dan 3 buah nama dalam judul besar di atas. Lho, tapi Piet Tallo kan bukan pegawai BP DAS?. Dia juga bukan Sarjana Kehutanan. Ok, sebelum saya ditanya lebih jauh lagi maka
saya mau bilang begini, beliau pernah menulis sambutan tentang masalah
kehutanan dalam pertemuan Forum DAS tahun 2003 di Hotel Sasando, Kupang. Isinya
menarik, bahkan saking menariknya, penulis sempat mengira bahwa beliau pernah
kuliah di Fakultas Kehutanan dan gelar SH yang dimilikinya adalah singkatan
dari Sarjana Hutan. RRUUAARR BIIAASAAAA.
Dalam naskah sambutannya tertulis
tentang gambaran umum kondisi kehutanan yang kurang menggembirakan akibat berbagai-bagai
sebab. Harus diberi catatan khusus bahwa Piet Tallo paham betul sifat ekosistem NTT
yang berbentuk archipelago atau kepulauan yang sangat rentan terhadap perubahan.
Sebagai jalan keluar, beliau mengusulkan empat pendekatan, yaitu pendekatan ekosistem, kemitraan lintas sektoral, perencanaan tata
ruang, dan nilai ekonomi sumberdaya.
Akhirnya, sambutannya ditutup dengan kata-kata, yang menurut hemat
penulis harus direnungkan secara mendalam oleh para rimbawan atau siapa saja di
NTT yang perduli tentang hutan, begini : (saya mengutip langsung) : persepsi dan
praktek pengelolaan hutan yang berorientasi pada produksi kayu terbukti banyak
menimbulkan kerusakan hutan dan mengganggu fungsi-fungsi hutan lainnya. Padahal
kayu sesungguhnya bukanlah sumberdaya terpenting dari hutan, karena masih
banyak fungsi lainnya yang lebih penting seperti tata air, perlindungan iklim,
penyedia oksigen di udara dan lain sebagainya. Beliau
benar. Lebih dari sekedar benar karena apa yang dikatakan oleh beliau merupakan
salah satu paradigma baru dalam pengembangan ilmu-ilmu kehutanan. Setelah melewati masa-masa di mana sumberdaya
hutan terkuras habis maka pemikir di bidang kehutanan mulai menyadari bahwa
jika kayu yang terlalu ditonjol-tonjolkan sebagai primadona produk hutan maka
laju pengurasan sumberdaya ini sulit dihentikan. Dengan demikian, entropi lingkungan dunia akan bergerak menuju
maksimum. Untuk mudahnya, entropi
lingkungan berarti kerusakan lingkungan.
Selanjutnya adalah Soemardjo. Sahabat
yang berasal dari Yogyakarta ini dalam penelitiannya di desa Hueknutu mengamati
kontribusi salah satu bentuk sistem agroforestry,
yang disebut sebagai sistem taungnya,
terhadap tingkat keanekaragaman hayati vegetasi. Untuk memudahkan sidang
pembaca memahami makna keanekaragaman maka penulis ingin memberikan ilustrasi
seperti ini : suatu tim sepakbola yang baik harus terdiri atas 11 orang dengan fungsi masing-masing.
Ada 1 penjaga gawang, serta beberapa pemain lainnya yang berfungsi sebagai
pemain bertahan, pemain tengah dan penyerang. Tim seperti ini disebut tim
dengan keaanekaragaman yang tinggi. Jika 11 orang tersebut adalah penjaga
gawang semua atau penyerang semua maka
walaupun jumlah tim ini lengkap tetapi tim ini disebut berkeanekaragaman
yang rendah dan sulit untuk menang karena hanya satu fungsi saja yang
berjalan. Lebih celaka lagi jika tim
sepak bola tersebut terkena kartu merah dan 6 orang pemainnya harus ta’ongki
keluar lapangan. Tinggal 5 orang di
lapangan. Maka sudah pasti yang terjadi
adalah jumlah pemain berkurang, posisi pemain juga berkurang. Tim ini dapat dikatakan memiliki
keanekaragaman yang rendah dan mungkin jelek. Tim ini sangat mudah untuk
dikalahkan. Entah kalau mereka pake nitu.
