referensi: Soerianegara, I dan Andry Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Analisa
vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur)
vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Untuk suatu kondisi hutan yang luas,
maka kegiatan analisa vegetasi erat kaitannya dengan sampling, artinya kita
cukup menempatkan beberapa petak contoh untuk mewakili habitat tersebut. Dalam
sampling ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu jumlah petak contoh,
cara peletakan petak contoh dan teknik analisa vegetasi yang digunakan.
Prinsip
penentuan ukuran petak adalah petak harus cukup besar agar individu jenis yang
ada dalam contoh dapat mewakili komunitas, tetapi harus cukup kecil agar
individu yang ada dapat dipisahkan, dihitung dan diukur tanpa duplikasi atau
pengabaian. Karena titik berat analisa vegetasi terletak pada komposisi jenis
dan jika kita tidak bisa menentukan luas petak contoh yang kita anggap dapat
mewakili komunitas tersebut, maka dapat menggunakan teknik Kurva Spesies Area
(KSA). Dengan menggunakan kurva ini, maka dapat ditetapkan : (1) luas minimum
suatu petak yang dapat mewakili habitat yang akan diukur, (2) jumlah minimal
petak ukur agar hasilnya mewakili keadaan tegakan atau panjang jalur yang
mewakili jika menggunakan metode jalur.
Caranya adalah
dengan mendaftarkan jenis-jenis yang terdapat pada petak kecil, kemudian petak
tersebut diperbesar dua kali dan jenis-jenis yang ditemukan kembali
didaftarkan. Pekerjaan berhenti sampai dimana penambahan luas petak tidak
menyebabkan penambahan yang berarti pada banyaknya jenis. Luas minimun ini
ditetapkan dengan dasar jika penambahan luas petak tidak menyebabkan kenaikan
jumlah jenis lebih dari 5-10% (Oosting, 1958; Cain & Castro, 1959). Untuk
luas petak awal tergantung surveyor, bisa menggunakan luas 1m x1m atau 2m x 2m
atau 20m x 20m, karena yang penting adalah konsistensi luas petak berikutnya
yang merupakan dua kali luas petak awal dan kemampuan pengerjaannya dilapangan.
Untuk lebih jelas bagan pekerjaan dapat dilihat pada gambar 1.
(gambar kurva)
Sebagai contoh,
hasil pengukuran KSA tumbuhan bawah dapat dilihat pada tabel 1. berikut ini :
Dari hasil
diatas dapat dilihat bahwa penambahan jenis pada ukuran petak 8m x 16m sudah
mencapai angka dibawah 5% (sesuai syarat Oosting, 1958; Cain & Castro,
1959), maka dapat ditetapkan bahwa luas petak ukur yang dapat mewakili
komunitas pada rumput tersebut adalah adalah 8m x 16m atau 0.128 ha. Luasan ini
bukanlah harga mutlak bahwa luas petak ukur yang harus kita gunakan adalah
0.128 ha, tapi nilai tersebut adalah nilai minimum, artinya kita bisa menambah
ukuran petak contoh atau bahkan memodifikasinya karena yang harus kita
perhatikan bahwa petak contohnya tidak kurang dari hasil KSA. Contoh untuk
memudahkan pekerjaan dilapangan, sebaiknya ukuran petak tersebut berbentuk
persegi, sehingga petak hasil KSA tersebut dapat diubah menjadi ukuran 12m
x12m.
Jika sudah
dapat ditentukan luas petak minimum, maka juga harus dapat ditentukan jumlah
petak contoh keseluruhan. Hitungann sederhananya, tergantung kita menginginkan
berapa luas total sampling yang kita inginkan. Sebagai contoh luas kawasan yang
akan kita eksplorasi adalah 10 ha, ukuran petak contoh yang ditentukan 12m x
12m dan kita menginginkan intensitas sampling (IS) 5% (artinya, kita hanya akan
mengukur 1% dari luas total 10 ha). Maka jumlah petak contoh yang harus kita
gunakan adalah :
Dik : N = 10 ha
IS = 5% = 5% x 10ha = 0.5 ha
LPC = 12m x12m = 0.0144 ha
Ditanya :
Jumlah petak contoh (n) ?
Jawab :
n = 0.5 ha /
0.0144 ha
n = 34.72
n = 35 petak
Hitungan diatas
adalah perhitungan sederhana tanpa mempertimbangkan tingkat ketelitian dan
tingkat eror pada pengambilan sampling.
Gbr 1. Bentuk
Pertambahan Petak Kurva Spesies Area
Cara peletakan
petak contoh ada dua, yaitu cara acak (random sampling) dan cara
sistematik (systematic sampling), random samping hanya mungkin digunakan
jika vegetasi homogen, misalnya hutan tanaman atau padang rumput (artinya, kita
bebas menempatkan petak contoh dimana saja, karena peluang menemukan jenis
bebeda tiap petak contoh relatif kecil). Sedangkan untuk penelitian dianjurkan
untuk menggunakan sistematik sampling, karena lebih mudah dalam pelaksanaannya
dan data yang dihasilkan dapat bersifat representative. Bahkan dalam keadaan
tertentu, dapat digunakan purposive sampling.
Jika berbicara
mengenai vegetasi, kita tidak bisa terlepas dari komponen penyusun vegetasi itu
sendiri dan komponen tersebutlah yang menjadi fokus dalam pengukuran vegetasi.
Komponen tumbuh-tumbuhan penyusun suatu vegetasi umumnya terdiri dari :
1. Belukar (Shrub)
: Tumbuhan yang memiliki kayu yang cukup besar, dan memiliki tangkai yang
terbagi menjadi banyak subtangkai.
2. Epifit (Epiphyte)
: Tumbuhan yang hidup dipermukaan tumbuhan lain (biasanya pohon dan palma).
Epifit mungkin hidup sebagai parasit atau hemi-parasit.
3. Paku-pakuan (Fern)
: Tumbuhan tanpa bunga atau tangkai, biasanya memiliki rhizoma seperti akar dan
berkayu, dimana pada rhizoma tersebut keluar tangkai daun.
4. Palma (Palm) : Tumbuhan yang tangkainya
menyerupai kayu, lurus dan biasanya tinggi; tidak bercabang sampai daun
pertama. Daun lebih panjang dari 1 meter dan biasanya terbagi dalam banyak anak
daun.
5. Pemanjat (Climber)
: Tumbuhan seperti kayu atau berumput yang tidak berdiri sendiri namun merambat
atau memanjat untuk penyokongnya seperti kayu atau belukar.
6. Terna (Herb) : Tumbuhan yang merambat
ditanah, namun tidak menyerupai rumput. Daunnya tidak panjang dan lurus,
biasanya memiliki bunga yang menyolok, tingginya tidak lebih dari 2 meter dan
memiliki tangkai lembut yang kadang-kadang keras.
7. Pohon (Tree) : Tumbuhan yang memiliki
kayu besar, tinggi dan memiliki satu batang atau tangkai utama dengan ukuran
diameter lebih dari 20 cm.
Untuk
tingkat pohon dapat dibagi lagi menurut tingkat permudaannya, yaitu :
a. Semai (Seedling) : Permudaan mulai
dari kecambah sampai anakan kurang dari 1.5 m.
b. Pancang
(Sapling) : Permudaan dengan tinggi 1.5 m sampai anakan berdiameter
kurang dari 10 cm.
c. Tiang (Poles) : Pohon muda berdiameter
10 cm sampai kurang dari 20 cm.
Adapun
parameter vegetasi yang diukur dilapangan secara langsung adalah :
1. 1.
Nama jenis (lokal atau botanis)
2. 2.
Jumlah individu setiap jenis untuk menghitung kerapatan
3. 3.
Penutupan tajuk untuk mengetahui persentase penutupan vegetasi terhadap lahan
4. 4.
Diameter batang untuk mengetahui luas bidang dasar dan berguna untuk menghitung
volume pohon.
5. 5. Tinggi
pohon, baik tinggi total (TT) maupun tinggi bebas cabang (TBC), penting untuk
mengetahui stratifikasi dan bersama diameter batang dapat diketahui ditaksir
ukuran volume pohon.
