Strategi Mereduksi Bahaya Penggembalaan
Suatu kajian menarik yang dilakukan di kawasan Hutan CA Mutis-Timau oleh Tim WWF Nusra (2003) memberikan petunjuk sebagai berikut. Dilaporkan bahwa cukup tinggi persentasi responden (92.5%) yang paham bahwa hutan Mutis Timau perlu dikonservasi justru karena merupakan sumber-sumber pemenuhan kebutuhan mereka sendiri seperti air dan kayu, selain alasan budaya. Terdapat 89% responden menolak penebangan hutan, 75% menolak konversi hutan menjadi lahan pertanian, 76% menolak aktivitas perburuan margasatwa tetapi terdapat 51% responden menolak untuk tidak menggembalakan sapi di dalam kawasan hutan. Alasan yang dikemukakan antara lain ternak tidak merusak pohon, ternak dapat mengurangi kebakaran hutan dan karena praktek pengembalaan merupakan tradisi sejak nenek moyang.
Jika Kawasan Mutis, dalam catatan antropologi yang ada pada BKSDA (Tengko, 2005 – komunikasi pribadi), merupakan daerah asal muasal 8 Amaf di Timor Barat maka penolakan tersebut dapat dikatakan merupakan sikap penolakan kultural. Konsekuensinya adalah, alasan yang sama akan dikemukakan di manas saja di Timor jika ternak dilarang untuk merumput di atas padang rumput.
Berdasarkan fakta di atas maka dalam konsepsi perlidungan hutan terhadap gangguan karena penggembalaan maka tindakan terbaik bukannya melarang melainkan mengatur. Hal ini sesuai dengan pendapat Hollecheck et al. (1983) dan Riwu Kaho (2005) bahwa ancaman terhadap daerah pangonan terjadi hanya jika jumlah ternak melebihi kapasitas tampung. Bukti kuat tentang hal ini adalah temuan Riwu Kaho dkk. (2003) yang mengkaji sifat agroekoistem di kawasan Hutan CA Mutis, di mana ternak dilepaskan merumput ke dalam kawasan hutan, yang bersifat cukup stabil. Walaupun populasi sapi diperkirakan sebanyak 24 ribu ekor di dalam hutan seluas 12 ribu hektar tetapi dengan daya tampung sekitar 2 UT/ha belum terlihat gejala degradasi yang bersifat dipercepat kecuali illegal logging yang dilakukan oleh sekelompok orang di Daerah Bonle’u dan sekitarnya.
Jika Kawasan Mutis, dalam catatan antropologi yang ada pada BKSDA (Tengko, 2005 – komunikasi pribadi), merupakan daerah asal muasal 8 Amaf di Timor Barat maka penolakan tersebut dapat dikatakan merupakan sikap penolakan kultural. Konsekuensinya adalah, alasan yang sama akan dikemukakan di manas saja di Timor jika ternak dilarang untuk merumput di atas padang rumput.
Berdasarkan fakta di atas maka dalam konsepsi perlidungan hutan terhadap gangguan karena penggembalaan maka tindakan terbaik bukannya melarang melainkan mengatur. Hal ini sesuai dengan pendapat Hollecheck et al. (1983) dan Riwu Kaho (2005) bahwa ancaman terhadap daerah pangonan terjadi hanya jika jumlah ternak melebihi kapasitas tampung. Bukti kuat tentang hal ini adalah temuan Riwu Kaho dkk. (2003) yang mengkaji sifat agroekoistem di kawasan Hutan CA Mutis, di mana ternak dilepaskan merumput ke dalam kawasan hutan, yang bersifat cukup stabil. Walaupun populasi sapi diperkirakan sebanyak 24 ribu ekor di dalam hutan seluas 12 ribu hektar tetapi dengan daya tampung sekitar 2 UT/ha belum terlihat gejala degradasi yang bersifat dipercepat kecuali illegal logging yang dilakukan oleh sekelompok orang di Daerah Bonle’u dan sekitarnya.
Bentuk pengaturan yang dapat disarankan adalah:
- Jika tegakan hutan berupa hutan savana terbuka maka penggembalaan dapat dilakukan dengan menyesuaikan jumlah ternak dengsan kapasitas tampung.
- Jika jumlah perumput melebihi kapasitas tampung maka jala keluar terbaik adalah dengan memberikan pakan tambahan di dalam kandang. Riwu Kaho et al. (2003) menemukan fakta bahwa penambahan pakan tambahan dalam kandang berupa daun hijaun yang berasal dari MPTS yang ditaman sebagai pagar kebun (life fence) dan suplemen mineral blok menyebabkan menurunnya tekanan penggembalaan pada hutan savana di Ekateta. Hal ini terjadi karena pada umumnya ternak yang telah tercukupkan kebutuhan gizinya akan mengurangi radius jelajahnya dalam mencari hijauan pakan (Hollecheck et al., 1983).
