Senin, 01 Maret 2010

mutis dan wairinding, apa masalahnya? (bahan untuk Pak Frans Sarong - KOMPAS)

MUTIS DAN WAIRINDING, APA MASALAHNYA

Oleh
L. Michael Riwu Kaho
(Dosen Undana, Doktor dalam Bidang Ilmu Kehutanan)

Kawasan Hutan Cagar Alam (CA) Mutis-Timau, seluas ± 75.000 ha + 12 .000 ha yang ditetapkan sebagai kawasan inti CA, merupakan kawasan hutan yang seharusnya, menurut ketentuan kawasan yang dilindungi, terbebas dari upaya eksploitasi sumberdaya alam. Akan tetapi secara tradisional kawasan ini telah dihuni oleh sekelompok populasi dari etnolinguistik tertentu, atoin meto, yang menganggap bahwa daerah Mutis dan sekitarnya adalah ruang hidup mereka. Mempertemukan dua kepentingan ini merupakan suatu dinamika etika lingkungan yang bersifat dilematik, karena dua kepentingan tersebut memiliki dinamik yang terkadang bertabrakan secara diametral. Di satu sisi hutan Mutis harus di lindungi tetapi dinamika perkembangan populasi dan cara-cara pemenuhan kebutuhan bahan makanannya membutuhkan kawasan hutan Mutis sebagai sumberdaya. Dalam situasi dilematis seperti ini kelestarian Cagar Alam (CA) hutan Mutis terancam karena pola penggunaan sumberdaya secara tradisional, antara lain penggembalaan bebas dan perladangan tebas bakar, dikhawatirkan menimbulkan entropi lingkungan.



Sebuah data pada Forum DAS NTT (2006) menunjukkan bahwa Hutan CA Mutis merupakan daerah tangkapan air (hulu) bagi 2 DAS besar di Timor Barat, yaitu DAS Benenain seluas 384.331 ha dan DAS Noelmina seluas 191.037 ha. Dengan demikian, sebagian besar tata air permukaan di Timor Barat diatur oleh hubungan antara Hutan CA Mutis dan daerah tengah serta hilir 2 DAS besar tadi. Riwu Kaho dkk. (2005) mencatat bahwa berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) 1983, luas kawasan cagar alam Mutis mencapai 12.000 ha, terdiri dari beberapa desa enclave dan non enclave serta kawasan pelestarian yang berada pada ketinggian 2.427 m dpl. Sebagai perbandingan, luas hutan di Timor Barat hanya 240,109,178 ha (14,65 %) di mana yang tergolong sebagai hutan primer kering tidak lebih dari 6,15 % (Munda, 2000 dalam Riwu Kaho, 2005). Sementara data di ForDAS NTT (2006) menunjukan bahwa hutan di seluruh DAS Benenain-Noelmina hanya sekitar 11%. Jika Jumlah luas kawasan hutan ini dibandingakn denan ketentuan yang ada di dalam UU No. 41/199 tentang Kehutanan maka bias ditarik kesimpulan bahwa: 1) hutan Timor Barat dalam keadaan kritis dan 2) Hutan Mutsi merupakan sala satu bentang terakhir kawasan hutan di Timor Barat. Begitulah nilai penting Mutis bagi kawasan hutan di Timor Barat.

Arti penting kawasan hutan CA Gunung Mutis tidak hanya sebagai kawasan DAS hulu. Lentz, et al (1998) menyatakan nilai dari kawasan ini dapat terlihat dalam tiga tingkatan yaitu: tingkat lokal, regional dan internasional.
1) Pada tingkat lokal, hutan Mutis telah lama digunakan dan dikelola oleh masyarakat sebagai area penggembalaan ternak. Selain itu, lokasi ini merupakan sumber air bagi kebutuhan rumah tangga, sumber kayu untuk bahan-bahan bangunan dan kayu bakar. Dan juga, produk-produk kayu atau non kayu, seperti cendana dan madu, pun turut memainkan peran sebagai tambahan pendapatan rumah tangga.
2) Pada tingkat regional, kawasan Mutis merupakan daerah hulu terbesar bagi wilayah Timor Barat, karena sedikitnya terdapat dua sungai besar yang berhulu di Gunung Mutis yaitu DAS Benain dengan luas 384.330 ha dan DAS Noelmina dengan luas 215.622 ha, sekaligus merupakan jantung utama kebutuhan air untuk masyarakat di Timor Barat. Nilai hidrologis dari Mutis ini terutama bersumber dari curah hujan tahunan yang tinggi (2000-3000 mm) serta bulan basah yang cukup lama (mendekati 7 bulan basah).
3) Pada tingkat Internasional, nilai ekologis dari Mutis ini sangat unik di Indonesia : hutan pegunungan musiman yang terdiri dari tegakan ampupu (Eucalyptus urophylla) yang hampir seragam, yang merupakan suatu ekosistem yang sulit ditemui di tempat lain di Indonesia. Selain itu, beberapa species flora dan fauna semakin memperkaya ragam ekologis di kawasan ini.
Sebuah peta Lahan Kritis NTT yang dirilis oleh BPDAS NTT (2007) menunjukkan bahwa luas lahan kritis di sekitar Hutan CA Mutis mendekati angka 80-an %. Sudah barang tentu cara menafsirkan angka ini tidak boleh dilakukan sembarangan karena didasarkan atas beberapa sumsi ilmiah tertentu. Akan tetapi, sebaiknya angka ini dijadikan sebagai indicator bahwa ada masalah besar di Hutan CA Mutis. Data pada ForDAS NTT (2006) menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terdapat kecenderungan meningkatnya debit sungai yang mengakibatkan banjir pada periode ulang tertentu, yaitu pada masa-masa musim penghujan. Akibatnya, bencana banjir di DAS Benenain selalu terjadi setiap tahun. Pada tahun 2002 dan 2006 bencana banjir itu terbilang oarah dengan menelan kerugia nyawa serta material lain yang amat besar. Demikan juga dengaan fakta meningkatnya sedimentasi di muara-muara sungai DAS Benanain dan Noelmina. Dalam kerangka piker bahwa DAS merupakan 1 kesatuan ekosistem maka hal itu dapat merupakan petunjuk yang memadai bahwa ada masalah di Mutis.

