SISTEM AGROFORESTRI DI INDONESIA
Kurniatun Hairiah, Sunaryo dan
Widianto
1. Agroforestri: ilmu baru, teknik lama
Penanaman berbagai macam pohon
dengan atau tanpa tanaman setahun (semusim) pada lahan yang sama sudah sejak
lama dilakukan petani di Indonesia. Contoh ini dapat dilihat dengan mudah pada
lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal petani. Praktek ini semakin meluas
belakangan ini khususnya di daerah pinggiran hutan dikarenakan ketersediaan
lahan yang semakin terbatas. Konversi
hutan alam menjadi lahan pertanian disadari
menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi,
kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan
global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan
meningkatnya luas areal hutan yang dikonversi menjadi lahan usaha lain. Maka
lahirlah agroforestri sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di
bidang pertanian atau kehutanan. Ilmu ini berupaya mengenali dan mengembangkan
keberadaan sistem agroforestri yang telah dikembangkan petani di daerah
beriklim tropis maupun beriklim subtropis sejak berabad-abad yang lalu.
Agroforestri merupakan gabungan ilmu kehutanan dengan agronomi, yang memadukan
usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara
intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan (Bene, 1977; King 1978; King, 1979).
Agroforestri diharapkan
bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan
sumberdaya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta menyempurnakan intensifikasi
dan diversifikasi silvikultur. Sistem ini telah dipraktekkan oleh petani di
berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad (Michon dan de Foresta, 1995),
misalnya sistem ladang berpindah, kebun campuran di lahan sekitar rumah
(pekarangan) dan padang penggembalaan. Contoh lain yang umum dijumpai di Jawa
adalah mosaik-mosaik padat dari hamparan persawahan dan tegalan produktif yang
diselang-selingi oleh rerumpunan pohon. Sebagian dari rerumpunan pohon tersebut
mempunyai struktur yang mendekati hutan alam dengan beraneka-ragam spesies tanaman.
Berdasarkan motivasi yang
dimiliki petani, terdapat dua sistem terbentuknya agroforestri di lapangan
yaitu sistem bercocok tanam "tradisional" dan sistem
"modern". Sistem "tradisional" adalah sistem yang "dikembangkan
dan diuji" sendiri oleh petani, sesuai dengan keadaan alam dan kebutuhan
atau permintaan pasar, serta sejalan dengan perkembangan pengalamannya selama
bertahun-tahun dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Dalam sistem
“tradisional”, pengembangan bercocok tanam biasanya hanya didasarkan pada usaha
coba-coba (trial and error), tanpa
penelitian formal maupun bimbingan dari penyuluh/petugas lapangan. Dalam sistem
bercocok tanam "modern", gagasan dan teknologi berasal dari
hasil-hasil penelitian.
2. Jenis Agroforestri
Dalam
Bahasa Indonesia, kata Agroforestry dikenal
dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti
sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De Foresta
dan Michon (1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu
sistem agroforestri sederhana dan
sistem agroforestri kompleks.
2.1 Sistem Agroforestri Sederhana
Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana
pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan
satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar
mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau
dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk
lorong/pagar.
Jenis-jenis pohon yang ditanam
juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet,
cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, belinjo, petai, jati dan mahoni atau
yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis
tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo),
jagung, kedelai, kacang- kacangan, ubi kayu, sayur-mayur dan rerumputan atau
jenis-jenis tanaman lainnya.
Bentuk agroforestri sederhana
yang paling banyak dibahas di Jawa adalah tumpangsari
(Bratamihardja, 1991). Sistem ini, dalam versi Indonesia, dikenal dengan “taungya” yang diwajibkan di areal hutan
jati di Jawa dan dikembangkan dalam rangka program perhutanan sosial dari Perum
Perhutani. Pada lahan tersebut petani diijinkan untuk menanam tanaman semusim
di antara pohon-pohon jati muda. Hasil tanaman semusim diambil oleh petani,
namun petani tidak diperbolehkan menebang atau merusak pohon jati dan semua
pohon tetap menjadi milik Perum Perhutani. Bila pohon telah menjadi dewasa,
tidak ada lagi pemaduan dengan tanaman semusim karena adanya masalah naungan
dari pohon. Jenis pohon yang ditanam khusus untuk menghasilkan kayu bahan
bangunan (timber) saja, sehingga akhirnya terjadi perubahan pola tanam dari
sistem tumpangsari menjadi perkebunan jati monokultur. Sistem sederhana tersebut
sering menjadi penciri umum pada pertanian komersial (Siregar, 1990).
Dalam perkembangannya, sistem
agroforestri sederhana ini juga merupakan campuran dari beberapa jenis
pepohonan tanpa adanya tanaman semusim. Sebagai contoh, kebun kopi biasanya
disisipi dengan tanaman dadap (Erythrina)
atau kelorwono disebut juga gamal (Gliricidia)
sebagai tanaman naungan dan penyubur tanah. Contoh tumpangsari lain yang umum
dijumpai di daerah Ngantang, Malang adalah menanam kopi pada hutan pinus (lihat
box1).
Box 1. Tumpangsari pinus dan kopi
di daerah Ngantang, Malang.
Pada
tahun
1974
Perum
Perhutani menawarkan kepada petani program tumpangsari dan
setiap petani yang mengikuti program ini
berhak mengelola tanah seluas 0.5
ha. Setiap petani memperoleh bibit mahoni atau pinus untuk ditanam.
Mahoni dan pinus merupakan pohon
penghasil timber sebagai sumber keuntungan bagi Perhutani.
Lahan dibuka dari hutan primer,
kemudian ditanami jagung atau ubi kayu
diantara
pohon-pohon pinus yang baru ditanam. Sistem ini terus
berlangsung sampai tanaman pinus berumur 5 tahun, kemudian karena pertumbuhan mahoni kurang baik Perhutani
menawarkan kepada masyarakat untuk menanam kopi diantara tanaman pinus, asalkan
keamanan dan perawatan pohon pinus
tetap terjaga. Tawaran ini disambut baik oleh petani setempat karena harga biji
kopi cukup menarik. Bibit kopi yang ditanam adalah swadaya petani setempat.
Selain kopi, petani juga menanam pisang
sebagai naungan kopi. Hasil buah pisang dikirim ke Pulau Bali sebagai bahan dasar pembuat keripik pisang. Hasil penjualan pisang ini sepenuhnya milik
petani. Sedang hasil penjualan biji kopi
dibagi antara petani dan Perhutani, 2/3 hasil untuk petani dan 1/3 untuk Perhutani. Penyadapan getah pinus dilakukan
bila pinus telah berumur sekitar 20 tahun, penyadapan dilakukan oleh petani dan
hasil sadapan dibeli Perhutani seharga Rp 1000 per kg (harga saat ini, Januari
2002). Hasil timber tetap menjadi milik
Perhutani. Contoh
kasus ini memberikan ilustrasi bahwa keberhasilan program konservasi alam ini
sangat ditentukan oleh keterlibatan dan terjaminnya kesejahteraan masyarakat
setempat.
Bentuk agroforestri sederhana ini
juga bisa dijumpai pada sistem pertanian tradisional. Pada daerah yang kurang
padat penduduknya, bentuk ini timbul sebagai salah satu upaya petani dalam
mengintensifkan penggunaan lahan karena adanya kendala alam, misalnya
tanah rawa. Sebagai contoh,
kelapa ditanam secara tumpangsari dengan padi sawah di tanah rawa di pantai
Sumatera.
Perpaduan pohon dengan tanaman
semusim ini juga banyak ditemui di daerah berpenduduk padat, seperti
pohon-pohon randu yang ditanam pada pematang-pematang sawah di daerah Pandaan
(Pasuruan, Jawa Timur), kelapa atau siwalan dengan tembakau di Sumenep–Madura
(Gambar 2). Contoh lain, tanah-tanah yang dangkal dan berbatu seperti di Malang
Selatan ditanami jagung dan ubikayu diantara gamal atau kelorwono (Gliricidia sepium).
2.2 Sistem Agroforestri Kompleks: Hutan dan Kebun
Sistem
agroforestri kompleks,
adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh
secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan
ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis
pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan
rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks
ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan
ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena
itu sistem ini dapat pula disebut sebagai AGROFOREST (ICRAF, 1996).
Berdasarkan jaraknya terhadap
tempat tinggal, sistim agroforestri kompleks ini dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang letaknya di sekitar
tempat tinggal dan ‘agroforest’, yang
biasanya disebut ‘hutan’ yang
letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta, 2000). Contohnya ‘hutan damar’
di daerah Krui, Lampung Barat atau ‘hutan karet’ di Jambi.
Terbentuknya Agroforestri Kompleks
2.2.1 Pekarangan
Pekarangan atau kebun adalah
sistem bercocok tanam berbasis pohon yang paling terkenal di Indonesia selama
berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai di Jawa Barat adalah sistem pekarangan,
yang diawali dengan penebangan dan pembakaran hutan atau semak belukar yang
kemudian ditanami dengan tanaman semusim selama beberapa tahun (fase kebun). Pada fase ke dua pohon buah-buahan (durian, rambutan, pepaya,
pisang) ditanam secara tumpang sari dengan tanaman semusim (fase kebun campuran). Pada fase ketiga
beberapa tanaman asal hutan yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk
pola kombinasi tanaman asli setempat misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu
lainnya dengan pohon buah-buahan (fase talun). Pada fase ini tanaman semusim
yang tumbuh di bawahnya amat terbatas karena banyaknya naungan. Fase perpaduan
berbagai jenis pohon ini sering disebut dengan fase ‘talun’. Dengan demikian
pembentukan talun memiliki tiga fase yaitu kebun, kebun campuran dan talun.
2.2.2 Agroforest
Agroforest biasanya dibentuk pada
lahan bekas hutan alam atau semak belukar yang biasanya diawali dengan
penebangan dan pembakaran semua tumbuhan. Pembukaan lahan ini biasanya
dilakukan pada musim kemarau. Pada awal musim penghujan, lahan ditanami padi
gogo yang disisipi tanaman semusim lainnya (misalnya jagung dan cabe) selama
satu- dua kali panen. Setelah dua kali panen tanaman semusim, intensifikasi
penggunaan lahan ditingkatkan dengan menanam pepohonan misalnya karet atau
damar atau tanaman keras lainnya. Pada periode awal ini, terdapat perpaduan
sementara antara tanaman semusim dengan pepohonan. Pada saat pohon sudah
dewasa, petani masih bebas memadukan bermacam-macam tanaman tahunan lain yang
bermanfaat dari segi ekonomi dan budaya . Misalnya, petani sering menyisipkan
pohon durian atau duku, di antara pohon karet atau damar. Tanaman semusim tidak
ada lagi karena adanya masalah naungan. Tumbuhan asli asal hutan yang
bermanfaat bagi petani tetap dibiarkan kembali tumbuh secara alami, dan
dipelihara di antara tanaman utama. Contoh pepohonan yang berasal dari hutan
misalnya pulai, kayu laban, kemenyan dan sebagainya. Pemaduan terus berlangsung
pada keseluruhan masa keberadaan agroforest. Tebang pilih akan dilakukan bila
tanaman pokok mulai
terganggu atau bila pohon telah
terlalu tua sehingga tidak produktif lagi. Ditinjau dari letaknya, agroforest
biasanya berada di tepian hutan (forest
margin) atau berada ditengah- tengah antara sistem pertanian dan hutan.
Berdasarkan uraian di atas, semua agroforest memiliki ciri utama yaitu tidak
adanya produksi bahan makanan pokok. Namun sebagian besar kebutuhan petani
yang lain tersedia pada sistem ini, misalnya makanan tambahan, persediaan bahan
bangunan dan cadangan pendapatan tunai yang lain.
Pada prinsipnya, bentuk, fungsi,
dan perkembangan agroforest itu dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologis dan
sosial (FAO dan IIRR, 1995), antara lain sifat dan ketersediaan sumberdaya di
hutan, arah dan besarnya tekanan manusia terhadap sumberdaya hutan, organisasi
dan dinamika usahatani yang dilaksanakan, sifat dan kekuatan aturan sosial dan
adat istiadat setempat, tekanan kependudukan dan ekonomi, sifat hubungan antara
masyarakat setempat dengan ‘dunia luar’, perilaku ekologis dari unsur-unsur
pembentuk agroforest, stabilitas struktur agroforest, cara-cara pelestarian
yang dilakukan
Dibandingkan sistem agroforestri
sederhana, struktur dan penampilan fisik agroforest yang mirip dengan hutan
alam merupakan suatu keunggulan dari sudut pandang pelestarian lingkungan
(Gambar 4). Pada kedua sistem agroforestri tersebut, sumberdaya air dan tanah
dilindungi dan dimanfaatkan. Kelebihan agroforest terletak pada pelestarian
sebagian besar keaneka-ragaman flora dan fauna asal hutan alam (Bompard, 1985;
Michon, 1987; Seibert, 1988; Michon, 1990).