- Berdasarkan butir 3 di atas maka penerapan sistem petanian terpadu pola agro-silvo-pastoral menjadi pilihan yang masuk akal.
12 komentar:
Komponen-komponen Mamar
Dalam satu unit mamar terdapat komponenkomponen usaha yang dikembangkan dan saling berinteraksi positif dalam mendukung keseimbangan ekosistem mamar sehingga menjamin produktivitas yang berkelanjutan. Mamar memiliki komponen yang cukup lengkap antara lain:
1) Tanaman pangan
Jenis tanaman yang dikembangkan dalam komponen ini yaitu: padi, jagung, keladi, sayur sayuran, kacangkacangan, ubi jalar dan ubi kayu. Berbagai jenis tanaman ini, dikembangkan dengan sistem tumpang gilir dan tumpang sari disesuaikan dengan jenis dan sifat tanaman. Tanaman keladi misalnya dikembangkan dengan sistem tumpang sari dengan tanaman umur panjang karena tanaman ini cukup cocok untuk tumbuh di bawah naungan dengan kondisi tanah
sedikit becek.
2) Tanaman umur panjang,
Merupakan komponen yang paling penting dari satu unit mamar. Jenis tanaman yang dikembangkan yaitu: pinang, sirih, kelapa, bambu, nangka, jeruk, palma, sukun, jambu air, mangga, pandan dan jenis tanaman hutan lainnya yang merupakan tanaman asli. Pola tanam berbagai jenis tanaman ini kurang teratur Zona tanaman semusim, model pengelolaan zona ini tergantung pada berbagai potensi yang dimiliki dimana pada umumnya dikelola menjadi sawah untuk areal yang mudah diairi dan “Lel Tolas” (kebun tetap) untuk daerah yang berada di ketinggian.
3) Ternak
Merupakan salah satu komponen penting dalam satu unit mamar karena mempunyai interaksi cukup kuat dengan komponen lain. Jenis ternak yang dikembangkan adalah sapi, kambing, babi dan ayam. Selain itu, dalam satu unit mamar dapat juga dikembangkan ikan melalui pembuatan kolam ikan air tawar.
Hubungan Interaksi Antar Komponen
Pengembangan berbagai jenis tanaman umur panjang di sekitar mamar cukup membantu menjaga kestabilan debit air dengan mengurangi penguapan yang cukup tinggi pada musim kemarau sehingga dapat mendukung usaha pengembangan tanaman sayur-sayuran dan tanaman pangan terutama padi sawah.
Dukungan lain yang cukup nyata yaitu adanya pelapukan bahan organik yang dilarang cukup keras untuk diambil sehingga menjadi sumbangan pupuk yang cukup berarti bagi pertumbuhan tanaman keras maupun tanaman semusim lainnya terutama talas dan jenis sayursayuran (kangkung dan selada). Sumbangan bagi pakan ternak dirasakan cukup kuat dengan adanya berbagai limbah hasil panen dan hijauan makanan ternak yang ada.
Tanaman semusim yang dikembangkan dengan sistem tumpang sari maupun tumpang gilir berfungsi memberikan sumbangan pupuk bagi tanaman umur panjang dan pakan bagi ternak yang dikembangkan. Tanaman sayur (terutama kangkung dan selada) cukup mendukung bagi kenyamanan ikan, belut, udang yang dikembangkan dalam air. Ternak sapi memberikan sumbangan pupuk cukup berarti bagi tanaman umur panjang dan tanaman semusim lainya. Dalam kaitan dengan interaksi antar berbagai komponen ini, pengelolaan mamar dikembangkan melalui berbagai teknik yang dapat mengoptimalkan siklus air, unsur hara dan aliran energi matahari.
Fungsi dan Manfaat Produk Mamar
1. Aspek ekologis
2. Aspek ekonomis
3. Aspek sosial budaya
NAMA-NAMA KELOMPOK 4 (MAMAR)
1. ISRAN : 0805022834
2. JORDAN RIWU KAHO : 0805022837
3. RACHMAD A. PRASETYO : 0805022848
4. ISHAK U. NG. DJAWA : 0805022833
5. YOHANES MANULANGGA : 08050228
6. AGUS ND. TIKAWANDA : 0805022815
7. ANTONITA TANELAPH : 080502281
8. LIMA DJARA DJAMI : 08050228
9. VERIANUS LEOMBANI : 08050228
KELOMPOK II “HUTAN LONTAR”
NAMA : RICKO A. TAOPAN
: ROBERTUS LOWA SITO
: ANA YULIN HENDRIK
: APLIANA K. AWA
: RENI S.S ANDA
: YOHANES NUWA
: YORI R. MENOH
Kelompok kami mendiskripsikan sistem Agroforestri tradisional Hutan Lontar dengan mengambil contoh sistem yang di lakukan di dessa Melolo di wilayah kabupaten Sumba Timur.
masyarakat sabu yang tinggal di desa melolo di wilayah kabupaten sumba timur dalam kehidupanya masih tradisional. mereka mempunyai sistem pengetahuan tentang sumber daya alam tunbuh-tunbuhan tersendiri yang merupakan pengetahuan dasar yang amat penting dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. tingkat pengetahuanya tersebut tentu berbeda dengan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lain. perbedaan ini tergantung dari lingkungan alam tumbuhan disekitar tempat mereka bermukim. pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan itu akan berkembang sejalan dengan meningkatnya budaya dan pengetahuan tentang cara ppengolahan bahan dari tumbuhan.
dalam pertumbuhanya tanaman ini tidak membutuhkan perrsyaratan khusus, tanaman ini dapat tumbuh dimana saja didaerah tropik, bahkan tanaman ini dapat tumbuh dengan baik didaerah yang kering seperti di NTT. tumbuhan ini menyukai tempat yang terbuka, kering dan berudara pantai.tumbuhan baik pada ketinggian 0-500 m dpl.
lontar merupakan salah satu anggota marga BORASSUS yang mempunyai nilai sosial ekonomi penting bagi kehidupan masyarakat melolo. masyarakat melolo disumba timur dalam kehidapan sehari-hari banyak memnfaatkan tumbuh-tumbuhan yang ada disekitarnya, salah satunya adalah lontar tersebut. umunya tanaman lontar ini tumbuh secara alami dapat dijumpai dibeberapa lahan perttanian seperti disawah tadah hujan dan dirtanah ladang dan tidak dibudidayakan secara khusus. akan tetapi pada tahun terakhir ini, masyarakat melolo mencoba menanam lontar di pekarangan, ladang atau disawahnya yang letaknya tidak jauh dari pemukimanya. tanaman ini ditanam dengan cara tidak beraturan bercampur dengan jenis tumbuhan lainya.
mengingat lontar merupakan tanaman serba guna yang pemanfaatanya masih dilakukan secara tradisional dan budiddayanya belum mendapat perhatian dan masih dilakukan secara tradisional, maka tanaman lontar perlu mendapat perhatian yang lebih besar agar diperoleh nilai tambah dalam pemanfaatanya.
dari kajian pemanfaatan da aspek ssosial ekonomi lontar, dimana merupakan salah satu tumbuhan yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat di kabupaten sumba timur. oleh katrena itu diperlikan usaha peremajaan dan pengembangan tanaman lontar guna mencukupi kebutuhan tersebut. hal ini sangat penting untuk menaga ketersediaan tanaman lontar sehingga kebutuhanya sebagai bahan baku kerajinan, bahan pangan, bahan bangunan dan lainya akan tetap tersedia.
sebenarnya usaha pengembangan lontar dengan membudayakan masyakat menanm lontar dilahan pertanianya, merupakan cara konservasi yang paling efektif dan efesien. cara ini mempunyai fungsi ganda yaitu meningkatkan produksi produk-produk yang dihasilkan lontar dan secara tidak langsung adalah konservasi in-situ. membudayakan penanaman lontar dapat dilahan kosong disekitar pemukimanya atau diladang dimana lontar tersebut dapat tumbuh dengan baik. upaya lain adalah dengan menjaga dan memelihara tegakan alami lontar yang ada dilingkunganya. dengan demikian bahan baku dapat tersedia untuk mengantisipasi makin meningkatnya kebutuhan daun lontar atau nira untuk membuat gula merah.
peran para peneliti dalam pelestarian lontar dengan upaya konservasi ex-situ sebagai koleksi untuk sumber bahan genetik guna dikembangkan lebih lanjut. selain itu penelitian dibidang agronomi merupakan upaya penting untuk menjadikan lontar sebagai kebun rakyat atau perkebunan rakyat.