Sebuah survey yang dilakukan oleh WWF pada tahun 2003 memberikan petunjuk kuat bahwa hutan dan lahan di kawasan Hutan CA Mutis mengalami tekanan yang berat karena beberapa sebab, yaitu penggembalaan bebas, illegal loging dan kebakaran hutan. Penelitian oleh Riwu Kaho dkk. (2005) yang juga dibiayai oleh WWF memberikan petunjuk bahwa kendati tingkat kesejahteraan penduduk di sekitar Hutan CA Mutis berada di atas garis kemiskinan akan tetapi kerentanan lingkungan tela berada di ambang bata daya dukung (carryng capacity). Ekstensifikasi pertanian dapat berujung pada kehancuran ekosistem Hutan CA Mutis dalam 20-30 tahun mendatang. Berdasarkan hasil analisis hubungan antar variable tingkat pendapatan petani (y) peserta progam dengan perspektif petani terhadap program intervensi oleh WWF dan mitra yang meliputi motivasi (x1), pemberian akses kawasan (x2), kesempatan kerja/kesempatan berusaha (x3) menghasilkan beberapa kesimpulan dan yang terpenting adalah perluasan akses petani ke kawasan hutan akan menurunkan pendapatan petani. Mengap demikian? Riwu Kaho dkk. (2005) berpendapat bahwa penurunan pendapata akan terjadi jika akses dimaksud menurunkan penurunan kemampua kawasan. Artinya, ekstensifikasi pertanian di Hutan CA akan mengancam kelestarian sumberdaya hutan CA. Indikasi bahwa tingkat lahan kritis di Mutis meningkat dari tahun ketahun memberikan verifikasi yang memada terhadap ramalam Riwu Kaho dkk. (2005) tersebut. Maukan kita melihat Mutis yang hancur?

TANDA AWAL PROSES PENGGURUNAN DI SUMBA TIMUR
Oleh
L. Michael Riwu Kaho
(Dosen Undana, Doktor dalam Bidang Ilmu Kehutanan)

Bukit Wairinding yang diteliti adalah bagian dari Desa Pambota Jara, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur. Daerah ini terletak pada ketinggian di antara 100 – 200 m di atas permukaan laut dengan formasi vegetasi asli adalah padang rumput savanna. Iklim kawasan ini merupakan gambaran umum tipe iklim E, menurut klasifikasi iklim Schmidt-Fergusson, yaitu tipe iklim kering – semi kering (arid – semi arid). Apakah, daerah Wairinding terindikasi mengalami poses penggurunan?

Defenisi proses penggurunan (desertification) adalah sebagai berikut:
“Desertification is the extreme deterioration of land in arid and dry sub-humid areas due to loss of vegetation and soil moisture;”
Defenisi di atas memberikan petunjuk kuat bahwa proses penggurunan adalah proses kemunduruan, atau bisa juga disebut sebagai pendegradasian lahan, karena proses penghilangan vegetasi dan penurunan kelembapan tanah. Biasanya penyebab utama proses penggurunan adalah akibat aktivitas manusia (man-made activities) yang juga dipengaruhi oleh variasi iklim. Bukti-bukti perubahan ikli global dan dampak local dimaksud tidak terbantuahkan dan juga melanda Sumba Timur. Maka, factor ini terpenuhi. Lantas, jika dibandingkan dengan kondisi 50-100 tahun lalu maka luas hutan di Pulau Sumba sekarang (2007) yang hanya sekitar 6-7% adalah suatu kemunduruan formasi vegetasi yang kuar biasa. Dari aspek inipun, gejala umum proses penggurunan patut diduga telah terjadi di Wairinding, Sumba Timur. Akan tetapi bukti ini harus ditelusuri lebih jauh.