3. Aneka Praktek Agroforest di Indonesia
Indonesia memiliki dua ratus juta
penduduk dari berbagai kelompok etnis sehingga muncul aneka-ragam pilihan
sistem usahatani. Selain itu, hubungan penduduk dengan dunia luar, diwakili
oleh para pedagang Cina, Arab dan Eropa, telah berkembang sejak lama (Dunn,
1975) sehingga permintaan pasarpun juga beraneka ragam. Semua unsur ini menjadi
pendorong proses pembangunan bermacam-macam agroforest.
Sekarang ini sistem agroforest
sepertinya hanya diterapkan oleh petani-petani kecil. Usaha- usaha agroforest
kebanyakan bisa ditemukan di sekitar pemukiman penduduk. Sekeliling rumah
merupakan tempat yang cocok untuk melindungi dan membudidayakan tumbuhan hutan,
karena memudahkan pengawasannya. Kebun-kebun pekarangan (homegarden)
memadukan berbagai sumberdaya
tanaman asal hutan dengan jenis-jenis tanaman eksotis yang bermanfaat bagi
kehidupan sehari-hari, seperti buah-buahan, sayuran dan tanaman untuk penyedia
bumbu dapur (Bhs. Jawa : empon-empon),
tanaman obat, serta jenis tanaman yang diyakini memiliki kegunaan gaib. Sebagai
contoh, menurut kepercayaan di Jawa ranting pohon kelor (Moringa pterygosperma Gaerttn.) dapat digunakan untuk menghilangkan
kekebalan seorang yang ber’ilmu’, ranting bambu kuning dapat digunakan untuk
mengusir ular, dan sebagainya.
Seperti telah disebutkan di atas,
kebun pekarangan di Jawa memadukan tanaman bermanfaat asal hutan dengan tanaman
khas pertanian. Semakin banyak campur tangan manusia membuat kebun itu menjadi
semakin artifisial (sistem buatan yang tidak alami). Kekhasan vegetasi hutan
seringkali masih bisa ditemukan, misalnya dapat dijumpai berbagai jenis
tumbuhan bawah seperti berbagai macam pakis (fern), atau epiphyte (misalnya
anggrek liar). Kekayaan jenisnya bervariasi, beberapa pekarangan yang tidak
terlalu banyak campur tangan pemiliknya memiliki keanekaragaman yang cukup
tinggi, yang dapat mencapai lebih dari 50 jenis tanaman pada lahan seluas 400 m2 (Karyono, 1979 ; Michon, 1985).
Bila diperhatikan dari struktur kanopi tajuknya, kebun-kebun itu memiliki
lapisan/strata tajuk bertingkat (multi-strata)
mirip dengan yang dijumpai di hutan. Kemiripan dengan kanopi hutan ini
menyebabkan estimasi luasan hutan berdasarkan hasil foto udara menjadi kurang
dapat dipercaya.
Sesuai dengan jenis kebunnya,
tingkat lapisan tajuk vegetasi dapat dibedakan menjadi 3 sampai 5 tingkat,
mulai dari lapisan semak (sayuran, cabai, umbi-umbian), perdu (pisang, pepaya,
tanaman hias) hingga lapisan pohon tinggi (sampai lebih 35 m, misalnya damar,
durian, duku). Proses reproduksi sistem yang menyerupai hutan ini lebih banyak
mengikuti kaidah alam daripada teknik-teknik budidaya perkebunan. Sebagai
contoh, kasus terbentuknya damar agroforest di Krui (Lihat Box 2).
Box 2. Contoh kasus: Kebun damar di Krui, Lampung Barat
(De Foresta
et al., 2000)
Tanaman
yang dominan di agroforest di Pesisir Krui adalah Shorea javanica (jenis Dipterocarpaceae
(kelompok meranti). Tanaman ini
merupakan pohon besar yang berasal dari hutan setempat, yang menghasilkan getah
damar mata kucing bening yang diekspor untuk kebutuhan industri cat . Hingga a
wal
abad XX, pengumpulan getah damar di hutan alam merupakan kegiatan ekonomi utama
petani, sementara agroforest yang telah dibangun hanya merupakan semacam sabuk
hijau pohon buah-buahan di sekeliling
desa dengan luas yang terbatas. Berkurangnya pohon damar di hutan alam, telah
mendorong petani melakukan pembudidayaan Shorea javanica di kebun-kebun.
Keberhasilan budidaya itu telah
mendorong terjadinya transformasi mendasar agroforest tradisional secara
besar-besaran, yang diikuti perluasan areal agroforest (Michon, 1985).
Budidaya
damar ini sangat berbeda dengan silvikultur monokultur. Bersama damar, tumbuh
pula berbagai jenis pohon buah-buahan, pohon kayu-kayuan, jenis-jenis palem,
bambu, dan sebagainya yang sengaja ditanam dan dirawat di kebun. Selain itu
terdapat pula sejumlah tumbuhan liar yang berasal dari hutan primer ataupun
dari hutan sekunder. Aneka jenis kombinasi yang khas ini menghasilkan berbagai
struktur dan fungsi.
Bagian
kanopi dengan puncak ketinggian sekitar 40 m didominasi oleh pohon damar dan
pohon durian. Di bawahnya, terdapat beberapa kelompok pohon buah-buahan seperti
duku, manggis, dan rambutan yang memadati ruang pada ketinggian 10 sampai 20
meter. Di antara keduanya, pada ketinggian 20 sampai 25 meter terdapat kelompok
lapisan tengah, seperti jenis-jenis Eugenia
(jambu-jambuan), Garcinia (manggis-
manggisan), dan Parkia (petai-petaian)
yang dapat mecapai ketinggian 35 meter. Lapisan terbawah ditumbuhi rerumputan
dan semak liar.