Nama : Yusuf Hiwa Wunu
Skolastika Rebo
Ariance R.B.Roni
Ellen A. Lango
Ellen Loak
Vebi Abanat
Dionisius Kehi
Maria R. Alves
HUTAN SAVANA DAN PADANG PENGEMBALAAN LEPAS
Savanna merupakan tempat di mana terdapat rumput yang tinggi dan pendek, semak, pohon, dan tanah kosong. Struktur ekosistem savana tersusun atas pohon-pohon yang menyebar dengan kanopi yang terbuka sehingga memungkinkan rumput untuk tumbuh di lantai komunitas.
Hutan savanna merupakan tempat di mana populasi pohon lebih mendominasi atau lebih banyak dibandingkan rumput. Menurut pakar silvikultur, Daniel et al. (1995), savanna dikategorikan sebagai sebagai hutan. Penulis ini memberi penjelasan yang sangat komprehensif tentang bentuk dan proses terjadinya savana sebagai berikut.
Musim kemarau yang panjang dan kering memberikan pengaruh yang nyata terhadap terbentuknya hutan musim atau hutan monsoon. Ciri hutan ini, antara lain, hampir semua jenis pohon menggugurkan daun pada musim kemarau, pohonnya tidak begitu tinggi dan banyak cahaya yang menembus ke lantai. Bila mana curah hujan benar-benar sangat musiman dengan musim kemarau sangat berangin, dan barangkali faktor-faktor lain juga berpengaruh (masalah yang sangat kontroversial), maka hutan musim akan berkembang menjadi savana karena bertambahnya kekeringan.
Padang penggembalaan lepas merupakan tempat dimana terdapat berbagai macam tanaman mulai dari herba sampai pohon (rumput dan legum) yang dapat dimakan oleh ternak dan tahan terhadap injakan ternak. Ternak biasanya dilepas di padang tersebut untuk memanfaatkan hijauan makanan ternak yang ada.
Ladang Berpindah
Ladang Berpindah adalah kegiatan pertanian yang dilakukan dengan cara berpindah-pindah tempat. Ladang dibuat dengan cara membuka hutan atau semak belukar. Pohon atau semak yang telah ditebang/dibabat setelah kering kemudian dibakar. Setelah hujan tiba, ladang kemudian ditanami dan ditunggu sampai panen tiba. Setelah ditanami 3 – 4 kali, lahan kemudian ditinggalkan karena sudah tidak subur lagi.
Ladang berpindah adalah suatu kegiatan pertanian yang dilakukan di banyak lahan hasil pembukaan hutan atau semak di mana setelah beberapa kali panen / ditanami, maka tanah sudah tidak subur sehingga perlu pindah ke lahan lain yang subur atau lahan yang sudah lama tidak digarap.
Kejadian ini berlangsung terus menerus, setelah jangka waktu 10 - 20 tahun, para petani ladang kembali lagi ke ladang yang pertama kali mereka buka.
Sistem pertanian ladang berpindah sebagai salah satu bentuk pengetahuan ekologi tradisional telah lama dikenal masyarakat luas dan telah lama pula dipraktekkan di berbagai negara, termasuk di Indonesia
Sistem ladang berpindah ini dapat mengakibatkan dampak negatif, diantaranya :
o Mengurangi luas hutan
o Kerusakan hutan,
o Tanah menjadi tandus / lahan kritis
o Tanah mudah tererosi,
o Kebakaran hutan,
o Pencemaran udara.
Sistem ladang berpindah merupakan mata pencaharian yang tidak pernah bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat dulu hingga sekarang, terutama masyarakat yang tinggal didaerah pedalaman dan masih mengantungkan hidupnya dari alam. sistem pertanian ladang berpindah merupakan warisan dari budaya leluhur nenek moyang mereka sebagai upaya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Pola perladangan berpindah dilakukan oleh masyarakat Dayak tergolong sederhana, sebuah aktivitas dan kreativitas secara turun-temurun dilakukan sehingga menjadi ilmu sederhana yang selalu menjadi bagian penting dalam menopang hidup keluarga.
Sistem pertanian ladang berpindah telah dikenal sekitar 7.000 tahun silam. Biasanya petani lading berpindah menentukan kapan waktu yang dianggap cocok untuk membuka ladang baru, konon cerita nenek moyang mereka keberhasilan panen padi sangat dipengaruhi oleh penentuan hari dan penanggalan yang dianggap cocok. Bulan Juni dan juli dianggap cocok dan bulan Agustus merupakan bulan yang tepat untuk membakar ladang karena dibulan ini musim kemarau cukup membantu dalam mengeringkan lahan. Setelah lahan dibakar maka proses selanjutnya adalah menanam benih-benih dengan cara menugal dan merawat tanaman sanpai berumur 6-7 bulan sehingga dapat dipanen, ketika itu pula mereka harus bersisp-siap mengangkut hasilnya dan membuat lumbung padi untuk menyimpan hasil panen agar lebih tahan lama. Secara bergilir mereka membuka lahan per tahun, tiap hektarnya hanya akan ditanami sekali lalu dibiarkan kembali menjadi hutan. Nanti 10-20 tahun kemudian, ketika giliran membuka lahan pertama, lahan tersebut sudah benar-benar menjadi hutan dan siap untuk dijadikan ladang kembali.
Kondisi udara, awan dan atmosfer yang ditutupi asap seperti pulau Kalimantan dan Sumatera yang cukup luas terkadang menembus ke wilayah tetangga seperti Malaysia, Brunei dan Singapura. Hutan Indonesia sebagai produsen asap sering mendapat protes tidak hanya dari negeri jiran bahkan dunia internasional lagi-lagi penduduk lokal dianggap sebagai penyebab utamanya. Sebagai putra asli Dayak yang merupakan keturunan dan anak cucu peladang berpindah merupakan sebuah kewajiban untuk menyampaikan gagasan yang bersifat membangun dari sisi pandangan pribadi atas masalah yang selalu menimpa masyarakat kita, sungguh tudingan ini ibarat cambuk yang melekat dihati dan sengaja menyudutkan suku-suku Dayak sebagai pelaku utama dalam merusak hutan. Sebagai orang yang bijaksana perlu rasanya kita memandang masalah ini secara seksama pada pemahaman yang relefan dan tidak menyudutkan salah satu pihak.
Dalam konteks sistem ladang berpindah ada beberapa fakta menarik selama ini yang dapat kita gali lebih dalam bahwa ternyata peladang berpindah (petani Dayak) bukanlah perusak hutan karena : Pertama, dalam membuka lahan garapannya secara keseluruhan petani hanya membutuhkan tidak lebih dari 9.000 hektar atau kurang lebih 90 Ha lahan baru per tahunnya, dalam hal ini kemampuan petani dalam mengolah lahan juga sangat terbatas karena hanya mengunakan tenaga ala kadarnya dan tidak menggunakan teknologi modern yang dapat menjangkau lokasi dan kawasan yang mereka inginkan seperti kebanyakan perkebunan skala besar (HPH), suatu jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan luas hutan yang diusahakan oleh para pemegang konsensi hutan yang jumlahnya sampai jutaan hektar. Kedua, letak wilayah garapan ladang juga tidak jauh (tidak lebih dari 5 km) dari tempat tinggal mereka. Ketiga, mengarap lahan hanya untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari saja sekadar mencukupi keperluan pangan, tidak bertujuan untuk usaha komersial. Keempat, penduduk tepian hutan dengan sistem pertanian ladang berpindahnya telah puluhan tahun bahkan mungkin ratusan tahun tinggal di tepi hutan dan melakukan sistem pertanian ladang berpindah tanpa ada dampak serius dari rusaknya hutan.
Jelas sekali bila dilihat lebih jauh bahwa ternyata sistem ladang berpindah secara ekologis saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara manusia dan sejumlah satwa lainnya disekitar hutan. Ketika petani membuka lahan maka lahan tersebut akan ditumbuhi oleh rumput dan tanaman-tanaman baru yang akan menjadi sumber makanan sejumlah satwa yang tinggal disekitar hutan tersebut. Berdasarkan data yang ada sejak tahun 1980 tidak pernah terjadi dampak negatif dari aktivitas pemanfaatan hutan oleh masyarakat yang mengganggu lingkungan hidup baik kehidupan flora, fauna dan bagi masyarakat sendiri.
Begitu pula tentang kebakaran hutan dan kabut asap hingga tahun 1980 belum pernah menyaksikan langsung atau mendengar ceritanya. Dampak kerusakan hutan yang ditimbulkan dari sistem pertanian ladang berpindah juga relatif kecil jika dibandingkan dengan kerusakan hutan akibat jutaan hektar izin pembukaan lahan untuk HPH.
Nama – Nama kelompok 1
1. Yeheskiel . L. Limu
2. Agustinus Reo
3. Hendrikus Rebon
4. Celiliana M, Gomang
5. Erni Keba
6. Floriana Lese
7. Libransia Ria
setuju pak
selamatkan hutan kami
like this blog
visit me plz..
HUtan kita semakin dieksploitasi sehingga banyak sekali bencana...
Kunjungi jg Blog saya :>>
http://bo-rvdp1.blogspot.com/p/odap.html
http://kerjaonlineentrydata.blogspot.com/
nice post learning understanding self
Posting Komentar