Kembali ke Soemardjo dan
penelitiannya. Sistem hutan taungnya yang diteliti (sistem ini aslinya dikembangkan di Thailand)
dibangun secara sengaja oleh BP DAS Benain-Noelmina beberapa tahun yang lalu,
yang melibatkan petani lokal, dengan menanam beberapa jenis pohon yang bersifat
exotic
atau didatangkan dari luar kawasan hutan lokal. Selama dua tahun sebelum semaian pohon cukup kuat maka petani
diperbolehkan menanam beberapa jenis tanaman palawija seperti jagung,
kacang-kacangan dan labu. Setelah itu, semua jenis palawija tersebut harus angkat kaki.
Peneliti tampaknya berangkat dari teori dan hipotesis bahwa hutan, seperti
laiknya hutan alami, akan mengakibatkan naiknya tingkat keanekaragaman. Untuk
menguji kebenaran hipotesisnya, Soemardjo membandingkan keanekaragaman hutan taungnya
tadi dengan hutan asli Eucalyptus
alba alam (digunakan istilah hutan
campuran) yang secara alami banyak
dijumpai di Hueknutu dan sekitarnya seperti di Ekateta – Nunsaen, Fatule’u.
Juga ikut dibandingkan adalah savana belukar.
Savana belukar diberi batasan sebagai lahan yang didominasi oleh belukar
yang bercampur dengan rumput-rumputan. Menurut hemat penulis, berdasarkan teori
klimaks vegetasi hutan dan pengalaman meneliti tentang api lahan di Ekateta dan
Hueknutu sejak tahun 2000 – 2004, hutan dan belukar, dan bahkan padang rumput
yang ada cukup disebut sebagai savana saja.
Apapun, Soemardjo membandingkan antara hutan buatan dan hutan alami.
Hasil pengamatan Soemardjo memperlihatkan bahwa adalah indeks tingkat
keanekaragaman vegetasi pada hutan taungnya tercatat sebesar 1.82. Nilai ini ternyata
kalah tinggi dibandingkan dengan nilai keanekaragaman pada hutan kayu putih
asli sebesar 1.99. Akan tetapi
kedua-duanya kalah dibadingkan dengan nilai dari savana belukar sebesar 2.48. Perlu dijelaskan bahwa pernyataan tentang
lebih besar dan lebih kecil tersebut bukan sekedar perbandingan biasa tetapi
sudah dihitung berdasarkan teknik statistika yang disebut metode sidik ragam.
Apa itu sidik ragam? Wah, repot untuk menjelaskannya. Supaya ringkas dan tidak berkesan tulisan ini
sebagai bahan kuliah ilmu Statistika maka sidik ragam adalah salah satu cara
supaya setiap angka-angka hasil perhitungan Statistika dapat dipercaya. Dengan
demikian hasil penelitian Soemardjo tadi memberikan bukti yang dapat dipercaya
bahwa komunitas asli di NTT, yang sering dituding sebagai lahan kritis dan
marjinal, ternyata jauh lebih kuat dibandingkan dengan hutan buatan yang
merupakan model yang didatangkan dari luar NTT. Untuk memudahkan pemahaman
tentang makna bahwa hutan asli lebih kuat dibandingkan dengan hutan eksport
dilihat dari tingkat keanekaragaman vegetasinya maka lihatlah kembali
perumpamaan tentang kesebelasan sepak
bola seperti yang diuraikan di atas.
Untuk temuannya ini penulis ingin mengucapkan selamat dan terima kasih
untuk Ir. Soemardjo, M.Si. Anda telah membukakan pikiran penulis sebagai anak NTT bahwa
barang asli milik kami tidak selalu
harus lebih jelek dari apa yang didatangkan dari luar.
Akhirnya adalah Narjan. Lengkapnya
Narjan, SE, M.Si. Nama kawan saya yang
satu ini memang singkat saja seperti itu.
Entah kalau yang bersangkutan punya nama lain yang lebih panjang.