Masalah
praktis yang sering dijumpai di lapangan (misalnya tidak menentunya penyediaan
bibit, menurunnya daya tahan bibit, sulitnya infeksi mikoriza pada akar tanaman
muda, dsb) dapat diatasi sendiri oleh petani setempat. Petani lebih memilih
‘kebun bibit’ (seed bank )
daripada memiliki ‘gudang benih’ (seedling
bank ). Dengan menanam bibit dari permudaan alam langsung di kebun akan
memberikan kesempatan terjadinya infeksi mikoriza yang lebih besar, dan
memudahkan permudaan alam untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Bagaimana
proses terbentuknya kebun damar?
Perkembangan
terbentuknya kebun damar disajikan secara skematis pada gambar 5. Pada stadia
awal, lahan masih berupa hutan alam baik primer maupun sekunder, atau padang
alang-alang yang ditebang dan dibakar. Padi gogo ditanam secara tumpangsari
dengan tanaman komersial lainya misalnya kopi,
lada dan pohon-pohon pelindung lainnya seperti dadap dan gamal. Pengusahaan
tanaman semusim hanya berlangsung 2-3 tahun saja. Bibit pohon yang diperoleh
dari kebun petani sendiri (misalnya damar dan pohon buah-buahan) ditanam
diantara tanaman pangan. Pepohonan ini nantinya akan menjadi komponen utama
dari sistem agroforest.
Bila
pohon damar mulai memproduksi resin (setelah berumur 20 – 25 tahun), petak
lahan disiangi namun membiarkan tumbuhan bawah yang berguna tetap hidup. Dengan
demikian kebun damar telah melalui beberapa stadia yaitu: tanaman semusim,
tanaman komersial, fase non- produktif dan agroforest yang produktif
sepenuhnya.
Setelah
tanaman semusim dipanen terakhir kalinya, kopi dan lada dibiarkan tumbuh selama
kurang lebih 8-15 tahun. Permudaan alam lainnya akan tumbuh kembali sehingga
akan diperoleh kebun campuran. Pada periode ini kompetisi intensif (antara
tanaman semusim dengan pepohonan atau tanaman bawah lainnya) kemungkinan besar
akan terjadi. Penanaman tanaman semi-perenial (seperti lada, kopi) merupakan
usaha petani dalam meningkatkan pendapatannya sehingga sering menjadi
kompetitor terbesar bagi pepohonan.
Dengan demikian pembentukan
agroforest mengalami sedikit
penundaan
waktu.
Keuntungan
dari sistem agroforest
Fungsi
ekonomi agroforest di Pesisir Krui terutama adalah produksi damar. Delapan
puluh persen pendapatan sebagian besar desa di Pesisir Krui dihasilkan dari
kebun-kebun damar. Selain itu kebun damar juga memasok buah-buahan, sayuran,
rempah-rempah, gula, kayu bakar, kulit kayu, daun, bambu, dan kayu
bangunan. Dengan aneka produk yang
dihasilkan, kebun damar telah menggantikan fungsi hutan dalam ekonomi pedesaan. Karenanya, agroforest mengurangi kegiatan
pengumpulan hasil hutan dari hutan-hutan alam di sekitarnya. Petani membuka
hutan hanya untuk kebutuhan produksi makanan pokok, yakni membuka ladang padi:
namun seringkali alasan sebenarnya adalah untuk membangun kebun damar yang baru.
Sebagai
hutan buatan yang dikelola dengan cermat, agroforest dapat memproduksi selain
kayu juga kebutuhan sehari-hari lainnya. Dengan berkembangnya agroforest, peran
hutan alam sebagai sumber bahan nabati semakin lama semakin menghilang. Bila
tuntutan lain terhadap hutan alam, yaitu sebagai cadangan lahan untuk perluasan
pertanian juga dapat berkurang, maka upaya perlindungan bisa menjadi
lebih
efisien.
4. Mengapa agroforest perlu mendapat perhatian?
Kebun-kebun agroforest asli
Indonesia memperlihatkan ciri-ciri yang pantas diberi perhatian dalam kerangka
pembangunan pertanian dan kehutanan, khususnya untuk
daerah-daerah yang kurang subur.
Pada daerah-daerah tersebut hanya tanaman tahunan saja yang dapat berproduksi
secara berkelanjutan, sedangkan untuk tanaman pangan dan tanaman musiman lain
hanya dimungkinkan melalui pemupukan besar-besaran.
Berikut ini diuraikan secara
ringkas manfaat penerapan sistem agroforestri bagi beberapa pihak/sudut
pandang: (1) pertanian, (2) petani, (3) peladang, (4) kehutanan.
4.1 Sudut Pandang Pertanian
Agroforest merupakan salah satu
model pertanian berkelanjutan yang tepat-guna, sesuai dengan keadaan petani.
Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman semusim menuntut terjadinya
perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem monokultur dengan masukan
energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai
untuk kondisi petani. Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk
meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi
standar yang berbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak
mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat
petani.
Agroforest mempunyai fungsi
ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utama agroforest bukanlah
produksi bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan
modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu manis menjadi andalan pemasukan
modal di Sumatra. Bahkan, agroforest seringkali menjadi satu- satunya sumber
uang tunai bagi keluarga petani. Agroforest mampu menyumbang 50 % hingga 80 %
pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsungnya maupun tidak
langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan pemasaran
hasilnya.
Di lain pihak sistem-sistem
produksi asli setempat (salah satunya agroforest) selalu dianggap sebagai
sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja (subsisten)./Oleh karena itu dukungan terhadap
pertanian komersial petani kecil biasanya lebih diarahkan kepada upaya penataan
kembali sistem produksi secara keseluruhan, daripada pendekatan terpadu untuk
mengembangkan sistem-sistem yang sudah ada.
Agroforest pada umumnya dianggap
hanya sebagai "kebun dapur" yang tidak lebih dari sekedar pelengkap
sistem pertanian lainnya, di mana produksinya hanya dikhususkan untuk konsumsi
sendiri dengan menghasilkan hasil-hasil sampingan seperti kayu bakar. Oleh
karena itu, sistem ini kurang mendapat perhatian.
4.2 Sudut Pandang Petani
Keunikan konsep pertanian
komersial agroforest adalah karena sistem ini bertumpu pada keragaman struktur
dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja. Usaha
memperoleh produksi komersial ternyata sejalan dengan produksi dan fungsi lain
yang lebih luas. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi menarik bagi petani.
