Kebakaran dan Penggembalaan Liar dalam Konteks Perlindungan Hutan
Perlindungan hutan adalah suatu upaya dalam melindungi hutan dari gangguan dan mengembalikan karakteristik dan fungsi hutan seperti semula. Perlindungan tidak hanya mencegah ancaman anthroposentris (dari manusia), namun juga dari hama dan penyakit (patologi hutan) serta bencana alam. Perlindungan hutan merupakan salah satu bidang pekerjaan yang dipenuhi risiko penyuapan dan bahaya fisik di lapang. Tidak jarang jagawana diserang oleh pelaku perburuan hewan dan pembalakan liar.[1]
Perlindungan hutan juga terancam oleh lemahnya pengembalian fungsi hutan, karena lahan yang telah terbakar akan sulit dikembalikan fungsinya dan cenderung dialih fungsikan, misal menjadi lahan pertanian.[2] Penyusutan hutan
A. Kebakaran Hutan dan Lahan
Di masa lalu membakar hutan
merupakan suatu metode praktis untuk membuka lahan. Pada awalnya banyak
dipraktekan oleh para peladang tradisional atau peladang berpindah. Namun
karena biayanya murah praktek membakar hutan banyak diadopsi oleh
perusahaan-perusahaan kehutanan dan perkebunan.
Di lingkup ilmu kehutanan ada
sedikit perbedaan antara istilah kebakaran hutan dan pembakaran hutan.
Pembakaran identik dengan kejadian yang disengaja pada satu lokasi dan luasan
yang telah ditentukan. Gunanya untuk membuka lahan, meremajakan hutan atau
mengendalikan hama. Sedangkan kebakaran hutan lebih pada kejadian yang tidak
disengaja dan tak terkendali. Pada prakteknya proses pembakaran bisa menjadi
tidak terkendali dan memicu kebakaran.
Kebakaran hutan menjadi penyumbang
terbesar laju deforestasi. Bahkan lebih besar dibanding konversi lahan untuk
pertanian dan illegal logging.1
Kebakaran hutan, kebakaran
vegetasi, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi
di alam liar, tetapi juga dapat
memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Penyebab umum
termasuk petir, kecerobohan manusia,
dan pembakaran.
Musim
kemarau dan pencegahan kebakaran hutan kecil adalah penyebab utama
kebakaran hutan besar. Kebakaran
hutan dalam bahasa Inggris berarti "api liar" yang berasal dari
sebuah sinonim
dari Api
Yunani, sebuah bahan seperti-napalm yang digunakan di Eropa Pertengahan
sebagai senjata maritime.
A wildfire or wildland
fire is a fire in an area of combustible vegetation that occurs in the countryside
or rural
area.[1]
Depending on the type of vegetation where it occurs, a wildfire can also be
classified more specifically as a brush fire, bush fire, desert
fire, forest fire, grass fire, hill fire, peat fire,
vegetation fire, or veld fire.[2]
Fossil charcoal
indicates that wildfires began soon after the appearance of terrestrial plants
420 million years ago.[3]
Wildfire’s occurrence throughout the history of terrestrial life invites
conjecture that fire must have had pronounced evolutionary effects on most
ecosystems' flora and fauna.[4]
Earth is an intrinsically flammable planet owing to its cover of carbon-rich
vegetation, seasonally dry climates, atmospheric oxygen, and widespread
lightning and volcanic ignitions.[4]
Defenisi kebakaran hutan:
“Suatu keadaan
dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil
hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan.” (Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran
Hutan)
“Pembakaran yang
penjalaran apinya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti
serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati yang tetap berdiri, log, tunggak
pohon, gulma, semak belukar, dedaunan dan pohon-pohon.” (Prof
Bambang Hero S, IPB, Bogor)
Silakan cari yang lain ...
B. Penggembalaan Liar
Grazing is a method of feeding in which a
herbivore feeds on plants
such as grasses,
or other multicellular organisms such as algae. In agriculture,
grazing is one method used whereby domestic livestock
are used to convert grass and other forage into meat,
milk and other products.