Peneliti ini mengamati juga di Hueknutu, tetapi tidak dari aspek biofisik hutan
Taungnya
yang dibangun. Narjan mengamati keuntungan ekonomi dari usaha hutan Taungnya
tersebut. Hipotesis yang dibangun adalah, jika taungnya
diusahakan dan petani juga diberi kesempatan untuk mengakses kawasan (x1)
hutan, selama 2 tahun guna menanam palawija, dan secara simultan, meningkatkan
kesempatan kerja (x2), kesempatan berusaha (x3) dan
peningkatan motivasi petani (x4) maka pendapatan petani akan
meningkat. Hasil penelitiannya secara
ringkas dapat dilihat pada persamaan garis regresi berganda yang disusun
sebagai berikut : y = - 902822,7 + 528007,76 X1 + 330852,80 X2
+ 767142,71 X3 + 134543,45 X4. Supaya
pembaca tidak berkerenyit dahi, saya ingin mengatakan bahwa dengan hasil
perhitungannya tersebut Narjan telah membuktikan bahwa jika tanpa akses
kawasan, dan simultan dengan itu adalah kesempatan berkerja, kesempatan
berusaha dan motivasi petani maka petani akan mengalami kerugian. Sampai di
sini, hasil penelitian dari Narjan baik-baik saja. Memang dapat dipersoalkan juga dari
penelitian Narjan ini, yaitu apakah jika proyek taungnya tidak ada maka pendapataan petani akan
negatif?. Ketika penulis membaca data
mentah yang dimiliki Narjan maka kali ini dahi penulis yang berkerenyit. Dalam perhitungan pendapatan petani (y),
Narjan memasukkan variabel insentif yang diterima petani dari pengelola proyek
sebagai komponen peubah bebas (x6) selain variabel pendapatan dari padi (x1),
jagung (x2), kacang tanah (x3), benih (x4) dan pupuk X5). Dalam hal ini Narjan
memperhitungkan insentif sebagai bagian dari pendapatan. Tidak soal dengan hal
itu. Tetapi bagi penulis persoalan
timbul ketika data mentah ini diolah lebih lanjut.
Sesuai dengan fungsi
statistika, maka saya mencoba meramalkan dengan melakukan improvisasi
perhitungan sebagai berikut. Jika dengan
insentif, maka persamaan garis regresi berganda yang terbentuk adalah y = 5170.59 + 0.92 x1 + 1.01 x2 +
1.22 x3 - 0.99 x4 – 1.09 x5 +0.89 x6. Jelas
bahwa pendapatan petani positif dengan adanya proyek taungnya. Akan
tetapi ketika variabel insentif dihilangkan maka persamaannya menjadi y = -65971 + 0.89 x1 + 0.99 x2 +
1.20 x3 - 1.01 x4 – 1.23 x5. Apa artinya ini? Tanpa insentif maka proyek taungnya
adalah kerugian? Bisa jadi
begitu tetapi bisa juga ditafsir lain oleh peneliti lain. Peneliti satu dengan
yang lainnya bisa berbeda pendapat tetapi menurut hemat penulis semua peneliti
akan sepakat bahwa perhitungan di atas menunjukkan besarnya pengaruh insentif
dalam proyek taungnya tersebut. Apakah hal itu sutau persoalan besar?
Persoalan terbesar bukan terletak pada angka-angka ini tetapi pada implikasi
etisnya. Hasil perhitungan di atas telah
menjadi semacam jawaban terhadap apa yang sudah lama kita khawatirkan bahwa
aneka proyek yang disodorkan ke tangan petani dapat menyebabkan petani menjadi
bermental proyek. Ada proyek, dan itu berarti ada uang alias wang alias doi,
apa-apa saja jalan. Tanpa doi, no way man! Saya ingin menyampaikan tahniah (ucapan
selamat) kepada Narjan bahwa, data mentahnya telah membukakan sedikit mata hati
kami di NTT. Hati-hatilah dengan mental proyek.
Ketika uang mulai menjadi panglima maka sekali manusia tergoda menjadi jongos uang, seterusnya manusia akan tetap menjadi jongos uang.
---***---
Jadi, dari tiga nama yang
saya sebutkan dalam judul besar tulisan ini klasifikasi pengaruhnya terhadap
penulis pribadi adalah sebagai berikut : sambutan Piet Tallo membuat saya kagum
atas kemauan untuk memahami persoalan kehutanan di NTT, walaupun beliau bukan
sarjana kehutanan. Penelitian Soemardjo telah membuka pikiran pikiran penulis,
dan Narjan telah memaksa penulis untuk
membuka mata hati. Bagaimana ketiga hal tadi dapat kita jadikan bahan
permenungan bersama, terutama bagi semua pihak yang akan terlibat atau
melibatkan diri dalam urusan program GNRHL NTT di Kupang yang berbiaya sekitar
47 M itu.
Inilah pokok-pokok renungan yang ingin saya
ajukan terhadap pelaksanaan proyek GNRHL di NTT.
1.
Sampai di mana para pelaksana
program GNRHL memahami betul tentang permasalahan kehutanan di NTT. Sampai sekarang hal yang paling sering kita
dengar adalah hutan NTT sudah rusak, lahan sudah rusak dan kritis, lahan sudah
terdegradasi, lahan di NTT terancam menjadi gurun. Benarkah? Berapa sih luas hutan asli di NTT.
Apakah benar lahan daratan di NTT dahulunya didominasi oleh hutan dan jika
sekarang ini terbentuk savana maka savana yang ada merupakan savana derivatif
sebagai akibat penebangan, api dan sapi (man made savana). Ada baiknya kita renungkan kembali makna
dari cara pengklasifikasian iklim, antara lain metode Schmidt-Fergusson yang
merupakan salah satu pelajaran penting dalam iklim hutan di Indonesia. Apa
artinya tipe iklim D dan E yang formasi vegetasi aslinya adalah savana?.
Renungkan kembali teori tentang klimaks dan proses suksesi vegetasi.
Ketika
meneliti untuk mendapat gelar S1 sebagai sarjana peternakan pada tahun 1985,
kemudian ketika meneliti untuk mendapatkan gelar S2 bidang agronomi pada tahun
1992 dan akhirnya meneliti untuk mendapatlan gelar S3 dalam bidang kehutanan,
penulis menemukan data bahwa pada tempat
yang sama hampir semua variabel kondisi kimiawi tanah relatif tetap. Tidak
berbeda secara nyata antar waktu pengamatan. Bahan organik tanah dan Nitrogen
total di savana Oinlasi TTS, Binel TTS
dan Ekateta, Kupang relatif rendah dari dahulu. Tidak lebih tinggi dan tidak
pula lebih rendah. Sebaliknya, dari dahulu nilai tukar kation tanah (KTK) tinggi
dan pH cenderung netral – agak alkalis. Tidak naik dan juga tidak turun. Lantas apanya yang terdegradasi? Lantas,
apanya yang mau direhabilitasi. Apa makna sesungguhnya kata kritis dan marjinal
dalam lingkungan lahan di NTT. Pahamkah kita tentang sifat-sifat tanah yang
teroksidasi karena cekaman lingkungan tropika kering yang sudah merupakan
kondisi alami di NTT.
Mungkin soal air tanah. NTT daerah kering. Maka hutan harus diperlebat
supaya perakaran pohon menahan air. Lantas rumpang pohon akan menciptakan iklim
mikro yang baik sehingga penguapan dapat direduksi. Adalagi pikiran begini,
kalau pohon banyak maka penguapan akan tinggi. Jika sudah begitu maka akan
mudah membentuk awan dan kemudian turun sebagai hujan. Betul begitu? Apakah
kehilangan air dari tanah hanya disebabkan oleh evaporasi dan tidak juga oleh
transpirasi. Apakah besarnya curah hujan selamanya linier dengan besarnya
penguapan? Renungkan kembali teori tentang hidrologi hutan dan DAS. Otto Soemarwoto, begawan ilmu Lingkungan di
Indonesia, pernah menulis buku dan memperingatkan bahwa penghutanan atau
reboisasi (atau apapun istilah dan batasan operasional di bidang
kehutanan) pada daerah semi arid (beliau
menggunakan istilah semi ringkai) seperti di NTT harus memperhatikan
betul-betul sifat-sifat genetik iklim yang ada.
Terbetik berita bahwa dalam
program GNRHL di NTT ada tersedia dana sebesar 47 M. Tetapi mengapa yang
diberitakan di koran adalah soal rekanan yang memperebutkan dana untuk
pengadaan bibit. Bagaimana soal asal usul benih tersebut. Bagaimana mutu
genetiknya. Apakah bibit tersebut ketika menjadi anakan dapat melakukan taktik avoidance, ameliorasi dan adaptasi ketika menghadapi
cekaman aridity iklim di NTT sehingga banyak pohon tidak harus berarti banyak
penguapan yang dapat menyebabkan air tanah yang sudah kurang akan semakin
berkurang. Berapa banyak benih yang dapat menjadi semai, sapling dan akhirnya
pohon dewasa. Jika banyak yang mati maka proyeknya dapat dikatakan gagal tetapi
jika ratusan ribu atau mungkin jutaaan pohon yang ditanam hidup semua maka
apakah pohon-pohon tersebut akan meningkatkan air tanah atau malah sebaliknya
menguras air tanah.