Hasil
pengukuran lapangan dilakukan dianalisis data untuk mengetahui kondisi kawasan
yang diukur secara kuantitatif. Dibawah ini adalah beberapa rumus yang penting
diperhatikan dalam menghitung hasil analisa vegetasi, yaitu :
a. Indeks Nilai
Penting (INP)
Indeks Nilai
Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap
jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan
ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks Nilai Penting dihitung berdasarkan
penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi
Relatif (DR), (Mueller-Dombois dan ellenberg, 1974; Soerianegara dan Indrawan,
2005).
b. Keanekaragaman
Jenis
Keanekaragaman
jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk membandingkan dua komunitas,
terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan
suksesi atau kestabilan suatu komunitas. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan
menggunakan rumus Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener :
dimana : H’ =
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
ni =
Jumlah individu jenis ke-n
N = Total
jumlah individu
1. Indeks Kekayaan
Jenis dari Margallef (R1)
dimana :
R1 =
Indeks kekayaan Margallef
S = Jumlah
jenis
N = Total
jumlah individu
2. Indeks
Kemerataan Jenis
Dimana :
E = Indeks
kemerataan jenis
H’ = Indeks
keanekaragaman jenis
S = Jumlah
jenis
Berdasarkan
Magurran (1988) besaran R1 < 3.5 menunjukkan kekayaan jenis yang
tergolong rendah, R1 = 3.5 – 5.0 menunjukkan kekayaan jenis
tergolong sedang dan R1 tergolong tinggi jika > 5.0. Besaran H’
< 1.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong rendah, H’ = 1.5 – 3.5
menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong sedang dan H’ > 3.5 menunjukkan
keanekaragaman tergolong tinggi. Besaran E’ < 0.3 menunjukkan kemerataan
jenis tergolong rendah, E’ = 0.3 – 0.6 kemerataan jenis tergolong sedang dan E’
> 0.6 maka kemerataaan jenis tergolong tinggi.
2.1. Koefisien
Kesamaan Komunitas
Untuk
mengetahui kesamaan relatif dari komposisi jenis dan struktur antara dua
tegakan yang dibandingkan dapat menggunakan rumus sebagai berikut (Bray dan
Curtis, 1957 dalam Soerianegara dan Indrawan, 2005) :
dimana :
IS = Koefisien
masyarakat atau koefisien kesamaan komunitas
W = Jumlah
nilai yang sama dan nilai terendah ( < ) dari jenis-jenis yang
terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan
a, b = Jumlah
nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan pertama dan kedua
Nilai koefisien
kesamaan komunitas berkisar antara 0-100 %. Semakin mendekati nilai 100%, keadaan
tegakan yang dibandingkan mempunyai kesamaan yang tinggi. Dari nilai kesamaan
komunitas (IS) dapat ditentukan koefisien ketidaksamaan komunitas (ID) yang
besarnya 100 – IS. Untuk menghitung IS, dapat digunakan nilai kerapatan,
biomassa, penutupan tajuk atau INP.
Sebagai contoh,
kita membandingkan tingkat permudaan semai hutan primer dengan hutan setelah
ditebang dan dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini :
Tabel 2. Nilai Kesamaan Kerapatan antara Hutan Primer dengan Hutan setelah
ditebang pada tingkat Semai
Maka nilai
kesamaan komunitas (IS) = ((2 x 55) / (224 + 84)) x 100%
= 35.71%
Nilai diatas
menunjukkan bahwa antara kondisi primer dan setelah ditebang dari segi jumlah
individu (kerapatan) hanya mempunyai tingkat kesamaan sekitar 35.71% artinya
setelah dilakukan penebangan terjadi kehilangan jumlah individu sekitar 64.29%.
f. Indeks Dominasi
Indeks dominasi
digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis-jenis dominan. Jika
dominasi lebih terkonsentrasi pada satu jenis, nilai indeks dominasi akan
meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama
maka nilai indeks dominasi akan rendah. Untuk menentukan nilai indeks dominasi
digunakan rumus Simpson (1949) dalam Misra (1973) sebagai berikut :
Dimana :
C : Indeks
dominasi
ni :
Nilai penting masing-masing jenis ke-n
N : Total nilai
penting dari seluruh jenis
2 komentar:
untuk materi IPSAL, saya coba klik picturenya tapi tidak bisa dibuka pak,
bagaiman caranya untuk melihat rumus pada blog.? karena yang ada hanya keterangan rumus,..
Posting Komentar