·
Aneka hasil kebun hutan sebagai "bank"
yang sebenarnya. Pendapatan dari agroforest umumnya dapat menutupi
kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara
teratur misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis dan lain- lain. Selain
itu, agroforest juga dapat membantu menutup pengeluaran tahunan dari
hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan (Gambar 6),
cengkeh, pala, dan lain-lain. Komoditas-komoditas lain seperti kayu bahan
bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap,
dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa
daerah di Indonesia menabung uang tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka
keragaman bentuk sumber uang sangatlah penting. Keluwesan agroforest juga
penting di daerah-daerah dimana kredit sulit didapatkan karena mahal atau tidak
ada sama sekali. Semua ini adalah kenyataan umum yang dijumpai di pedesaan di
daerah tropis.
·
Struktur yang tetap dengan
diversifikasi tanaman komersil, menjamin keamanan dan kelenturan pendapatan
petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya akumulasi modal secara cepat
dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan. Keragaman tanaman
melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau
resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan
harga satu komoditas, species ini dapat dengan mudah ditelantarkan saja, hingga suatu saat pemanfaatannya
kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak menimbulkan gangguan ekologi
terhadap sistem kebun. Petak kebun tetap utuh dan produktif dan species yang
ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur kebun, dan selalu siap untuk
kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara itu spesies-spesies baru dapat
diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang ada.
Ciri keluwesan yang lain adalah
perubahan nilai ekonomi yang mungkin dialami beberapa spesies. Spesies yang
sudah puluhan tahun berada di dalam kebun dapat tiba-tiba mendapat nilai
komersil baru akibat evolusi pasar, atau pembangunan infrastruktur seperti
pembangunan jalan baru. Hal seperti ini telah terjadi pada buah durian, duku,
dan cengkeh serta terakhir kayu ketika kayu dari hutan alam menjadi langka.
·
Melalui diversifikasi hasil-hasil
sekunder, agroforest menyediakan kebutuhan sehari-hari petani. Agroforest juga
berperan sebagai "kebun dapur" yang
memasok bahan makanan pelengkap (sayuran, buah, rempah, bumbu). Melalui
keaneka-ragaman tumbuhan, agroforest dapat menggantikan peran hutan alam dalam
menyediakan hasil-hasil yang akhir-akhir ini semakin langka dan mahal seperti
kayu bahan bangunan, rotan, bahan atap, tanaman obat, dan binatang buruan.
4.3 Sudut Pandang Peladang
Kebutuhan
tenaga kerja rendah
Agroforest merupakan model
peralihan dari perladangan berpindah ke pertanian menetap yang berhasil, murah,
menguntungkan, dan lestari. Selain manfaat-manfaat langsung yang dihasilkan
agroforest kepada petani kecil, agroforest juga menarik bagi peladang berpindah
karena dua hal. Meskipun menurut standar konvensional produktivitas agroforest
dianggap rendah, bila ditinjau dari sisi alokasi
tenaga kerja yang dibutuhkan agroforest lebih menguntungkan daripada sistem
pertanian monokultur. Penilaian bahwa produktivitas agroforest yang rendah juga
disebabkan kesalahpahaman terhadap sistem yang dikembangkan petani, karena
umumnya hanya tanaman utama yang diperhitungkan sementara hasil-hasil dan
fungsi ekonomi lain diabaikan. Pembuatan dan pengelolaan agroforest hanya
membutuhkan nilai investasi dan alokasi tenaga kerja yang kecil. Hal ini sangat
penting terutama untuk daerah-daerah yang ketersediaan tenaga kerja dan uang
tunai jauh lebih terbatas dari pada ketersediaan lahan, seperti yang umum
terjadi di wilayah- wilayah perladangan berpindah di daerah beriklim tropika
basah.
Tidak
memerlukan teknik canggih
Selain manfaat ekonomi, perlu
juga dijelaskan beberapa ciri penting lain yang membantu pemahaman terhadap
hubungan positif antara peladang berpindah dan agroforest.
Pembentukan agroforest
berhubungan langsung dengan kegiatan perladangan berpindah. Bentuk ladang
berpindah mengalami perkembangan dengan adanya penanaman pohon yang oleh
penduduk setempat dikenal bernilai ekonomi tinggi. Tindakan yang sangat
sederhana ini dapat dilakukan oleh peladang berpindah di semua daerah tropika
basah.
Agroforest ini dapat dikelola
tanpa teknologi yang canggih tetapi bertumpu sepenuhnya pada pengetahuan
tradisional peladang mengenai lingkungan hutan mereka. Hasilnya, terdapat
perbedaan yang sangat nyata antara sistem agroforest yang lebih menetap dengan
sistem peladangan berpindah yang biasanya melibatkan pemberaan dan membuka
lahan pertanian baru di tempat lain. Ladang-ladang yang diberakan untuk
sementara waktu, selanjutnya ditanami kembali dengan pepohonan untuk diwariskan
pada generasi berikutnya. Kedudukan komersil tanaman pohon dan nilai ekonomisnya
sebagai modal dan harta warisan dapat mencegah terjadinya pembukaan
ladang-ladang baru, dengan demikian lahan tersebut menjadi terbebas dari
ancaman perladangan berpindah lainnya.Sudut Pandang Kehutanan
4.3.1 Mekanisme sederhana untuk mengelola keanekaragaman
Seperti halnya pada semua lahan
pertanian, sebagian terbesar agroforest tercipta melalui tindakan penebangan
dan pembakaran hutan. Perbedaan agroforest dengan budidaya pertanian pada
umunya terletak pada tindakan yang dilakukan pada tumbuhan pioner yang berasal
dari hutan. Pada budidaya pertanian, keberadaan tumbuhan perintis alami
dianggap sebagai gulma yang mengancam produksi tanaman pokok. Pada sistem
agroforest, petani tidak melakukan pembabatan hutan kembali, karena mereka
menggunakan ladang sebagai lingkungan pendukung proses pertumbuhan pepohonan.
Proses pembentukan agroforest seperti ini masih dapat dijumpai di Sumatra
antara lain di Pesisir Krui (Propinsi Lampung) untuk agroforest damar, di Jambi
untuk agroforest karet. Oleh karena pada sistem agroforest tidak melibatkan
penyiangan intensif, maka kembalinya spesies-spesies pionir dapat
mempertahankan sebagian spesies-spesies asli hutan.
4.3.2 Pengembangan hasil hutan non
kayu
Sejak tahun 1960-an bentuk
pengelolaan hutan yang dikembangkan terpaku pada pengusahaan kayu gelondongan.
Kayu gelondongan merupakan unsur dominan hutan yang relatif sulit diperbaharui.
Eksploitasinya mengakibatkan degradasi drastis seluruh ekosistem hutan. Hal ini
memunculkan suatu usulan agar pihak-pihak kehutanan dalam arti luas mengalihkan
perhatiannya pada hasil hutan non kayu (disebut juga hasil hutan minor)
misalnya damar, karet remah dan lateks, buah-buahan, biji-bijian, kayu-kayu
harum, zat pewarna, pestisida alam, dan bahan kimia untuk industri obat.
Ilustrasi yang disajikan pada Gambar 7 adalah pemanenan hasil hutan non-kayu
berupa getah damar selain produksi kayu yang cukup menarik petani di daerah
Krui, Lampung Barat. Pemanenan hasil hutan non-kayu merupakan pengembangan
sumberdaya yang dapat mendukung konservasi hutan karena mengakibatkan kerusakan
yang lebih kecil dibandingkan dengan pemanenan kayu.
Agroforest di Indonesia, yang
bertumpu pada hasil hutan non kayu, merupakan salah satu alternatif menarik
terhadap domestikasi monokultur yang lazim dikerjakan. Pengelolaan agroforest
tidak ekslusif pada satu sumber daya yang terpilih saja, tetapi memungkinkan
kehadiran sumber daya lain. Selain itu agroforest merupakan strategi masyarakat
sekitar hutan untuk memiliki kembali sumber daya hutan yang pernah hilang atau
terlarang bagi mereka. Agroforest memungkinkan adanya pelestarian wewenang dan
tanggung jawab masyarakat setempat atas seluruh sumber daya hutan. Hal ini
merupakan sifat utama agroforest, namun sifat tersebut mungkin menjadi kendala
utama pengembangan sistem agroforest oleh badan-badan pembangunan resmi
terutama kalangan kehutanan, yang merasa khawatir akan kehilangan kewenangan
menguasai sumber daya yang selama ini dianggap sebagai domain ekslusif mereka.
4.3.3 Model alternatif produksi kayu
Agroforest berbasis pepohonan
khusus penghasil kayu di Indonesia masih belum ada. Namun karena berciri
pembangunan kembali hutan, agroforest merupakan sumber pasokan kayu berharga
yang sangat potensial yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk setempat.
Sejauh ini kayu-kayu yang
dihasilkan dalam agroforest masih diabaikan dalam perdagangan nasional (de
Foresta, 1990). Pohon yang ditanam di agroforest (buah-buahan, karet dll)
sering pula memasok kayu bermutu tinggi dalam jumlah besar, sehingga ada
pasokan kayu gergajian dan kayu kupas yang selalu siap digunakan (Martawijaya,
1986 dan 1989). Di daerah Krui (Lampung), pohon damar yang termasuk golongan
meranti sangat mendominasi kebun damar, dengan kepadatan yang beragam. Dalam
setiap hektar agroforest terdapat antara 150 sampai 250 pohon yang dapat
dimanfaatkan (Torquebiau 1984; Michon, 1985). Kayu-kayu itu biasanya dianggap
sebagai produk sampingan yang tidak mempunyai nilai ekonomi, bukan karena
teknologi yang rendah, tetapi karena belum dikenali pasar.
Kalangan kehutanan mengelompokkan
kayu berdasarkan kelas keawetan dan kekuatan. Klasifikasi asli tersebut banyak
mengalami revisi, karena semakin langkanya hutan yang mengandung jenis pohon
yang menguntungkan. Karena kelas I sudah dieksploitasi berlebihan dan menjadi
langka, maka kelas II menjadi kelas I dan seterusnya (Kostermans, 1984). Pohon
meranti misalnya, belakangan ini merupakan jenis kayu kelas utama di Asia
Tenggara, padahal pada tahun 1930-an hampir tidak memiliki nilai komersil.
Contoh yang lebih mutakhir adalah kayu karet, hingga tahun 1970-an masih
dianggap tidak berharga, tetapi dewasa ini menduduki tempat penting dalam pasar
kayu Asia. Sejalan dengan
perkembangan teknologi
transformasi dan pemanfaatan kayu, ciri-ciri kayu bahan baku semakin tidak
penting (Kostermans, 1984).
Untuk memenuhi permintaan besar
di tingkat regional, beberapa tahun belakangan ini berkembang budidaya pohon
kayu, terutama surian, bayur, dan musang dalam agroforest di sekeliling danau
Maninjau, Sumatera Barat (Michon, 1985; Michon, 1986). Di daerah Krui, Lampung,
terjadi pemaduan sungkai di kebun damar. Jenis pohon perintis ini yang
sebelumnya tidak bernilai, baru sejak 1990-an mulai ditanam di kebun. Dengan
meningkatnya permintaan kayu sungkai untuk bangunan pada tingkat nasional,
pohon sungkai kini ditanam dan dirawat dengan baik oleh petani (de Foresta,
1990).
Kajian-kajian kuantitatif lebih
lanjut tentu saja masih dibutuhkan untuk menentukan potensi pepohonan dan
pengelolaan yang optimal dalam agroforest, dengan tetap memperhitungkan
hasil-hasil lain. Dampak sampingan penjualan kayu perlu juga dikaji dari segi
sosial, ekonomi dan ekologi. Dengan memenuhi persyaratan ketersediaan pasokan
yang besar dan lestari, agroforest merupakan salah satu sumberdaya kayu tropika
di masa depan. Dengan mudah sumber daya ini dapat diperkaya dengan jenis-jenis
pohon bernilai tinggi, sebab kantung-kantung ekologi agroforest yang beragam
merupakan lingkungan ideal bagi pohon berharga yang membutuhkan kondisi yang
mirip dengan hutan alam. Selain itu tidak seperti dugaan umum, sasaran utama
agroforest di Indonesia bukan cuma untuk pemenuhan kebutuhan sendiri tetapi
untuk menghasilkan uang. Dengan orientasi pasar, agroforest mampu dengan cepat memadukan
pola budidaya baru, asalkan hasilnya menguntungkan pemiliknya.
Mungkinkah
agroforest penghasil kayu dikembangkan?
Pengembangan agroforestri komplek
sebagai sumber kayu tropika bernilai tinggi tampaknya tidak akan memenuhi
hambatan yang berarti, jika dilakukan reorientasi pasar yang memberikan peluang
bagi kayu asal agroforest untuk memasuki pasar nasional. Keputusan reorientasi
terkait erat dengan kondisi nyata pemanfaatan hutan alam di tiap negara
tropika, dan karenanya tergantung pada tujuan/kemauan politik. Perwujudan
kemauan politik semacam ini diharapkan terjadi secepatnya, karena sangat
dibutuhkan dalam rangka menghadapi (a) produksi kayu tropika (kayu pertukangan
dan kayu bulat) pada masa transisi dari sistim penebangan hutan alam menuju sistim
budidaya menetap untuk wilayah pedesaan, (b) pelestarian alam yang akan muncul
akibat masuknya kayu hasil agroforest ke pasar.
Menyertai usaha pencegahan
perusakan hutan dalam jangka panjang, integrasi pengelolaan pepohonan penghasil
kayu ke dalam agroforest akan mengurangi tekanan terhadap hilangnya/perusakan
hutan alam yang masih tersisa. Selain meringankan kesulitan dalam mendapatkan
kayu bangunan akibat penurunan sumber kayu dari hutan alam, perluasan pangsa
pasar ke jenis kayu asal agroforest tersebut akan memacu terjadinya peningkatan
pembangunan masyarakat pedesaan. Peningkatan nilai ekonomi agroforest ini dan
adanya integrasi pengelolaan kayu komersil diharapkan dapat merangsang
perluasan areal agroforest, yang akan mendorong pelestarian lahan dan
keanekaragaman hayati di luar hutan alam.
4.3.4 Struktur agroforest dan pelestarian sumber daya hutan: konservasi in-situ
dan eks-situ
Agroforest memainkan peran
penting dalam pelestarian sumberdaya hutan baik nabati maupun hewani karena
struktur dan sifatnya yang khas. Agroforest menciptakan kembali
arsitektur khas hutan yang
mengandung habitat mikro, dan di dalam habitat mikro ini sejumlah tanaman hutan
alam mampu bertahan hidup dan berkembang biak. Kekayaan flora semakin besar,
jika di dekat kebun terdapat hutan alam yang berperan sebagai sumber (bibit)
tanaman. Bahkan ketika hutan alam sudah hampir lenyap sekalipun, warisan hutan
masih mampu terus berkembang dalam kelompok besar: misalnya kebun campuran di
Maninjau melindungi berbagai tanaman khas hutan lama di dataran rendah, padahal
hutan lindung yang terletak di dataran lebih tinggi tidak mampu menyelamatkan
tanaman-tanaman tersebut.
Di pihak lain, agroforest
merupakan struktur pertanian yang dibentuk dan dirawat. Tanaman bermanfaat yang
umum dijumpai di hutan alam menghadapi ancaman langsung karena daya tarik
manfaatnya. Dewasa ini sumber daya hutan dikuras tanpa kendali.
Berbeda dengan kebun agroforest,
bagi petani, agroforest merupakan kebun bukan hutan. Agroforest
merupakan warisan sekaligus modal produksi. Sumberdayanya, baik yang tidak
maupun yang sengaja ditanam, dimanfaatkan dengan selalu mengingat kelangsungan
dan kelestarian kebun. Pohon di hutan dianggap tidak ada yang memiliki.
Sebaliknya, pohon di kebun ada pemiliknya sehingga pohon tersebut mendapat
perlindungan yang lebih efektif daripada yang terdapat di hutan negara. Sumber
daya hutan di dalam agroforest dengan demikian turut berperan dalam mengurangi
tekanan terhadap sumber daya alam. Secara tidak langsung agroforest turut
melindungi hutan alam.
Aneka kebun campuran di pedesaan
di Jawa mempunyai peranan penting bagi pelestarian kultivar pohon (tradisional)
buah-buahan dan tanaman pangan. Karena kendala ekonomi dan keterbatasan
ketersediaan lahan, maka kebun tersebut tidak dapat berfungsi sebagai tempat
berlindung jenis tanaman yang tidak bernilai ekonomi bagi petani. Di Sumatera
dan Kalimantan, agroforest masih mampu menawarkan pemecahan masalah pelestarian
tanaman hutan alam dan sekaligus dapat diterima pula dari sudut ekonomi (Michon
dan de Foresta (1995). Adanya perubahan sosial ekonomi dapat mempengaruhi sifat
dan susunan kebun, sehingga dikhawatirkan banyak spesies yang terancam
kepunahan. Pada gilirannya sumberdaya tersebut akan punah dan usaha
penyelamatannya belum terbayangkan. Apakah seluruh sumberdaya genetik yang ada
dalam agroforest dapat disimpan dalam lahan-lahan khusus atau bank benih?
Upaya-upaya keberhasilan
perlindungan alam
Untuk meningkatkan keberhasilan
perlindungan terhadap sumber daya alam, maka petani harus dilibatkan pada
setiap usaha pelestarian alam, misalnya dengan memberikan pengakuan terhadap
agroforest yang sudah ada dan melaksanakan budidaya agroforest di pinggiran
kawasan taman-taman nasional. Upaya melestarikan alam harus sekaligus dapat
memenuhi kebutuhan penduduk setempat. Gagasan ini bukan khayalan, karena secara
tradisional telah dirintis oleh petani agroforest. Pada akhirnya agroforest di
daerah tropika merupakan lahan berharga bagi eksplorasi genetik dan
etno-botani. Pengetahuan petani pengelola agroforest seyogyanya tidak lagi
diremehkan oleh para pengelola hutan.
5. Kelemahan dan Tantangan Agroforest
5.1 Kelemahan
Kesulitan
visual
Keberagaman bentuk, kemiripan
dengan vegetasi hutan alam, dan kesulitan membedakannya dalam penginderaan jauh
(remote sensing) menjadikan bentang
hamparan agroforest sulit dikenali. Kebanyakan agroforest dalam peta-peta resmi
diklasifikasikan sebagai hutan sekunder, hutan rusak, atau belukar, oleh karena
itu biasanya disatukan ke dalam kelompok lahan yang menjadi target rehabilitasi
lahan dan hutan.