Akhirnya, apakah dengan
program pohonisasi maka sistem lingkungan NTT akan lebih stabil? Jenis pohon
yang akan ditanam antara lain jenis gamelina, sengon laut, mahoni dan jambu
mente. Pohon-pohon tersebut adalah adalah tergolong jenis yang memiliki habitat
agroekologi agak basah sehingga kebutuhan airnya tinggi. Apalagi jenis jambu
mente adalah jenis yang memiliki sifat alelofatik yang dapat membunuh tanaman
lain yang tumbuh di dekatnya. Maka pertanyannya adalah apakah jenis-jenis ini
cocok dengan lingkungan klimatik di NTT?. Apakah jenis-jenis tersebut mampu
membentuk lingkungan yang berkeanekaragaman tinggi. Renungkanlah hasil
penelitian Soemardjo. Renungkan kembali kata-kata Piet Tallo bahwa sifat
ekosistem NTT adalah ekosistem kepulauan.
Lebih celaka lagi ukuran pulau-pulau yang ada relatif tidak berukuran
benua. Maka ekosistem yang ada akan tunduk kepada hukum teori pulau biogeografi,
yaitu berkeanekaragaman rendah dengan sifat endemisme yang tinggi.
Apa arti sifat ekologis seperti ini? Artinya adalah lingkungan di NTT
cenderung kurang stabil dan oleh karena itu mudah mengalami kepunahan ketika
mengalami gangguan. Apakah menaman jenis
pohon yang dapat bersifat monokultur, menguapkan banyak air, dan bersifat
alelofatik tergolong gangguan atau bukan?
---***---
2.
Apakah program-program yang akan disusun dalam pelaksanaan proyek GNRHL
akan mampu memanusiakan manusia petani di NTT. Hasil penelitian Narjan
memberikan indikasi bahwa mental proyek dari petani bisa timbul pascaproyek dan
akibatnya perilaku petani lebih dituntun oleh naluri ekonomi. Apakah lewat
proyek GNRHL sekarang ini mental tersebta dapat ditipskan atau sebaliknya
bertumbuh makin subur. Jika direnungan secara mendalam maka apakah mental
proyek semacam itu semata hanya dimiliki oleh petani responden dalam penelitian
Narjan atau juga sebenarnya diam-diam diidap juga oleh pelaku proyek lainnya.
Berapa % dari dana 47 M yang betul-betul sampai ke “tangan petani”. Berapa % yang akan nyangkut
alias taga’e di tangan pengusaha benih, konsultan teknis dan
pelaksana proyek. Saya masih percaya bahwa semua pihak sesungguhnya memiliki
niat yang sungguh-sungguh baik untuk memajukan petani, hutan dan lahan di NTT. Tetapi apakah sistem pelaksanaan
proyek cukup kuat untuk “mengawal” niat
baik yang ada tersebut. Barang siapa
yang menyangkal bahwa dia imun dari godaan maka hampir pasti dia sama hebatnya
dengan orang seperti Yesus ketika Dia dicobai oleh iblis di padang gurun. Adakah
kita semua setangguh Yesus? Jujur saja, saya pribadi adalah manusia lemah.
Anda, entahlah!
---***---
3.
Pengguna lahan untuk tujuan pertanian di NTT bisa siapa saja.
Peternakan, pertanian dan perkebunan. Akan tetapi hanya sektor kehutanan yang
memiliki hak legal formal untuk berfungsi sebagai pemangku wilayah. Di tangan para rimbawan sesuatu wilayah dapat
ditetapkan sebagai wilayah hutan. Ada aanekdot bahwa, tanah kosong yang di
dalamnya tumbuh 5 batang pohon saja bisa diklaim sebagai kawasan hutan. Di
dalam Alkitab ada tertulis perumpamaan tentang talenta. Maka, kepada mereka
yang diberi kewenangan besar, kepada mereka pula diberi tanggung jawab yang
besar. Kehutanan harus mampu memainkan peranan sebagai pengayom bagi sub-sektor
pertanian lainnya. Salah besar kalau para rimbawan hanya sibuk berpikir tentang
dirinya sendiri. Hanya ribut soal berapa
banyak pohon yang ditanam sambil lupa untuk ikut membina kebutuhan petani akan
palawija, ternak dan pendidikan. Padahal, kerap kali kesulitan-kesulitan petani
di sektor pertanian tanaman pangan dan peternakan sering mendatangkan
permasalahan bagi hutan. Jangan menunggu kawan-kawan dari sub-sektor lainnya
berteriak-teriak. Ambilah prakarsa untuk
menyapa mereka.