Pengamatan di 10 titik sampling di sekitar perbukitan Wairinding menunjukkan bahwa total basal area yang tercovrer oleh vegetasi tidak lebih dari 20%. Sebagian besar vegetasi adalah rumput jenis annual yang hanya tumbuh semusim. Jenis Fymbristilis sp. Dan Eragrostis sp, tampak mendominasi. Di semua titik penamatan juga tercatat bahwa batuan induk telah berada pada bagian teratas profil tanah sedangakn di lembah-lembah sekitar bukit di Wairinding kedalama lapisan tanah hasilerosi dan sedimentasi mencapai 1-2 meter. Profil tanah normal adalah urutan O –A – E – B – C – R di mana, O : Serasah / sisa-sisa tanaman (Oi) dan bahan organik tanah (BOT) hasil dekomposisi serasah (Oa) A: Horison mineral ber BOT tinggi sehingga berwarna agak gelap; E : Horison mineral yang telah tereluviasi (tercuci) sehingga kadar (BOT, liat silikat, Fe dan Al) rendah tetapi pasir dan debu kuarsa (seskuoksida) dan mineral resisten lainnya tinggi, berwarna terang. B : Horison illuvial atau horison tempat terakumulasinya bahan-bahan yang tercuci dari harison diatasnya (akumulasi bahan eluvial). C : Lapisan yang bahan penyusunnya masih sama dengan bahan induk (R) atau belum terjadi perubahan R : Bahan Induk tanah. Profil tanah pengamatan mirip profil pada lapisan C. Tak Pelak lagi, dua indikator terpenting proses penggurunan telah tampak di Wairinding, Sumba Timur.

Proses pengguruan yang dramatis yang pernah terjadi di the Great Plain, Amerika Serikat, Maerika Serikat yang bermula pada tahun 1930-an memberikan petunjuk lebih lanjut bahwa peternakan yang berlebihan (overgrazing) yang terjadi bersamaan dengan pola mosaic iklim mikro dan kebakaran lahan yng massif merupakan penyebab utama pengubahan sebagian Great Plain menjadi bioma gurun “dust bowl”. Pola penggunaan lahan seperti yang terjadi di Great Plain tampak jelas terjadi juga di Wairinding ketika pengamatan. Maka, sulit untuk dihindarkan jika dikatakanbahwa proses penggurunan telah menampakkan wajahnya d Wairinding. Pilhan kita adalah “melanjutkannya secara lebih cepat lebih baik” atau menghentikannya sekarang juga.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

menarik dengan tulisan bapak,proses penggurunan di sumba timur kemungkinan terjadi namun ada beberapa data yang mungkin belum pas diantara luas tutupan lahan, berdasarkan data dari Burung Indonesia bahwa luas kawasan berhutan dengan fragmen cukup luas adalah 6%, namun fragmen fragmen kecil belum dihitung, sehingga kalo dihitung akan lebih dari 6%. Namun kita tidak ingin membincangkan hal tersebut, yang menarik adalah adanya fragmen fragmen hutan sebagai bukti pengaruh penebangan dan kebakaran. Suatu cita cita seandainya fragmen2 tersebut dihubungkan seperti lingkaran obat nyamuk. Konsep penghubung lingkaran obat nyamuk dapat menengahi kepentingan konservasi dengan kepentingan ekonomi (peternakan). sederhana saja mungkin diluar pita pita vegetasi merupakan padang penggembalaan di kelilingi oleh vegetasi yang menjadi sarana cover. pas banget nantinya sebagai grazing area raksasa di pulau sumba

Anonim mengatakan...

mohon ijin lagi pak.. dalam tulisan mutis bapak bahwa "kawasan CA Mutis Timau 75.000 ha dan 12.000 ha sebagai kawasan inti CA". Sebagai bahan perbandingan saya sampaikan bahwa Mutis Timau adalah kelompok hutan dengan nama RTK (register tanah kehutanan) 183 Mutis Timau dimana didalamnya terbagi menjadi beberapa fungsi hutan diantaranya adalah fungsi suaka alam seluas 12.000 ha yaitu CA. Gunung Mutis, dan TWA Bipolo seluas kira 200 ha. Selain fungsi konservasi di RTK 183 terdapat fungsi lindung, dan fungsi produksi

Web Designers mengatakan...

Thanks for sharing this wonderful article. thanks.

M. Ridha R.D mengatakan...

Blognya Sangat Bagus

Jangan Lupa Mampir ya di Blogku

www.ridhamtsn.blogspot.com

M. Ridha R.D mengatakan...

Blognya Sangat Bagus

Jangan Lupa Mampir ya di Blogku

www.ridhamtsn.blogspot.com

bahan kuliah 2, MK Pengendalian Kebakaran dan Penggembalaan Liar, Prodihut, S1

Fakta Empirik Kebakaran dan Penggembalaan Liar di Indonesia  Musim kemarau panjang di Indonesia identik dengan masalah akut seputar...