Kesulitan mengukur produktivitas
Ahli ekonomi pertanian terbiasa
dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman dan pola penanaman yang teratur
rapi. Biasanya mereka enggan memberi perhatian terhadap nilai pepohonan dan
tanaman non-komersial. Mereka juga biasanya tidak memiliki latar belakang yang
cukup untuk mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan herba/semak.
Kurangnya
pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian.
Adanya penyisipan pohon diantara
tanaman semusim, akan menimbulkan masalah yang sering merugikan petani karena
kurangnya pengetahuan petani akan adanya interaksi antar tanaman (lihat bab 2
tentang “interaksi pohon-tanah-tanaman semusim” dan Booklet berjudul
“Agroforestri pada tanah masam” oleh Hairiah et.al., 2000).
5.2 Ancaman Keberlanjutan (dikutip dari de Foresta et al., 2000)
Kesulitan
merubah pandangan ahli agronomi dan
kehutanan
Besarnya jenis dan
ketidakteraturan tanaman dalam agroforest membuatnya cenderung diabaikan.
Kebanyakan ahli pertanian dan kehutanan yang sudah sangat terbiasa dengan
keteraturan sistem monokultur dan agroforestri sederhana menganggap
ketidakteraturan dan keberagaman tanaman ini sebagai tanda kemalasan petani.
Kebanyakan ahli agronomi dan kehutanan yang akrab dengan pola pertanian
sederhana dan keaslian hutan alam masih sulit untuk mengakui bahwa agroforest
adalah sistem usahatani yang produktif.
Agroforest
adalah sistem kuno (tidak modern)
Banyak kalangan memandang
agroforest sebagai sesuatu yang identik dengan pertanian primitif yang
terbelakang, sama sekali tidak patut dibanggakan. Padahal, agroforest merupakan
wujud konsep petani, proses adaptasi dan inovasi yang terus menerus yang
berkaitan dengan perubahan ekologi, keadaan sosial ekonomi, dan perkembangan pasar.
Sistem agroforest yang ada saat ini merupakan karya modern dari sejarah panjang
adaptasi dan inovasi, uji coba berulang-ulang, pemaduan spesies baru dan
strategi agroforestri baru.
Kepadatan penduduk
Pengembangan agroforest
membutuhkan ketersediaan luasan lahan, karenanya agroforest sulit berkembang di
daerah-daerah yang sangat padat penduduknya. Ada kecenderungan bahwa
peningkatan penduduk menyebabkan konversi lahan agroforest ke bentuk penggunaan
lain yang lebih menguntungkan dalam jangka pendek.
Penguasaan
lahan
Luas agroforest di Indonesia
mencapai jutaan hektar, tetapi tidak secara resmi termasuk ke dalam salah satu
kategori penggunaan lahan. Hampir semua petani agroforest tidak memiliki bukti
kepemilikan yang resmi atas lahan mereka. Banyak areal agroforest yang
dinyatakan berada di dalam kawasan hutan negara, atau dialokasikan kepada
perusahaan perkebunan besar dan proyek pembangunan besar lainnya.
Ketidakpastian kepemilikan jangka ini berakibat keengganan petani untuk
melanjutkan sistim pengelolaan yang sekarang sudah mereka bangun.
Ketiadaan
data akurat
Kecuali untuk agroforest karet
dan sebagian kecil lainnya, belum ada upaya serius untuk mendapatkan data yang
akurat mengenai keberadaan/luasan agroforest yang tersebar di hampir seluruh
kepulauan Indonesia. Akibatnya, belum ada upaya untuk memberikan dukungan
pembangunan terhadap agroforest tersebut, seperti yang diberikan terhadap
sawah, kebun monokultur (cengkeh, kelapa, kopi, dan lain-lain), atau Hutan
Tanaman Industri (HTI).
Bahan Bacaan
Text
Book
De Foresta, H., A.
Kusworo, G. Michon dan W.A. Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan – Agroforest Khas Indonesia – Sebuah Sumbangan
Masyarakat. ICRAF, Bogor. 249 pp.
De Foresta, H. and
G. Michon. 1993. Creation and management of rural agroforests in Indonesia:
potential applications in Africa. in Hladik, C.M. et al. eds.: Tropical
forests, people and food. Biocultural Interactions and applications to
Development. Unesco MAB Series, No 13, Unesco and Parthenon Publishing Group:
709-724.
FAO, IIRR. 1995. Resource
management for upland areas in SE-Asia. An Information Kit.
Farm field document 2. Food and
Agriculture Organisation of the United Nations, Bangkok, Thailand and
International Institute of Rural Reconstruction, Silang, Cavite, Philippines.
ISBN 0-942717-65-1:p 207
Michon, G. and H.
de Foresta. 1995. The Indonesian agro-forest model: forest resource management
and biodiversity conservation. in Halladay P. and D.A. Gilmour eds.: Conserving
Biodiversity outside protected areas. The role of traditional agro- ecosystems.
IUCN: 90-106.
Michon, G. and H.
de Foresta. 1999. Agro-forests: incorporating a forest vision in agroforestry.
in Buck, L.E., J.P. Lassoie and E.C.M. Fernandes eds.: Agroforestry in
Sustainable Agricultural Systems. CRC Press, Lewis Publishers: 381-406.
Nair PKR, 1993. An
introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publisher, The Netherlands. 499.
Jurnal
Ilmiah
De Foresta, H. and
G. Michon. 1997. The agroforest alternative to Imperata grasslands: when
smallholder agriculture and forestry reach sustainability. Agroforestry Systems
36:105-120.
Buku-Pedoman
Anonim. Agroforests
: Examples from Indonesia. Published by ICRAF, ORSTOM, CIRAD-CP and the Ford
Foundation.
Hairiah, K.,
Widianto, S.R. Utami, D. Suprayogo, Sunaryo, S.M. Sitompul, B. Lusiana, R.
Mulia, M. van Noordwijk dan G. Cardisch. 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara
Biologi: Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara. ICRAF SE Asia, Bogor, 182 p.
Bahan
Kuliah
De Foresta, H. ,G. Michon and A.
Kusworo. 2000. Complex Agroforests. Lecture note 1.
ICRAF SE Asia. 14 p.
Web
site
1 komentar:
maksih gan buat infonya,,
sangat bermanfaat,,,
saya suka dengan postinganya,,
Posting Komentar