Adakah dan berapa besar porsi pendanaan dalam proyek GNRHL yang dialokasikan
untuk ikut membina sub-sektor lain di luar pohon. Sering dalam gurauan saya
katakan bahwa Hutan yang mengayomi semua dan memajukan semua sering berfungsi
sebagai alat Tuhan. Akan tetapi jika
hanya sibuk dengan dirinya sendiri maka dapat saja dilihat sub-sektor lain
sebagai hantu. Dalam pemahaman perlindungan hutan (bidang ilmu yang saya tekuni
sekarang), ternak disebut sebagai enemy musuh). Penggunaan lahan oleh petani untuk berladang disebut sebagai
perambah hutan walaupun mungkin pohon yang tumbuh per hektar hanya 20
pohon/ha. Apakah dengan melibatkan
satuan-satuan kerja seperti dinas, LSM, perguruan tinggi, TNI dan Polri dalam
pelaksanaan proyek GNRHL sudah setali tiga uang dengan pemahaman berpikir untuk semua?
---***---
4.
Masyarakat petani tradisional sesungguhnya memiliki kearifan-kearifan
yang kadang mencengangkan para akademisi.
Betapa saya dibuat tercengang ketika petani di Ekateta dapat menerangkan
bahwa dalam konsep tradisional mereka
ada dikenal sistem pengaturan ruang hidup. Ada daerah terlarang yang tidak
boleh ditebangi dan dijadikan daerah perladangan dan penggembalaan ternak.
Hutan bermata air tergolong daerah seperti itu. Ada daerah tempat tinggal.
Adapula daerah kultivasi. Di daerah kultivasi mereka tidak kuatir sama sekali
untuk melakukan pembakaran pada waktu yang tepat. Hasil penelitian saya kemudian membuat saya
tercekat sendiri bahwa ternyata api malah bermanfaat bagi perkembangan populasi
pohon. Jadi, saya ingin mengatakan bahwa
jangan cepat mengangkat jari telunjuk kita ke arah petani yang tampak tidak
intelektual itu untuk setiap kejadian kerusakan atau bencana. Karena kadang kali mereka jauh lebih cerdik
dari kita. Suatu kemampuan yang di dapat
karena mereka hidup dan mati di daerah itu. Pengalaman mereka panjang di
sana. Mana ada orang yang sengaja mau
membunuh diri mereka sendiri dengan jalan merusak lingkungan mereka?. Bukankah
Sigmund Freud, biang pshycoanalisis, mengatakan bahwa salah satu naluri dasar manusia
(basic instinc) adalah naluri untuk bertahan hidup? Mungkin kita
sendiri yang kurang memahani mereka dan kemudian mengukur mereka dengan
ukuran-ukuran kita sendiri. Kata sebuah
kitab tua : jangan mengukur orang lain
dengan ukuran-ukuran yang kamu buat sendiri karena ketika ukuran-ukuran itu
dikenakan kepadamu maka kamu akan terkejut sendiri.
5.
Apakah saya tidak setuju adanya proyek GNRHL? Tidak begitu. Saya setuju 1000% tetapi hendaknya proyek
yang berharga ini , amat mahal bahkan, disesuaikan dengan semua kondisi
obyektif yang ada. Kondisi yang saya
maksud adalah kondisi klimatik, edafik, dan biotik, termasuk manusia di
dalamnya. Berkehutanan tidak identik dengan menghasilkan kayu.
---***---
Akhirnya,
saya ingin mengucapkan selamat menjalankan proyek GNRHL bagi kawan-kawan di
Dinas-Dinas kehutanan (propinsi dan kabupaten), BP DAS Benain Noelmina, lembaga
penilai bibit, pengusaha dan semua pihak yang telibat dalam pelaksanaan proyek
ini. Banyak harapan yang diletakkan di
pundak anda, wahai para rimbawan, terutama harapan dari para petani di pedesaan
yang sudah terlalu lama hidup dalam tingkat hidup yang jauh di bawah anda semua. Memang mereka mempunyai
ukuran-ukuran sendiri tentang pemahaman tentang tingkat kesejahteraan tetapi
apakah mereka tidak berhak atas penghidupan lain selain pohon? Pastikan bahwa
kepentingan petani, kepentingan lingkungan dan semua kepentingan holistik
lainnya tidak diabaikan dalam pelaksanaan proyek GNRHL. Jangan alpakan
petimbangan-pertimbangan petani, serta lingkungan biofisik dan sosial sebab
jika mereka menangis maka air mata mereka ditanggung anda
sekalian. Jika begitu maka tunggulah
giliranmu untuk menangis. SALAM RIMBAWAN.
1 komentar:
thx atas infonya :)
Posting Komentar