Many small selective herbivores
follow larger grazers, who skim off the highest, tough growth of plants,
exposing tender shoots. For terrestrial animals, grazing is normally
distinguished from browsing in that grazing is eating grass
or forbs, and
browsing is eating woody twigs and leaves from trees and shrubs.[1] Grazing
differs from true predation because the organism being grazed
upon is not generally killed. Grazing differs from parasitism
as the two organisms live together in a constant state of physical externality
(i.e. low intimacy).[2][page needed][3] Water
animals that feed for example on algae found on stones are called grazers-scrapers.
Grazers-scrapers feed also on microorganisms and dead organic
matter on various substrates.[4]
Disturbance of plant life caused by
the grazing of large herbivores is an important determinant of plant community
structure. Composition of plant and animal species is affected by grazing
pressure. Grazing pressure affects plant communities directly through physical
removal of the affected plants. It can also affect plant communities indirectly
by modulation of ecosystem productivity or by changing the pattern of nutrient
partitioning of limiting nutrients among different sizes of plants. Thus,
grazing changes the population size, diversity and distribution of organisms in
an ecosystem. Grazing pressure strongly affects plant community and
composition. Grazing pressure also influences plant species performance and
plant ecological stoichiometry. For instance,
plant functional composition of tundra is primary structured by grazing
pressure.[5]
Some studies suggest grazing may be
beneficial in nutrient-rich conditions and harmful on habitats poor in
nutrients. In other cases grazing will not affect ecosystems whatsoever. For
instance, in the Mongolian rain forest, Cheng et al. have found that grazing
pressure plays a highly, positive important role in species richness in the
wetter steppe of the rain forest. The same research have found that in the
dryer, desert ecosystem grazing pressure did not affect species richness
significantly.[6]
In habitats with extremely poor in nutrients, grazing could potentially wipe
out what little plants are present.[5]
Other researchers have found the
opposite. In a study performed by Saccone et al., when experimenting with biodiversity
in the Fennoscandia
tundra, they found that there was an increase with species richness associated
with decrease of shrub cover.[5]
It was shown that in the Fennoscandia tundra grazing is an important and
efficient biotic filter restricting the spread of dwarf shrubs to mountain
tundra snowbeds. In other words, because of grazing and fewer shrubs, there was
more biodiversity among the species.
Kerusakan akibat penggembalaan
ternak dalam hutan dapat menyebabkan seluruh pohon mati, bahkan dapat
menimbulkan erosi tanah. Derajat kerusakan yang diderita hutan tergantung pada
jenis serta jumlah ternak, intensitas penggembalaan dan jenis pohon penyusun
hutan. Jenis berdaun lebar akan lebih disukai ternak daripada yang berdaun
jarum. Intinya, spesies yang berbeda dapat memberikan reaksi yang berbeda
terhadap penggembalaan.
Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya penggembalaan di hutan adalah :
- Populasi ternak disekitar kawasan hutan : Semakin besar populasi ternak yang hidup di sekitar hutan maka akan semakin banyak pakan ternak yang dibutuhkan sehingga semakin besar kemungkinan ternak digembalakan di hutan untuk memenuhi kebutuhan pakannya.
- Jumlah hijauan ternak yang mampu dihasilkan di desa sekitar hutan : Tidak adanya lahan di pedesaan sekitar hutan yang dapat digunakan untuk penyediaan ternak guna memenuhi kebutuhan ternak, akan menyebabkan masuknya pemilik ternak, baik sendiri maupun bersama ternaknya, ke hutan untuk mencari pakan ternak.
- Teknik memelihara ternak yang dilakukan oleh masyarakat : Peternakan sistem lepas menyebabkan penggembalaan ternak dihutan.
- Intensitas pengawasan oleh pengelola kawasan hutan : Kurangnya pengawasan memungkinkan masuknya ternak di hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar